Metodologi Sejarah

Sejarawan, sama seperti ilmuwan lain, punya hak penuh berbicara masalah-masalah kontemporer … Bahkan, mereka yang bekerja di pengalengan ikan, pertukangan sepatu, perusahaan batik, pabrik biskuit, dan dunia usaha lain tetap dapat menjadi sejarawan. Sejarawan adalah penulis sejarah. Titik. (“Cerpenis adalah penulis cerpen, apa pun pekerjaannya”). Tanggalkan anggapan bahwa hanya mereka yang bekerja sebagai dosen universitas …

Budaya Bebas

Buku ini diterbitkan karena melihat meskipun pembahasan dan kajian mengenai Media Baru (dan budaya digital) telah banyak beredar di Internet dan dapat diunduh gratis dan legal dari Internet, tapi informasi mengenai budaya digital masih belum terlalu merebak di Indonesia.

Dibagi menjadi 14 bab, dengan pendahuluan, kesimpulan, dan kata akhir, buku ini dengan meyakinkan mengajak kita untuk mempertimbangkan ulang, apa itu yang kita sebut sebagai “pembajakan”, dan apa itu “property”, dengan memberi berbagai ilustrasi kasus yang menarik.

The White Banyan, Lahirnya Kembali Beringin Putih

Sebuah mitos merupakan upaya untuk mengungkapkan beberapa aspek kehidupan yang tidak dapat dengan mudah diungkapkan dalam kata-kata logis diskursif

Karen Armstrong -Compasion

Membuka halaman demi halaman buku ini dan membaca rangkaian kata demi kata maka dengan sembrono kita dapat menyimpulkan bahwa ini adalah buku yang bercerita tentang mitos-mitos seputar Gn Merapi yang tersohor itu. Sudah sejak dahulu kala dan juga sudah dikenal luas mitos-mitos tentang Gn Merapi , yang merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia dan memegang peranan penting sebagai salah satu poros kosmis Keraton Jogjakarta Hadiningrat.

Memang buku ini bercerita tentang Beringin Putih. Tanaman yang anehnya bisa tumbuh di pertigaan Desa Kinahrejo yang terletak di daerah pegunungan dan Batu Gajah, seonggok batu yang berbentuk seperti gajah jika dilihat dari arah Utara maupun Timur dan dipercaya terdapat banyak pusaka di dalamnya. Tetapi jika kita menyimak rangkaian cerita-cerita di dalamnya yang memang tidak panjang. (Buku ini menjadi tebal karena ada versi cerita yang sama dan ditulis lagi dalam Bahasa Perancis, Inggris dan Jepang) Maka kita akan menemukan kearifan yang luar biasa

Rangkaian cerita yang boleh anda sebut mitos sedang memaparkan sebuah kebajikan purba yang diturunkan dari generasi ke generasi. Bercerita tentang manusia-manusia yang mencintai sang gunung dengan sapaan akrab namun penuh hormat eyang. Dihadapan warga Kinahrejo dan desa-desa lain disekitar puncak Merapi , gunung ini merupakan setiap tarikan nafas hingga ayunan langkah, terutama bagi Mbah Marijan atau Raden Ngabehi Surakso Hargo, juru kunci Gn Merapi yang wafat 26 Oktober 2010 karena awan panas Merapi.

Mbah Marijan yang juga merupakan tokoh penting dalam buku ini selalu menyebut dirinya orang bodoh “saya ini orang bodoh”, begitu katanya. Sebuah ungkapan kerendah-hatian bermakna dalam yang kemudian dijelaskan oleh beliau sendiri “Kalo orang pinter diberi satu, akan minta dua. Tetapi orang bodoh kalau diberi satu, akan disyukuri”. Mbah Marijan pula yang menunjukkan kekuatan yang luar biasa akan kebenaran. Ketika warga dusun Kinahrejo diminta untuk turun, beliau tetap bertahan yang mana tampaknya mempengaruhi warga Dusun Kinahrejo dan dusun-dusun lainnya di sekitar Gn Merapi untuk menolak ketika akan “diminta” pindah dengan alasan tempat tinggalnya yang termasuk daerah berbahaya tetapi hanya merupakan akal-akalan kaum pemodal tak beretika

Kekukuhan beliau akan kebenaran mengakibatkan intimidasi jahat merebak tentang diri Mbah Marijan. Salah satu tugas beliau untuk menjaga upacara labuhan dengan semena-mena dikatakan sebagai bagian dari pemujaan setan. Bahkan kematian beliau yang terjadi jauh setelah buku ini ditulis dirayakan sebagai momentum matinya kepercayaan jahiliah yang jahanam. Mereka yang picik dan buta hatinya, mereka yang lebih mudah mengkafirkan orang lain daripada melihat kekafiran didalam hati mereka tidak akan pernah bisa mengerti bahwa tidak ada kematian yang lebih indah daripada kematian bersama dengan yang dicintai.

Maka sekali lagi buku cerita tentang kelahiran kembali beringin putih ini bukanlah sebuah buku tentang mitos belaka. Melainkan sebuah buku yang menggaungkan aspek-aspek kehidupan yang tidak mudah dibicarakan dan mengkristal menjadi kebijaksanaan. Kebijaksanaan dalam kisah tentang manusia Gunung Merapi.

Tentang pohon beringin putih yang menjadi symbol perlawanan, menetang siapa saja yang akan mencabut mereka dari persatuannya dengan Gunung Merapi -Rm Sindhunata S.J

Ayah Anak Beda Warna

Pertama kali saya mengetahui buku ini dari cerita “The” Pak Hadi Purnomo yang menjadi sesepuh dari perpustakaan C2O ketika ada mahasiswa UK Petra yang bertanya tentang buku budaya Toraja. Beliau bercerita tentang buku yang isinya menceritakan pergulatan dan gugatan seorang Toraja yang dibesarkan di Jakarta terhadap adat tradisi Toraja. Topik tentang seorang Toraja yang menggugat tradisinya sudah merupakan topik yang menarik. Menarik karena saya penasaran apakah buku ini hanya sekedar buku yang bersifat sentimental belaka atau ada yang lebih dari ceita yang dipaparkan dalam buku ini. Tetapi rekomendasi dari “The” Pak Hadi sudah cukup saya yakin bahwa ini adalah buku yang bagus. Sayangnya beliau tidak menyebutkan judulnya hanya menyebut penulisnya yaitu Tino Saroengallo. Nama Tino Saroengallo saya kenal sebagai documentary film maker dan juga pemain film. Salah satu film yang beliau bintangi adalah sebagai Sang Germo di Film Quicky Express. Karena infonya ya segitu saja maka info tersebut hanya saya simpan baik-baik dalam relung ingatan saya.
Pada suatu waktu saya melihat sebuah buku di jajaran buku baru di C2O. Judulnya “Ayah Anak Beda Warna” dengan gambar sampul beberapa orang berdiri di antara Tongkonan (Rumah Adat Toraja). Saya hanya melihat sepintas sambil dalam hati berkata,” Okay… Another boring anthropology book… Yeah….” Tapi tiba-tiba ujung mata saya menangkap tulisan nama sang penulis, Tino Saroengallo… langsung memori saya bekerja. Apalagi di bagian bawah terdapat lagi tulisan “Anak Toraja Kota Menggugat”. Yippie….!!! Akhir ketemu juga buku yang sebelumnya hanya jadi angan-angan belaka.

Buku ini bercerita tentang bagaimana sang penulis menyiapkan proses upacara kematian ayahnya yang merupakan seorang penuluan atau kiblat adat bagi seluruh Tana Toraja. Kedudukan tersebut tentunya menempatkan keluarga dalam kedudukan bangsawan tinggi. Maka dalam kedudukan tersebut upacara kematian (rambu solo’) yang harus dilakukan adalah upacara yang sesuai dengan kedudukannya. Jika selama ini kita melihat upacara Rambu Solo’ dengan sudut pandang yang romantik maka dalam buku ini musnahlah segala romantisme tersebut karena kita diajak untuk melihat kenyataan bahwa dibalik upacara yang megah dan luar biasa tersebut terdapat kenyataan beban biaya yang luar biasa besarnya, dan juga tekanan adat yang bisa tanpa ampun.

Bagi saya yang sedikit banyak dibesarkan dalam kehidupan kota besar modern dan juga kehidupan dalam lingkup adat walaupun tidak semengikat adat yang dialami oleh sang penulis, bisa merasakan bahwa upacara adat itu sangat-sangatlah besar biayanya. Dan romantisme adat memang harus berhadapan dengan kenyataan real terutama kenyataan seberapa kuat sumber dana yang kami miliki untuk membuat sebuah upacara adat yang lengkap. Sehingga celetukan di dalam keluarga inti baik oleh penulis yang saya baca dalam buku ini dan yang saya alami juga tidak jauh berbeda, intinya kami kadang-kadang mempertanyakan kembali “adat” bahkan dengan rada ekstrim kelakar “makan deh tuh adat” sering juga terlontar.

Yang juga membuat saya jatuh cinta dengan buku ini adalah keterusterangan bahkan tampak sangat telanjang bagaimana kenyataan masyarakat gotong royong yang kita kenal selama ini tidak semanis seperti di buku-buku pelajaran PMP jaman dahulu. There’s nothing free in this world merupakan sebuah hal yang jamak sifatnya. Mereka yang membantu gotong-royong dalam upacara adat seringkali harus dibalas dengan berbagai rupa. Tidak harus dalam upah kontan. Seperti dalam upacara Rambu Solo’, upah bisa didapat salah satunya dari pembagian daging Kerbau yang dikurbankan dalam acara mantunu tedong. Kerbau atau Babi bahkan gula, beras dan kopi juga tidak diberikan take as a granted tetapi ada kewajiban adat untuk ganti memberi. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tetapi seringkali mengakibatkan semacam gegar budaya yang harus dialami oleh penulis atau mereka yang sudah terlalu biasa dengan kehidupan cara barat.

Cara pandang beda generasi juga dipaparkan dalam buku ini dengan apa adanya. Bagaimana sang Ayah memandang kewajiban adat yang berat sebagai salib keluarga yang harus dipikul sementara generasi yang lebih muda memandang dengan lebih pragmatis kenapa tidak ada pembaharuan adat sehingga adat tidak lagi menjadi beban yang mencekam. Hal ini masih bisa menjadi issue yang masih hangat untuk diperdebatkan hingga saat kini. Salah satu kesimpulan yang menarik yang saya baca adalah tali persaudaran di dalam masyarakat adat Toraja sepenuhnya ditentukan oleh tidaknya hubungan darah yang mengalir terutama pada upacara kematian atau rambu solo’. Eksistensi ikatan seperti suami-istri dan mertua-menantu hanya berlaku ketika seseorang masih hidup. Bila tiba saatnya meninggal dunia dan diantar dengan upacara rambu solo’ maka pasangan yang bersangkutan harus rela sekali lagi harus rela diambil kembali oleh keluarga besar secara adat. Adalah dewan adat yang berhak menentukan (baca:memaksakan) tatanan upacara yang layak bagi anggota adat tersebut.

Walaupun benang merah buku ini memang tentang pengalaman menguburkan sang ayah dalam upacara adat tetapi latar belakang penulis sebagai seorang pembuat film dokumenter membuat kajian budaya atas gugatannya terhadap upacara rambu solo’ menjadi lengkap karena tentunya gugatan tersebut didasari atas pendalaman kembali adat istiadat Tana Toraja. Sehingga selain sebagai buku cerita, buku ini juga bisa menjadi salah satu buku referensi tentang budaya Tana Toraja yang segar. So… Selamat membaca buku “Ayah Anak Beda Warna” para anggota C2O.

Invitation

Sutradara: @affan_hakim | Produser : mas ibnu | cast: maaf gak sempet nyatet pas credit titlenya diputer Sebuah movie screening patut saya ikuti karena biasanya saya bertemu dengan para movie maker, minimal si sutradara atau produser atau salah satunya. Tidak hanya bertemu, mungkin juga saya bisa bertanya sesuatu hal yang ‘mengganggu’ atau ‘agak menganggu’ yang …

Reportase: Makassar Nol Kilometer

Buku yang menjadi salah satu rujukan utama bagi siapapun yang ingin mengetahui mengenai budaya populer Makassar dan sekitarnya. Di dalamnya, kita menjumpai 49 artikel (meski versi revisi hanya memuat 48), yang dibagi menjadi 4 tema: komunitas, kuliner, fenomena, dan ruang. Dari buku ini, kita bisa membaca mengenai suporter sepak bola PSM, waria Karebosi, casciscus English meeting di Fort Rotterdam, makanan-makanan dari Coto hingga Jalangkote (yang ternyata adalah pastel!), pete-pete (angkutan kota berwarna biru), dan berbagai potret-potret Makassar di tahun 2005.

Voice of the Past: Oral History

Ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti, buku ini tidak hanya memberi kita panduan untuk memulai projek sejarah lisan, tapi juga membahas, dan mempertanyakan, metode dan makna sejarah dalam kehidupan kita, serta pentingnya peran sumber-sumber lisan yang sering kali kurang diperhatikan. Buku yang mendorong kita tidak hanya untuk mempelajari sejarah, tapi juga dengan aktif mengujarkan, menuliskan, membentuknya. “Oral history gives history back to the people in their own words. And in giving a past, it also helps them towards a future of their own making.”

Ritus Modernisasi

Salah satu rujukan utama mengenai seni pertunjukan Jawa Timur ini mengandaikan pertunjukan ludruk sebagai suatu “ritus modernisasi”, di mana ludruk membantu orang-orang menetapkan gerak peralihan mereka dari satu macam situasi ke situasi yang lain, dalam hal ini dari tradisional (seperti desa) ke modern (kota, pabrik).

Reportase: Kisah di Balik Pintu

Dalam ‘Kisah di Balik Pintu’, penulis meneropong identitas perempuan Indonesia ketika berada di ruang publik dan privat, pada media tulis. Representasi di ruang publik diwakili oleh otobiografi beberapa perempuan yang dekat dengan tokoh nasionalis, sedang di wilayah privat diambil dari diari beberapa perempuan biasa. Baik otobiografi maupun diari ini ditulis pada masa orde baru (1969-1998). Penulis lalu menganalisa otobiografi dan diari ini dikaitkan dengan represi rezim orde baru.

Tato

Dibagi menjadi enam bab, buku ini dengan kritis membahas tato mulai dari tato sebagai fenomena budaya tanding dan budaya pop, sejarah perkembangannya di berbagai pelosok dunia, tato dalam masyarakat Indonesia, makna dan konteks sosial budaya, dan studi kasus di Yogyakarta. Dijelaskan pula proses teknis penatoan, baik di studio maupun dalam masyarkat tradisional. Buku ini pertama kali diterbitkan di tahun 2006, terutama karena penulis melihat minimnya kajian dan referensi mengenai tato di Indonesia.