The Wind Will Carry Us

Bad ma ra khahad bord | Iran/France | 1999 | DVD | 118 min | Persian with English Subtitle

Bersama dengan dua krunya yang tidak pernah ditunjukkan wajahnya, Behzad Dourani, seorang ‘insinyur’ asal Tehran mengendarai Land Rover mendatangi Siah Darreh (Bukit Hitam). Dipandu oleh Farzad, bocah lelaki lokal, ia tinggal di kampung tersebut dan menunggu kedatangan ajal Nyonya Malek, seorang nenek yang konon berusia sekitar 100 tahun, demi membuat sebuah film dokumenter tentang upacara berkabung khas daerah tersebut. Selain menanyakan kondisi kesehatan dan menunggu kematian Nyonya Malek melalui ponsel yang hanya bisa digunakan di bukit di luar Siah Darreh, Behzad tampaknya tidak mempunyai hal penting lain yang perlu ia lakukan.

Penonton dapat merasakan kentalnya rasa risih dan curiga penduduk setempat atas invasi Behzad terhadap wilayah pribadi mereka. Perilaku Behzad dan krunya acap kali terasa semena-mena dan voyeuristik. Seakan mereka tidak  pernah mengenal arti kata ‘saling menghargai’. Tanpa mempedulikan larangan untuk tidak mengambil foto, Behzad menjepretkan kameranya. Melihat seorang penggali –yang juga tidak pernah ditunjukkan wajahnya– mendapatkan susu dari seorang gadis, Behzad bersikeras mendapatkan minuman yang sama, sampai akhirnya ia mengikuti gadis tersebut ke dalam gua yang gelap. Ada superfisialitas dan intrusi dalam interogasi Behzad pada si gadis. Keindahan puisi “The Wind Will Carry Us Away” karangan Forough Farrokhzad yang dibacakannya pada si gadis memberikan kesan vulgar yang menginjak-injak martabat perempuan desa itu.

The Wind Will Carry Us dibuat di tahun 1999, setelah nama Kiarostami melambung di dunia perfilman internasional melalui trilogi Rostam Abad dan Taste of Cherry. Seperti And Life Goes On, Where’s the Friend’s Home, dan banyak film Kiarostami lainnya, pengaburan realita dan fiksi dalam The Wind Will Carry Us tampak jelas lewat penggunaan nama asli pemeran dalam film tersebut, juga penyisipan alter ego Kiarostami dalam karakter Behzad.

Apakah sesuatu yang mengusik, dangkal, dan angkuh dalam invasi Behzad pada penduduk lokal Siah Darreh adalah bentuk kritik diri Kiarostami?  Apakah ini gambaran kekhawatirannya sebagai figur filmmaker ternama dunia yang senantiasa mengeksploitasi ‘orang-orang kecil’ di negerinya demi karir internasionalnya? Terlepas apapun jawabannya, melalui pengambilan gambar long-shot, sirkular, dan kegersangan tanpa musik, film yang meraih Grand Special Jury Prize dalam Festival Film Venice 1999 ini berhasil menciptakan sebuah atmosfer yang seakan mencekat kita dalam alur waktunya yang lambat, kosong, dan tidak pernah pasti.

Resensi ini pertama kali dimuat di Rumah Buku / Kineruku Webzine. Rumah Buku / Kineruku adalah suatu ruang publik yang menyediakan referensi berupa buku, CD musik, dan film (dikelola oleh Kineruku) di Bandung. Buku sastra, sosiologi/budaya, sejarah, arsitektur, seni, desain, filsafat, dan buku anak merupakan tema-tema utama koleksi Rumah Buku, yang dapat dibaca di tempat atau disewa. Pokoknya, wajib kunjungi deh Rumah Buku / Kineruku di Jl. Hegarmanah 52 kalau kamu ke Bandung!

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply