Beginning to Remember

beginning_to_remember_999_1024x1024

Dalam pengantar buku ini, Zurbuchen mengawali dengan menulis bagaimana jatuhnya Suharto menimbulkan euforia (singkat). Kenyataannya, meski ruang perdebatan menjadi lebih bebas dari kekerasan (militer), permasalahan KKN, kesenjangan ekonomi, konflik etnis-agama, dan “pengungkapan sejarah” masih tetap mengalami banyak tantangan. Kenapa semenjak 1998, upaya-upaya investigasi, pengadilan, rehabilitasi, dan penulisan ulang buku teks pelajaran–terutama sejarah–tidak banyak (berhasil) dilakukan?

Buku ini tidak terlalu berupaya “mengungkap” sejarah itu sendiri, tapi lebih ke menganalisis kerumitan, kebertautan, dan kesenjangan dalam upaya-upaya mengingat dan mengungkap sejarah tersebut. Terdiri dari 15 artikel yang dibagi menjadi empat bagian, bagian pertama berisi tulisan Ki Tristuti Rachmadi yang menceritakan kehidupannya sebagai dalang wayang pada zaman Suharto; libretto Kali oleh Goenawan Mohammad yang dibuat berdasarkan Mahabharata; dan yang kemudian dianalisis oleh Laurie J. Sears. Hendrik Maier menugulik ketiadaan penanda waktu yang tepat dalam bahasa Melayu dan Indonesia, dan bagaimana ini membentuk karakternya yang tercerai-berai, seolah selalu dalam proses, atau bahkan pentas, yang terus berlangsung, mungkin juga berdampak besar dalam penulisan dan pengingatan sejarah. Gagasan yang menarik, tapi sayangnya agak terlalu esensialis dan perlu penelusuran lebih lanjut.

Bagian kedua membahas ingatan kolektif gerakan Qahhar (oleh Andi F. Bakti), narasi mengenai “ninja” di Jawa Timur (oleh Fadjar Thufail, yang juga mengingatkan kembali ke masa lalu, dan buku Robbie Peters), dan bagaimana ingatan-ingatan ini saling “bertarung” dengan berbagai kepentingan yang tak kasat mata. Entah kepentingan elit lokal untuk mengkonsolidasi kuasa mereka di daerah lokal, penyamaran militer, agama, dan sebagainya.

Anthony Reid mengakhiri bagian ini dengan pertanyaan dan keresahan yang mengusik: kenapa Thailand setelah 1973 menghasilkan banyak intelektual dan sejarawan kelas dunia yang kritis, tapi Indonesia seperti justru mengalami penurunan mahasiswa sejarah, dan seolah mentok tidak bisa menembus dunia internasional? (Ini mengingatkan pula pada pertanyaan Ariel Heryanto barusan setelah meninggalnya Ben Anderson–“Betapa sulit menyebutkan contoh mantan mahasiswa beliau dari Indonesia yang menonjol di dunia akademik di tingkat internasional. Mengapa? . . . Masalahnya berbeda dari mantan mahasiswa asuhan Ben yang berasal dari negara lain di Asia Tenggara.”) Menariknya, Reid mencoba membedahnya tidak hanya dengan mengulik permasalahan profesi sejarah, tapi sehubungan kaitannya dengan proses “demokratisasi”. Kita dibawanya menengok bagaimana Australia mengingat dan merayakan Perang Pasifik dan kependudukan Jepang dengan “heboh” (padahal keterlibatannya relatif minim), ketimbang Indonesia yang cukup adem ayem (padahal keterlibatannya cukup sentral). Selain kontrol dalam kurikulum sejarah oleh Orde Baru, Reid juga membahas ambivalensi kajian dan intelektual (berpendidikan) Barat dalam mempelajari pengaruh Jepang yang mendalam di Indonesia, sehubungan dengan perjalanan gejolak geopolitik dunia. (Sesuatu yang mungkin mulai berubah dengan kembali aktifnya Jepang di Asia Tenggara dan Indonesia dan menguatnya Tiongkok….)

Bagian ketiga diisi oleh tiga artikel oleh Daniel Lev, Katharine McGregor, dan Gerry van Klinken. Tulisan Katharine memberi pengantar menarik mengenai Nugroho Notosusanto, sejarawan dengan kesetiaan dan keyakinan militer yang berperan besar dalam pembentukan sejarah di zaman Orde Baru, termasuk dalam pembuatan Museum Monumen Pancasila Sakti, film Pemberontakan G30SPKI, dan buku-buku sejarah. (Meski dia menggunakan fiksi sebagai outlet penyaluran perasaan yang tidak dapat dia sampaikan dalam sejarah resmi…). Lebih rinci mengenai konstruksi sejarah dan kaitannya dengan militer perlu dibaca dalam buku Katharine, History in Uniform.

Bagian keempat diisi dengan artikel mengenai Lubang Buaya (oleh Klaus Schreiner), pembentukan ingatan mengenai Reformasi melalui fotografi, terutama di kalangan mahasiswa (oleh Karen Strassler), dan politik representasi kekerasan di Bali oleh Degung Santikarma. Buku ditutup oleh Paul van Zyl dalam refleksinya mengenai bagaimana Afrika Selatan, Timor Timur, dan Indonesia menghadapi masa lalunya. Ia mengingatkan bagaimana upaya-upaya mencapai keadilan dan HAM tidak bisa mentah-mentah diadopsi, tapi perlu memperhatikan isu-isu lokal yang spesifik. Mengimbangi catatan pembuka Zurbuchen dalam menempatkan keberagaman dan kedalaman isu yang ditampilkan dalam buku ini, pun menggugah banyak pertanyaan dan isu penting, bahkan hingga sampai saat ini.

Buku ini berawal dari makalah-makalah konferensi di UCLA pada 6-7 April 2001 mengenai “history and memory (sejarah dan ingatan)”, sekitar tiga tahun setelah jatuhnya Orde Baru. Terbit di tahun 2005, lebih dari satu dasawarsa yang lalu, isu-isu yang dibahas di dalamnya masih tetap terasa mendesak. Semoga pembahasan ataupun perubahan berkaitan dengan isu-isu yang dibahas dalam buku ini dapat lebih meluas terjadi di negara kita sendiri.

Judul : Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present
Penyunting: Mary S. Zurbuchen
Penerbit: NUS Press and University of Washington Press, 2005

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply