Metodologi Sejarah

Sejarawan, sama seperti ilmuwan lain, punya hak penuh berbicara masalah-masalah kontemporer … Bahkan, mereka yang bekerja di pengalengan ikan, pertukangan sepatu, perusahaan batik, pabrik biskuit, dan dunia usaha lain tetap dapat menjadi sejarawan. Sejarawan adalah penulis sejarah. Titik. (“Cerpenis adalah penulis cerpen, apa pun pekerjaannya”). Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas dan institusi-institusi ilmiah berhak disebut sejarawan!

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, hal. xiii.

Bulan lalu, dalam lokakarya Museum Sejarah Komunitas di Yogyakarta, kami mendengarkan banyak perdebatan mengenai (“keabsahan”) metode sejarah lisan. Hampir semua peserta—yang dengan cara masing-masing menggali dan mengarsipkan sejarah lokal—mengeluhkan bagaimana metode yang mereka gunakan, terutama metode sejarah lisan, seringkali tidak diindahkan oleh sejarawan akademis. Banyak keluhan yang bermunculan saat itu terhadap kelembagaan sejarah akademis, yang dinilai bersikap terlalu kaku, kurang memperhatikan isu-isu saat ini, kurang kontekstual ataupun relevan dengan kondisi masyarakat sekarang.

Metodologi Sejarah (ed.2)
Kuntowijoyo (2003)

Tapi, ketika kita kesal dengan kondisi kelembagaan pendidikan sejarah—atau ilmu sosial apapun—di negeri ini, kita mungkin bisa mendapat secercah optimisme dan beberapa “celah masuk” dengan membaca buku ini. Pada dasarnya, buku ini adalah rangkuman materi-materi yang dibuat oleh Kuntowijoyo untuk mata kuliah Teori dan Metodologi Sejarah di UGM. Cakupan pembahasannya meliputi sejarah lisan, sejarah sosial, sejarah kota, sejarah pedesaan, sejarah ekonomi pedesaan, sejarah wanita, sejarah kebudayaan, sejarah agama, sejarah politik, sejarah pemikiran, biografi, sejarah kuantitatif, dan sejarah mentalitas.

Di awal buku, Kuntowijoyo memberi kita sedikit latar belakang yang cukup menjelaskan, mengenai historiografi, atau penulisan sejarah, modern di Indonesia. Dengan gaya bertutur yang enak dibaca, kita diberi penjabaran mengenai Seminar Sejarah Nasional Indonesia, dan bagaimana pelembagaan sejarah berkembang. Beliau juga mempertanyakan banyak hal yang sering menghambat perkembangan sejarah akademis, seperti kurangnya usaha menerbitkan karya tulis sarjana sejarah, ketergantungan pada dana pemerintah, terkonsentrasinya penelitian pada daerah Jawa, dan minimnya sejarawan yang menulis sejarah ekonomi (terutama karena kekurangan peralatan teori dan metodologi). Semenjak awal pula, Kuntowijoyo menekankan pentingnya memelihara dan mengembangkan jaringan kerja, tidak hanya lintas-generasi dalam akademisi sejarah, tapi juga lintas-disiplin.

Sementara, jika kita kembali lagi ke keluhan umum mengenai sejarah lisan, Kuntowijoyo berulangkali menekankan pentingnya kita menerapkan sejarah lisan di Indonesia yang minim sumber tertulis. Beliau juga menjabarkan bahwa Arsip Nasional pun memiliki Buletin Sejarah Lisan.

Kuntowijoyo menyorot adanya perkembangan baik sejarah yang makin bersifat lintas disiplin, mempelajari dan berkembang bersama ilmu-ilmu sosial lainnya seperti antropologi, geografi, linguistik, sosiologi, dan sebagainya. Tapi tentunya, sebagai ilmu, sejarah tetap harus memiliki kaidah-kaidahnya, terutama sifatnya yang diakronis, memanjang dalam waktu. Yang menurut saya menarik adalah, di kala banyak orang (ilmu sosial) menafikan pendekatan kuantitatif (yang dikatakan “terlalu positivis”), Kunto menggarisbawahi bahwa bidang sejarah pun perlu memperluas wawasan dalam pendekatan kuantitatif. Sayangnya SDM bidang sosial seringkali lemah dalam statistik.

Kuntowijoyo

Buku ini lebih memberi rangkuman tiap bidang sejarah, dan tidak terlalu membahas teknis metode, jadi memang belum bisa dijadikan sebagai handbook. Tapi buku ini dengan ringkas dan antusias memberi gambaran gagasan dan tujuan, lengkap dengan rujukan-rujukan penting yang dapat ditelusuri lebih lanjut oleh pembaca, mulai dari media cetak seperti buku-buku ataupun jurnal-jurnal babon, hingga tempat-tempat sumber informasi seperti direktorat, perpustakaan dan arsip. Kuntowijoyo bisa menjelaskan berbagai sumber yang kaya dengan renyah, tapi juga membumikannya, mengaitkannya dengan konteks sekitar, dan membahas situasi kondisi dan tantangan yang sangat nyata dalam tiap bidang. Kuntowijoyo juga dengan telaten mengangkat karya-karya tulis yang apik, mulai dari makalah seminar, skripsi, thesis ataupun disertasi, yang dibuat akademisi asing hingga sarjana muda, dari berbagai disiplin yang berbeda. Daftar Pustaka di akhir buku ini pantas menjadi daftar sumber yang wajib dibaca oleh mahasiswa-mahasiswa sejarah (dan bidang sosial lainnya).

Bagi teman-teman yang merasa dipersulit oleh “sejarawan akademis” di kampus, saran saya, bacalah buku ini. Penjabaran di dalamnya akan membantu memperkuat optimisme dan metode Anda, memperkaya pengetahuan mengenai perkembangan (kelembagaan dan ideologi) sejarah di Indonesia, dan memberi Anda titik awal untuk menelusuri sumber-sumber wajib dibaca mengenai sejarah—dan berbagai kajian sosial—penting di Indonesia.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply