Mother Dao, the Turtlelike

Moeder Dao, de schildpadgelijkende | 1995 | Netherlands | 88m

(Tulisan ini dibuat sebagai resensi sekaligus reportase pemutaran Mother Dao pada tanggal 22 Agustus 2009, sebagai bagian dari tema “Indonesia di mata…”. Sehubungan dengan hari pertama puasa, pemutaran dimulai terlambat, 18.00, dan dihadiri oleh Pak Hadi, Pundi, Mufti, Erlin, Yuli dan kat. Kuro, Prinka, Benny, Tinta dan Alfan datang menyusul setengah jam kemudian setelah membeli makanan untuk buka.)

Mother Dao, the Turtlelike: A kinematographic image of the Dutch-Indies 1912-ca. 1933 adalah film kompilasi yang dirangkai dari penggalan film-film bisu Hindia Belanda. Lebih dari 200 judul film-film dasar ini—umumnya disimpan di arsip Het Nederlands Filmmuseum (NFM)—dibuat antara tahun 1912 sampai kira-kira 1933 dirangkai (tanpa rekayasa) menjadi 90 menit dengan sonor suara tambahan berupa bunyi, pembacaan mitos (Ibu Dao yang merupakan mitos Nias), serat (Wulang Reh), tembang (Bharatayudha), puisi Indonesia (Rendra, Amir Hamzah, Sitor Sitomurang, Subagio Sastrowardojo, juga puisi Vincent sendiri). Ditilik dari konteks sejarahnya, film-film dasar tersebut dibuat dalam masa penerapan “politik etik” yang digagas oleh Van Deventer pada tahun 1902 sebagai “balas budi (ereschuld)” atas tanam paksa (culturstelsel).

Selama film berlangsung, karena kekurangan keterangan dan tidak adanya urutan kronologis/tematis yang jelas sementara penggabungan penggalan-penggalan film terkesan acak (dan sekuen-sekuennya terlalu pendek?), banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai lokasi dan waktu. (Beberapa orang meminta paling tidak disediakan flyer fotokopian berisi informasi mengenai film yang diputar.) Tinta membantu memberi penjelasan dengan membacakan informasi dari daftar judul sekuen dan shot Mother Dao (dari Soegiarto 2008: 340-347).

Ke-“amburadul”-an (kesan “asal tempel”) ini menimbulkan banyak protes di akhir pemutaran. Beberapa keluhan meliputi benang narasi dan kronologi yang kurang jelas, tidak adanya voiceover panduan, shot pendek meloncat-loncat dari lokasi ke lokasi, waktu ke waktu, sonor suara membingungkan. Jika tidak ada keterangan dari lampiran daftar judul sekuen, penonton merasa tidak mampu mengerti apa yang ditayangkan.

Apa maksud sineas membuat film ini? Terlalu naif apabila kita menuduh Monnikendam tidak mengerti konteks film-film tersebut – lampiran daftar judul sekuen dan shot menunjukkan bahwa ia mengetahui baik tahun, tempat, kinematograf, bahkan mungkin pemesannya – yang dibuat berdasarkan pesanan berbagai pihak (pemerintah, swasta, gereja, dll.) sebagai bahan penerangan, informasi, dan propaganda. Dalam usulan proyeknya, Monnikendam menyatakan “berniat membuat suatu komposisi kreatif yang sama sekali baru dan berkesinambungan; suatu interpretasi dan representasi yang sama sekali baru, bisa dipercaya, walaupun mungkin subjektif.”

Judul film ini, Mother Dao, the Turtlelike, diambil dari mitos Nias mengenai penciptaan jagad bumi dan anak-anaknya yang tidak sadar akan ikatan kesaudaraan mereka. (Terima kasih kepada Prinka yang mau improv membacakan mitosnya.) Benny mengamati bahwa ada tema kelahiran, perkembangan (industrialisasi), kematian, yang berulang secara siklikal. Apalagi film diakhiri dengan shot yang sama dengan awal film: seorang anak kecil bertopi, murid sekolah desa Tlepok. Banyak kontras yang ditampilkan antara pihak penguasa dan yang dikuasai, antara lain: baju putih / telanjang dada, sepatu / tanpa sepatu, kapal besar / sampan kecil. Bagaimana tanam paksa (tembakau) mempengaruhi kehidupan terlihat pada adegan anak-anak kecil merokok dan seorang balita menyusu sambil merokok. (“Rokok… memang pemersatu bangsa!” canda salah satu penonton.)

Menurut Soegiarto (2008), melalui bingkai suara puisi, tembang dan narasi yang hampir semuanya Indonesia, Monnikendam berusaha memberikan “kesempatan berbicara” terhadap Indonesia. Sementara mengenai keragaman perca-perca film (Soegiarto 2008: 338):

Kesengajaan sineas mensejajarkan hal-hal yang tidak sama dapat pula diinterpretasikan sebagai upayanya untuk memperlihatkan kesamaan dan sekaligus keberagaman, misalnya: suara adzan yang dikombinasikan dengan musik gregorian untuk mengiringi gambar suatu pembaptisan oleh pastor. Kesamaan, untuk menyadari bahwa manusia itu sama dan memiliki kebutuhan yang sama dalam beragama. Keberagaman, untuk menyadari bahwa respek dibutuhkan untuk menghargai pilihan masing-masing dalam menjalankan kepercayaannya. Sonor yang dipilih sineas dalam sekuen-sekuen tertentu seolah-olah tidak sinkron dengan gambar, sebenarnya justru merupakan kesengajaan sineas untuk membangkitkan efek tertentu dan untuk menegaskan keragaman yang tinggi dari budaya Indonesia.

Target penontonnya tidak diragukan pertama-pertama adalah masyarakat Belanda dan Indonesia. Film ini diputar perdana tahun 1995 di Indonesia di Erasmus Huis Jakarta, pada tanggal 17 Agustus, secara kebetulan bertepatan dengan kunjungan Ratu Beatrix ke Indonesia pada tanggal 21 Agustus (yang kemudian dalam diskusinya dikaitkan dengan pengakuan Belanda atas tanggal kemerdekaan), dan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda (Soegiarto 2008: 338):

Di Belanda ada yang berpendapat bahwa penggalan-penggalan film dasar itu dikeluarkan dari konteksnya dan pada masa sekarang tidaklah relevan lagi untuk ditampilkan secara baru dan bukan sebagai arsip. Di Indonesia ada yang beranggapan bahwa film Moeder Dao ‘menoreh luka lama’ tetapi juga ada yang berpendapat bahwa film itu memperlihatkan realitas kejadian di masa itu dan itu perlu disadari betapapun menyakitkan dan memalukan.

Peserta pemutaran dan diskusi kali ini pun menyayangkan pendeknya shot-shot yang diambil, “kemeloncat-loncatannya” dan kurangnya konteks yang “jelas” dalam merangkai film-film dasar tersebut. Tentu saja, kita dapat mempelajari banyak hal (cara berpakaian, ritual, tata kota, dll.) dari film itu, tapi jika hanya itu tujuannya, untuk apa susah-susah merangkai kompilasi dari 200 judul dalam 1.144 can? Apakah ia menyerahkan pembangunan persepsi tentang relasi kuasa masa kolonial terhadap penonton? Sayangnya pertanyaan ini tidak sempat dibahas lebih lanjut…

REFERENSI

Mulvey, Laura (2007). “Compiled Film as ‘Deferred Action’: Vincent Monnikendam’s Moeder Dao, the Turtlelike,” in Sabbadini, Andrea (ed.) Projected Shadows: Psychoanalytic Reflections on the Representation of Loss in European Cinema. London and New York: Routledge.

Soegiarto, Jugiarie (2008). “Wacana kolonial dalam film Moeder Dao, de schildpadgelijkende.” Wacana 10(2): 317-347.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply