Asal-Usul Kedaulatan

DISKUSI & BEDAH BUKU Asal Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara bersama penulis, Hizkia Yosie Polimpung (PURUSHA Research Cooperative) moderator: Gede Indra Pramana Kamis, 21 Agustus 2014, pk. 18.30 WIB C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264 Mengapa negara-negara bersikeras berdaulat? Mengapa kedaulatan harus ditegakan meski dengan kenestapaan warganya sendiri maupun …

Virus Setan: Risalah pemikiran musik

Minggu, 29 April 2012, pk. 18.00
bersama:
– Slamet Abdul Sjukur (musisi & penulis)
– Natalini Widhiasih (pelukis)
– Erie Setiawan (editor)
– Gatot Sulistiyanto (komponis)

Virus Setan adalah fragmen pemikiran musik terkini dari sosok Slamet Abdul Sjukur, komponis 77 tahun yang (konon) menuliskan MUSIK sebagai AGAMA di formulir pembuatan KTP-nya. Ia pun berdebat seru dengan petugas kelurahan.

Ia lebih percaya musik daripada agama? Atau musik adalah iman-nya? Wow…!

Apa uniknya seorang Slamet? Bagaimana pandangannya terhadap musik?

Apa sebetulnya sumbangan musik bagi peradaban dunia? Mengapa sistim pendidikan musik formal harus melawan gaya padepokan? Bagaimana memahami arus globalisme musik saat ini? Jawaban yang cerdas, kritis, dan menghibur bisa ditemukan di buku VIRUS SETAN yang sepele tapi mengerikan ini.

Buku ini bertujuan memberikan wawasan baru demi membongkar kebekuan cara pandang masyarakat terhadap musik, baik pendengar awam maupun praktisi profesional. Harapannya supaya bisa menemukan cara pandang baru yang lebih fresh. Sekaligus penyebaran ilmu pengetahuan musik yang selama ini jarang sekali diekspos, karena minimnya buku musik berkualitas di Indonesia.

Kami pertama berkenalan dengan Slamet A. Sjukur, yang akrab kami panggil Pak SAS, sekitar tahun 2008. Beliau aktif mendukung kegiatan dan pemikiran kami dengan pemikiran-pemikirannya yang segar, penyampaiannya yang cerdas, ramah tapi juga kritis. Pak SAS mengajarkan kita keindahan pada hal-hal kecil sehari-hari. Saran kami: Jangan lewatkan acara ini!

Buku tersedia di C2O @Rp. 40.000 (Rp.36.000 untuk anggota C2O)

INFO: 031-77525216

Only a Girl tersedia di C2O

Beberapa hari yang lalu, kami girang sekali menerima paket kiriman buku Lian Gouw. Paket ini berisi 10 eksemplar versi Inggris buku Only a Girl, buku karya Lian yang Oktober 2010 lalu diluncurkan di C2O. Lian menghadiahkannya pada kami untuk dijual agar hasilnya dapat membantu dana operasional C2O.

Dapat dibeli di C2O:
Only a Girl: Menantang Phoenix (Bhs. Indonesia, Gramedia Pustaka Utama) @ Rp. 65.000
Only a Girl (Bhs. Inggris) @ Rp. 100.000
Diskon 10% untuk anggota C2O.

Info pembelian:
Ph: 031-77525216 / 081515208027
Email: info@c2o-library.net
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264.

——–

Only a Girl menuturkan dengan sangat menyentuh kisah tiga generasi perempuan Tionghoa yang bergumul demi identitas mereka di tengah ketidakpastian Revolusi Indonesia, Perang Dunia II, dan dunia yang dilanda depresi.

Nanna, seorang ibu yang berperan sebagai kepala keluarga, berupaya keras untuk mempertahankan dan menanamkan nilai-nilai tradisional Tionghoa, sementara anak-anaknya sangat ingin berbaur dengan masyarakat kolonial Belanda yang mereka anggap lebih modern. Carolien, puteri bungsu Nanna, terbuai dengan keuntungan yang dia peroleh dengan mengadopsi gaya hidup barat. Sayangnya, jalan yang dia tempuh terbukti salah setelah perkawinannya memasuki masa-masa sulit dan akhirnya kandas, dan merasakan berbagai akibat membesarkan puterinya, Jenny, dalam budaya Belanda.

Pengasuhan gaya barat yang diterima Jenny ternyata sangat tidak menguntungkan setelah Indonesia merdeka karena budaya Belanda tidak lagi dipandang. Cara-cara unik Nanna, Carolien, dan Jenny menghadapi berbagai tantangan mereka masing-masing memperlihatkan kisah rumit masyarakat China di Indonesia, khususnya antara tahun 1930-1952.

Novel yang terinspirasi oleh peristiwa historis ini akan memberikan banyak pemahaman sejarah, budaya, dan nilai-nilai yang ingin dipertahankan oleh masyarakat Tionghoa dan bagaimana konflik antargenerasi harus dihadapi dan diselesaikan.

Lian Gouw lahir di Jakarta dan dibesarkan di Bandung pada masa kolonialisme Belanda, kemudian beremigrasi ke Amerika dan tinggal di sana sampai sekarang. Puisi dan cerpen Lian Gouw telah dimuat di Quietus Magazine. Her Predicament, versi awal bab pertama novelnya,Only a Girl, dimuat dalam antologi the SF Writers Conference 2006, Building Bridges from Writers to Readers.

Dalam tulisannya, Lian banyak menggali tema-tema relasi antarmanusia, hubungan dengan binatang, dan fantasi bernuansa fabel. Secara khusus, dia tertarik mengeksplorasi kehidupan dan pergumulan kaum perempuan.

Reportase: Kisah di Balik Pintu

Dalam ‘Kisah di Balik Pintu’, penulis meneropong identitas perempuan Indonesia ketika berada di ruang publik dan privat, pada media tulis. Representasi di ruang publik diwakili oleh otobiografi beberapa perempuan yang dekat dengan tokoh nasionalis, sedang di wilayah privat diambil dari diari beberapa perempuan biasa. Baik otobiografi maupun diari ini ditulis pada masa orde baru (1969-1998). Penulis lalu menganalisa otobiografi dan diari ini dikaitkan dengan represi rezim orde baru.

Kisah di Balik Pintu

Jumat, 18 November 2011, pk. 18.00
C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang Konjen Amerika. Lihat peta di: http://c2o-library.net/about/address-opening-hours/)

Bersama penulis, Soe Tjen Marching
Moderator: Ary Amhir, penulis TKI di Malaysia, Indonesia yang Bukan Indonesia.

Bagaimana para perempuan Indonesia menampilkan jati diri mereka di depan publik? Dan apa yang terjadi di balik pintu, ketika tak sepercik matapun mengintip tingkah laku mereka dan mereka mempunyai kesempatan untuk lebih leluasa?

Buku ini memaparkan perbedaan antara representasi identitas perempuan di publik dan privat, dengan membandingkan otobiografi dan buku harian yang ditulis oleh beberapa perempuan Indonesia di masa Orde Baru. Dalam periode tersebut, gender adalah salah satu fokus utama dari indoktrinasi pemerintah. Perempuan sering kali terpenjara oleh stigma-stigma patriarki yang dibentuk oleh ideologi ini.

Dalam lingkup yang demikian, tidak mengherankan bila otobiografi perempuan Indonesia yang diterbitkan pada masa itu menampakkan adanya kemanutan pada stigma-stigma ini. Sebaliknya, dalam buku harian, penulis-penulisnya bisa lebih leluasa menyuarakan pemberontakan mereka. Namun, walalu buku harian lebih leluasa menyuarakan penyempalan mereka terhadap norma dan ideologi, nilai-nilai patriarki masih bisa ditemukan di dalamnya.

“Buku ini amat original dan menggebrak.” — Susan Blackburn, University of Monash, Australia

Soe Tjen Marching adalah seorang penulis, akademisi, dan komponis. Karya-karyanya telah memenangkan berbagai penghargaan nasional maupun internasional. Novelnya yang berjudul Mati, Bertahun yang Lalu diterbitkan oleh Gramedia (2010), dan telah diluncurkan di C2O Januari lalu.

Garis batas

Bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negara-negara Asia Tengah
bersama Agustinus Wibowo, penulis Garis Batas dan Selimut Debu
moderator Lukman Simbah, hifatlobrain.net
Penduduk desa Afghan setiap hari memandang ke “luar negeri” yang hanya selebar sungai jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah cantik bak vila, sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas bepergian.

Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran “Stan”. Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerapi kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.

Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini tersembunyi di peta dunia. – Andy F. Noya

Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bhinneka, atas dukungan Perpustakaan C2O dan Hifatlobrain Travel Institute.

Gratis dan terbuka untuk umum.

INFO: cannedbrain@gmail.com

Reportase: Orang Rimba di Jambi

Siapa sih Orang Rimba, atau Orang Kubu itu?  Menurut data Adi, ada sekitar 6.650 orang Rimba, kebanyakan terpusat di Jambi.  Catatan-catatan mengenai orang Kubu dapat ditemukan dari catatan-catatan Belanda mengenai kesultanan Melayu di abad ke-17-18.  Menurut Barbara Watson Andaya, sejak abad 17 pun, ada dinamika kekuasaan antara Orang Hulu dan Hilir.  Orang-orang Hulu (Rimba) menjadi ujung tombak penyedia persediaan sumber daya alam seperti cula badak, gading gajah, kayu dsb. yang nantinya berputar di jalur perdagangan di selat Malaka.

Kisah Bijak dari Negeri Naga

Peluncuran & Diskusi Buku: Kisah-kisah Bijaksana dari Negeri Naga
Minggu, 11 September 2011, pk. 13.00 – 15.00
Perpustakaan C2O, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264

Bersama:
Andy Soeprijo (Chen Wei An), penulis
Ardian Purwoseputro, peneliti sejarah Tionghoa Indonesia

88 Kisah Bijaksana dari Negeri Naga berkisah tentang cerita-cerita dari jaman Cina kuno yang menggugah dan memberikan inspirasi. Buku ini memberikan inspirasi kisah-kisah yang mengagumkan tentang kepahlawanan, kekuatan, keagungan, kearifan serta strategi jitu memenangkan berbagai persoalan dan pertempuran. Semua kisah ini meskipun sudah terjadi ratusan tahun lalu namun tetap relevan sehingga bisa diaplikasikan untuk saat ini dalam berbagai macam keadaan. Anda akan mendapatkan sumber motivasi dan strategi yang tidak ada habisnya untuk mencapai cita-cita.

Buku ini memuat kisah-kisah pada masa Cina kuno yang penuh dengan kebijaksanaan, inspirasi, makna dan perjuangan. Kisah-kisah ini dirangkum dalam kisah-kisah pendek yang menarik, mudah dimengerti dan memperkaya pengetahuan. Isi buku ini akan memberikan semangat dan kekuatan baru, pengetahuan, memperkaya pengertian dan memperkenalkan kita dengan kisah-kisah bermakna Cina kuno yang tetap relevan dengan masa sekarang. Kita bisa melihat dari kehidupan dari sisi lain dan menghargai makna hidup sebenarnya.

INFO: info@c2o-library.net

Reportase: Talkshow Garis Batas

Minggu, 15 Mei 2011, menjelang pukul 6 sore, pengunjung mulai berdatangan di C2O untuk acara bedah buku Garis Batas: Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah. Cuaca sedikit mendung, gerimis turun rintik-rintik. Ajeng, moderator untuk malam ini, sudah siap semenjak 2 jam yang lalu. Dengan sedikit khawatir Rhea, koordinator GoodReads Surabaya, mengabari, “Mas Agus sakit, sepertinya datangnya bakal mepet.”

Pukul 6 sore tepat, Agustinus, sang penulis Garis Batas, datang, tergopoh-gopoh memasang laptopnya ke proyektor. Dia tampak menghembuskan nafas lega setelah video slideshow photo-photonya siap terputar untuk acaranya.

Ajeng memulai acara dengan memperkenalkan Agustinus Wibowo, seorang petualang dan pengembara, yang lahir di Lumajang di tahun 1981. Lulus dari SMA 2 Lumajang, ia sempat menempuh 1 semester jurusan informatika di ITS, sebelum pindah ke Fakultas Komputer Universitas Tsinghua di Beijing. Garis Batas adalah buku keduanya yang diterbitkan oleh Gramedia setelah Selimut Debu. Keduanya merupakan kumpulan catatan perjalanan, sebagian darinya pernah dimuat di kolom “Petualang” Kompas.

Jika Selimut Debu menceritakan perjalanan Agus di Afghanistan, Garis Batas menceritakan perjalanannya keliling Asia Tengah: Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer yang dilaluinya ia tempuh dengan berbaga macam alat transportasi seperti kereta api, bus, truk, hingga kuda, keledai dan tak ketinggalan jalan kaki, dari tahun 2006-2007.

Berbeda dengan Selimut Debu yang lebih menonjolkan sisi petualangan dan kehidupan Afghanistan, Garis Batas banyak menampilkan refleksi Agustinus atas apa yang ia lihat dan alami di Asia Tengah. Kenapa judulnya Garis Batas? “Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.” Begitu pula dengan negari-negeri. Ada garis batas, ada proses pembentukan identitas yang terus berjalan, terkadang menembus batas-batas baru, tergadang bergolak, terkadang membeku. Dalam bukunya, Agustinus kental merefleksikan hal ini, dan juga membuat perbandingan-perbandingan dengan situasi di Indonesia seperti pengkotak-kotakan suku, agama, etnis, dan penggunaan bahasa.

Yang menarik dari kedua buku catatan perjalanan ini adalah, Agustinus tidak memandang perjalanannya sebagai target ataupun suatu misi untuk menguasai. Ia tidak menkalkulasi dalam berapa hari ia harus melewati berapa negara, atau menggunakan berapa banyak biaya. Cerita-ceritanya mencatat perjalanan, pengalaman, refleksi sehari-harinya. Ia tidak menyombongkan diri mengenai tempat-tempat yang telah ia kunjungi, atau makanan-makanan apa yang telah ia nikmati. Ia mengundang pembaca untuk turut tenggelam dalam petualangannya, sembari turut mengingatkan pembaca juga untuk berhati-hati pada sudut pandang eksotisme yang me-“liyankan”.

Sekitar 40-50 pengunjung terkumpul di C2O, antusias mendengarkan dan berpartisipasi dalam diskusi yang mengalir. Di sela-sela diskusi, Agustinus juga memutar video slideshow foto-fotonya di Asia Tengah dan Afghanistan, beberapa dapat dijumpai dalam bukunya. Banyak refleksi dan pengalaman perjalanan menarik yang ia ceritakan. Mulai dari membacakan secepat mungkin pembukaan UUD ’45 untuk menghindari sopir korup, mata uang terberat di dunia (saking kecilnya nilainya), mengkal melihat perbedaan yang begitu kontras dalam satu masyarakat yang berseberangan sungai (Afghanistan dengan Kirgiztan), dan lain-lain.

Acara berlangsung dengan seru, hingga tak terasa jam delapan telah lewat. Dengan sedikit menyesal, Ajeng menutup acara talkshow, yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanda tangan, tanya jawab, dan berbagai bahasan kecil-kecilan. Banyak terima kasih kepada Agustinus, moderator kesayangan kami Ajeng Kusumawardani, Rhea Siswi dari GoodReads Surabaya atas kerjasamanya, dan Gramedia Surabaya atas dukungannya. Acara yang sangat berkesan, dan kami berharap karya ini dapat dinikmati masyarakat luas.

Bedah buku Garis Batas

Perjalanan lintas benua asia yang dimulai tahun 2005 membawa sang petualang, Agustinus Wibowo, menuju negara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Afghanistan yang dikenal sebagai negara tempat perang terus berkecamuk. Tajikistan, Kyrgyzstan, Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan yang luput dari mata kita. Melalui catatan petualangannya, Agustinus Wibowo membawa kita untuk mengenal lebih dekat negara-negara tersebut dan membuka mata kita akan budaya mereka.

Goodreads Indonesia bekerjasama dengan C2O Library mengajak Anda untuk mengenal Agustinus Wibowo lebih dekat dan membahas buku Selimut Debu dan Garis Batas pada:

Hari: Minggu
Tanggal: 15 Mei 20011
Waktu: 18:00 – 20:00 waktu Surabaya
Tempat: C2O Library
Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264
(Jalan kecil seberang konjen Amerika)
Tel +62 31 77525216
Web http://c2o-library.net/

Narasumber: Agustinus Wibowo
Moderator: Ajeng Kusumawardani, S2 Ilmu Sastra Budaya Unair