Detail Cantuman Kembali

XML

G30S dan Kejahatan Negara


Sejak tanggal 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto dengan dalih menumpas G30S, melaksanakan kejahatan negara yang mungkin terburuk setelah Perang Dunia II. Penghancuran yang dilaksanakan oleh penguasa militer secara sistematik terhadap PKI, organisasi yang resmi dan merupakan salah satu pilar kebijakan politik negara yaitu Nasakom sebelum 30 September 1965.

Penghancuran ini melibatkan pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan massal. Lebih dari sejuta orang yang dianggap menganut paham komunisme dibunuh secara kejam. Sekitar 500 ribu orang ditahan. Puluhan ribu di antaranya ditahan belasan tahun tanpa proses hukum. Sebelas ribu di antaranya dibuang ke Pulau Buru.

Di samping itu, jutaan orang yang dianggap berhaluan politik kiri mengalami persekusi yang resmi dilaksanakan oleh negara belasan tahun. Dipecat dari pekerjaan, tidak bisa memperoleh pekerjaan lain, diusir dari tempat kediaman, anak-anak mereka tidak bisa memperoleh pendidikan yang baik. Mereka didiskriminasi dan diasingkan dari masyarakat dan hidup sebagai elemen yang membahayakan masyarakat.

Siauw Giok Tjhan memimpin Baperki melawan rasisme dan mencanangkan konsep integrasi wajar. Ia mengajak komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang etnisitas. Harapannya adalah komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku Indonesia.
Menjelang akhir zaman demokrasi terpimpin (1959—1965), polarisasi politik di Indonesia kian meruncing. Kelompok berhaluan kiri dipimpin oleh PKI. Kelompok berhaluan kanan dipimpin oleh Angkatan Darat. Presiden Soekarno cenderung mendukung kelompok kiri.

Siauw dan Baperki bersikap mendukung Soekarno. Karena Soekarno cenderung berhaluan kiri, dengan sendirinya Siauw membawa Baperki ke perahu Soekarno yang bertentangan dengan partai-partai politik berhaluan kanan dan Angkatan Darat.

Pengejaran, penangkapan, dan pembunuhan yang dilaksanakan oleh Soeharto turut menghancurkan Baperki dan banyak anggotanya di berbagai daerah menjadi korban. Siauw Giok Tjhan mendorong pimpinan Baperki untuk tidak melarikan diri dan melindungi para anggotanya. Mereka berupaya sekuat tenaga membersihkan nama Baperki dari semua tuduhan penguasa militer.

Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Universitas Respublica di Jakarta diserbu dan dibakar oleh massa yang didukung oleh militer. Pada tanggal 4 November, Siauw Giok Tjhan ditahan dengan dalih “diamankan” dari masyarakat. Pada bulan Maret 1966, ia dipecat “dengan hormat” dari DPR, MPRS, dan DPA.

Sejak November 1965 hingga Agustus 1978, Siauw Giok Tjhan tercatat sebagai seorang tahanan politik (tapol). Ia resmi di-”bebaskan” dengan predikat “ET”—eks-tapol pada tahun 1978.

Ia ditahan di berbagai penjara di Jakarta. Dimulai dengan penahanan sementara di Lapangan Banteng dan kompleks Unra (Universitas Rakyat) dari November 1965 hingga Juli 1966. Di penjara Salemba dari Juli 1966 hingga November 1969. Di tahanan Satgas, November 1969 hingga Februari 1970. Di penjara RTM (Rumah Tahanan Militer), Februari 1970 hingga Desember 1972. Di penjara Nirbaya, Desember 1972 hingga November 1973. Di penjara Salemba, November 1973 hingga Oktober 1975. Tahanan rumah, Oktober 1975 hingga Agustus 1978.

Di berbagai tahanan inilah ia bertemu dan berdiskusi dengan banyak tokoh politik dan militer yang langsung dan tidak langsung terlibat dalam Peristiwa G30S. Ia berdiskusi dengan banyak orang dari berbagai lapisan, sipil maupun militer. Dari tokoh-tokoh utama seperti KSAU Omar Dhani, KSAD Pranoto, Menteri Setiadi, Menteri Sumarno dan Menteri Oei Tjoe Tat, Kolonel Latief hingga para tentara yang ikut dalam operasi penculikan para jenderal pada tanggal 1 Oktober 1965. Ia juga berkesempatan berdiskusi dengan para tokoh yang memimpin operasi Blitar Selatan, di antaranya Munir dan Ruslan.

Diskusi-diskusi dengan para pelaku sejarah dari berbagai tingkat dan aliran ini mendorongnya menulis beberapa catatan berbentuk analisa tentang G30S, kesalahan dan kecerobohan yang dilakukan oleh pimpinan PKI, setelah ia keluar dari penjara.

Ketika ia diizinkan oleh Adam Malik, pada waktu itu wakil presiden, untuk berobat ke Negeri Belanda pada tahun 1978, ia pun sering berbicara dengan para teman dan mahasiswa di Eropa. Sebagian dari pembicaraan-pembicaraan ini direkam.

Catatan-catatan Siauw sebenarnya disebar secara terbatas di antara para temannya pada tahun 1978. Jadi, sebelum banyak tulisan tentang G30S terbit.

Siauw Giok Tjhan menyimpulkan bahwa PKI secara organisasi tidak terlibat dalam G30S. Dan dari berbagai kenyataan yang ia amati, Soeharto memainkan peranan penting dalam peristiwa yang kemudian menjadi dasar dari kejahatan negara yang dilaksanakan secara sistematik belasan tahun.

Buku ini merupakan gabungan semua catatan, tulisan dan rekaman Siauw Giok Tjhan tentang Peristiwa G30S, peristiwa yang terjadi 50 tahun yang lalu, yang secara drastis mengubah struktur politik Indonesia dan membuahkan penderitaan jutaan orang yang tidak bersalah di Indonesia. Dan kesemuanya ini dilakukan oleh negara yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.

Diharap buku ini, bersama banyaknya publikasi lain tentang G30S, mempertinggi kemampuan para sejarawan dan generasi muda untuk secara objektif mempelajari dan menganalisa G30S. Dan yang lebih penting lagi, diharap buku ini mendorong generasi di kemudian hari untuk berjuang menjamin tidak terulangnya kejahatan negara seperti yang dilakukan oleh Soeharto.
Siauw Giok Tjhan - Personal Name
959.804 SIA G30
9786028331685
NONE
Book - Paperback
Indonesian
Ultimus
2015
Bandung
LOADING LIST...
LOADING LIST...