New Books

The Domestication of Desire: Women, Wealth, and Modernity in Java | Suzanne Brenner, 1998

While doing fieldwork in the modernizing Javanese city of Solo during the late 1980s, Suzanne Brenner came upon a neighborhood that seemed like a museum of a bygone era: Laweyan, a once-thriving production center of batik textiles, had embraced modernity under Dutch colonial rule, only to fend off the modernizing forces of the Indonesian state during the late twentieth century. Focusing on this community, Brenner examines what she calls the making of the “unmodern.” She portrays a merchant enclave clinging to its distinctive forms of social life and highlights the unique power of women in the marketplace and the home–two domains closely linked to each other through local economies of production and exchange. Against the social, political, and economic developments of late-colonial and postcolonial Java, Brenner describes how an innovative, commercially successful lifestyle became an anachronism in Indonesian society, thereby challenging the idea that tradition invariably gives way to modernity in an evolutionary progression. Google preview


Pacar Merah Indonesia | Matu Mona, 1938

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional. Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis. Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat). Google preview


The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia | Tom Boellstorff, 2005

The Gay Archipelago is the first book-length exploration of the lives of gay men in Indonesia, the world’s fourth most populous nation and home to more Muslims than any other country. Based on a range of field methods, it explores how Indonesian gay and lesbian identities are shaped by nationalism and globalization. Yet the case of gay and lesbian Indonesians also compels us to ask more fundamental questions about how we decide when two things are “the same” or “different.” The book thus examines the possibilities of an “archipelagic” perspective on sameness and difference. Translated from English to Indonesian by Q-munity Google preview


The Practice of Everyday Life | Michel de Certeau, 1988

Michel de Certeau considers the uses to which social representation and modes of social behavior are put by individuals and groups, describing the tactics available to the common man for reclaiming his own autonomy from the all-pervasive forces of commerce, politics, and culture. In exploring the public meaning of ingeniously defended private meanings, de Certeau draws brilliantly on an immense theoretical literature in analytic philosophy, linguistics, sociology, semiology, and anthropology–to speak of an apposite use of imaginative literature. Michel de Certeau considers the uses to which social representation and modes of social behavior are put by individuals and groups, describing the tactics available to the common man for reclaiming his own autonomy from the all-pervasive forces of commerce, politics, and culture. In exploring the public meaning of ingeniously defended private meanings, de Certeau draws brilliantly on an immense theoretical literature in analytic philosophy, linguistics, sociology, semiology, and anthropology–to speak of an apposite use of imaginative literature. Google preview


Petualangan Semiologi | Roland Barthes, 1985

Berbicara tentang Roland Barthes dan karya-karyanya tidak dapat dilepaskan dari eksplorasinya terhadap tanda dan ilmu tanda menasbihkannya menjadi salah satu pelopor perkembangan keilmuan tersebut. Pada tahun 1960-an di Prancis berkembang istilah-istilah yang mereferensi pada pemahaman tentang tanda, deskripsi maupun prosesnya dan beberapa ahli menamainya dengan sebutan yang berbeda-beda . Kalau para ahli di wilayah Anglo-Saxon lebih memilih menggunakan istilah Semiotika, di Prancis beberapa ahli memberinya nama semiologie, structuralisme, semanalyse atau analyse textuelle (Barthes, 1964). Barthes termasuk yang bersikukuh pada istilah semiologie. Tulisan-tulisan sejak tahun 1963-1973 itulah yang dapat diselami dalam Aventure Semiologique (diterjermahkan sebagai The Semiotic Challenge dalam bahasa Inggris) ini. Tulisan-tulisan ini merupakan amalgam atas pemahamnya terhadap linguistik Saussure yang merupakan poin awal eksplorasinya terhadap semiologi, kepiawiannya menganalisis sistem-sistem tanda yang bernuansa sosiologis serta pemahamannya terhadap Marxisme yang mempengaruhi sebagian besar tulisan-tulisannya. Buku ini betul-betul merupakan petualangan penulis terhadap semiologi yang digeluti secara intens selama beberapa dekade sebelum kematiannya pada tahun 1980. Petualangan ini diharapkan memberi inspirasi bagi pembaca yang ingin memiliki petualangan seperti halnya Empu Semiologi ini.


Arkeologi Pengetahuan | Michel Foucault, 1969

This volume was Foucault’s main excursion into methodology. He wrote it in order to deal with the reception that The Order of Things (Les Mots et les choses) had received. It makes references to Anglo-American analytical philosophy, particularly speech act theory. Foucault directs his analysis toward the “statement”, the basic unit of discourse that he believes has been ignored up to this point. “Statement” is the English translation from French énoncé (that which is enunciated or expressed), which has a peculiar meaning for Foucault. “Énoncé” for Foucault means that which makes propositions, utterances, or speech acts meaningful. In this understanding, statements themselves are not propositions, utterances, or speech acts. Rather, statements create a network of rules establishing what is meaningful, and it is these rules that are the preconditions for propositions, utterances, or speech acts to have meaning. Depending on whether or not they comply with the rules of meaning, a grammatically correct sentence may still lack meaning and inversely, an incorrect sentence may still be meaningful. Statements depend on the conditions in which they emerge and exist within a field of discourse. It is towards huge entities of statements, called discursive formations, that Foucault aims his analysis. Foucault reiterates that the analysis he is outlining is only one possible tactic, and that he is not seeking to displace other ways of analysing discourse or render them as invalid.

Mandala | Pearl S. Buck

Jagat, sang Maharaja Amarpur, adalah seorang pemikir yang maju. Ia memiliki istri cantik bernama Moti dan dikaruniai sepasang keturunan: Jai dan Veera. Jagat memiliki impian besar, baik demi negara maupun keluarganya. Ia bercita-cita mendirikan India modern yang makmur, dan salah satunya adalah dengan mengubah salah satu istananya menjadi hotel mewah bertaraf internasional. Ia juga bercita-cita mengirim putranya untuk belajar di Oxford, namun sayang, sang putra, Jai, menolak rencana ayahnya dan memilih mengajukan diri turun ke medan perang.

Ketika Jai gugur dalam perang, Jagat dan Moti sangat terpukul. Perkawinan mereka pun goyah, karena meskipun selama bertahun-tahun mereka tampil sebagai pasangan harmonis, kesedihan akibat kehilangan putra mereka membuat Jagat dan Moti sadar bahwa selama ini mereka tak pernah saling mencintai. Di tengah-tengah kegalauan ini Jagat bertemu wanita yang telah lama menantikan dirinya, sementara Moti jatuh cinta kepada lelaki lain. Sanggupkah Jagat dan Moti bertahan di dalam perkawinan mereka, ataukah mereka memilih menyerah dan menyambut cinta baru yang disodorkan kepada mereka?

Boulevard De Clichy: agonia cinta monyet | Remy Sylado

Banyak pelukis sejak abad ke-19 melukis kehidupan di Boulevard de Clichy. Termasuk Van Gogh, Bonnard, Cezanne, Pissaro, Renoir, Seurat, Severini, Signac. Apa yang menarik dari nama jalanan di Paris ini? Di situ, dalam novel ini, ada Anugrahati, panggilannya Nunuk, penyanyi dan penari telanjang yang dijuluki Meteore de Java. Dia terbuang namun tak menyerah, terlaknati namun terberkati. Cinta dan tanggung jawab pada kehidupan membuatnya kokoh.

Demikian teladan seorang wanita yang ibu kontemporer dalam potret manusia – manusia Indonesia setelah tumbangnya Orde Baru. Ditulis menurut realitas dengan pelbagai kemungkinan oleh pengarang mbeling Remy Sylado, yang pada tahun 2005 memperoleh anugrah Satya Lencana Kebudayaan oleh negara RI atas kepeloporannya di bidang sastra.

Toba Na Sae: sejarah lembaga sosial politik abad XIII-XX | Sitor Situmorang
History of socioculture of Batak Toba, an ethnic group of North Sumatra, and the struggle of Guru Somalaing against the Dutch colonial in Tapanuli in 13th-20th century. Gabungan dari dua buku karya Sitor Situnorang yang pernah diterbitkan jaitu, Toba na sae (Sinar Harapan, 1993) dan Guru Somalaing dan Modigliani, utusan Raja Roma … (Grafindo Mukti, 1993) dengan sejumlah tambahan dan perbaikan” : P. [xi].


Manusia Bugis | Christian Pelras

Pelras menyisipkan sejumlah detak kebudayaan Bugis yang tampak melangkahi denyut kultural Eropa yang sering dianggap berada di garis terdepan arus waktu progresif. Pelras misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kerajaan sekaligus bertahta memerintah kerajaan itu. Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras dan sederet nama yang lain, etnologi dan etnografi yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar, berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa yang lain

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply