Indonesian Cinema

IndonesianCinema01

“Politik” Film Indonesia (Order) Baru?

Oleh: Pundi T.S.

Sebagai satu bentuk budaya massa yang bersifat audiovisual, film dapat dipandang dan mempengaruhi bahkan membentuk nilai-nilai dan sikap hidup serta perilaku masyarakat. Berangkat dari pandangan semacam inilah pemerintah di banyak negara, termasuk di Indonesia, merasa perlu secara serius menaruh perhatian terhadap dunia perfilman. Salah satu bentuk perhatian itu diwujudkan dengan mendirikan lembaga sensor film. Antara lain melalui lembaga inilah pemerintah berusaha menentukan nilai-nilai dan perilaku hidup di masyarakat apa yang boleh dan tidak boleh di sebarkan ke masyarakat.

Dengan adanya lembaga sensor ini berarti film secara langsung dan tidak langsung, senantiasa berurusan dengan penyelenggaraan kekuasaan negara. Artinya, mulai dari proses produksi (pembuatan) sampai distribusi (peredarannya), film tidak pernah lepas dari rambu-rambu kekuasaan yang ada. Selain itu, film juga tidak pernah “steril” dari ideologi yang dominan. Sebab selain ada institusi yang menjaga rambu-rambu kekuasaan, juga ada institusi-institusi yang merancang dan menentukan film-film dengan tema macam apa yang layak dan tidak layak diproduksi serta menentukan film apa yang bisa disebut “baik”. Dengan demikian bangunan cerita film tidak sepenuhnya kehendak bebas dari pembuatnya, tetapi senantiasa terkait dengan berbagai macam kepentingan lembaga-lembaga yang mengitarinya. Apa pun bentuk intensinya. Buku Krisna Sen, Indonesia Cinema: Framing the New Order (1994) ini mencoba mengkaji film-film Indonesia Orde Baru (baca: pasca 1965) dengan melihat situasi keterkaitan antara kedua hal diatas.

***

Dengan pendekatan institusional-tekstual itu, Krisna Sen berambisi untuk keluar dari berbagai teori film yang ada: mulai dari teori film Barat, teori film Dunia Ketiga hingga apa yang ia sebut “pendekatan Asianis”. Teori-teori dan pendekatan itu, menurut Krisna Sen, sangat menekankan kesinambungan dan universalitas di dalam film nasional. Dengan penekanan semacam ini, hal-hal yang signifikan menjadi terabaikan, yakni perubahan, interupsi, dan disrupsi. Ketiga hal inilah yang hendak dicari dengan pendekatan institusional-tekstual ini.

Setelah menelusuri sejarah industri perfilman mulai dari awal 1900-an saat pertama kali film dikenalkan di Hindia Belanda hingga 1956 ketika banjir film impor (sebagian besar dari Amerika) benar-benar mendesak film nasional, Krisna Sen menunjukan bahwa antara seniman film dan produser senantiasa terjadi kesenjangan persepsi tentang film. Para seniman, terutama sutradara, memandang film sebagai media ekspresi estetika; sedangkan produser melihatnya sebagai lebih dari aspek komersialnya. Dengan adanya kesenjangan ini, corak film menjadi sangat tergantung pada daya tawar pihak mana yang lebih kuat.

Berkaitan dengan semakin menajamnya polarisasi politik pada akhir 1950-an hingga 1965, kesenjangan antara seniman film dan produser itu berkembang menjadi konflik terbuka. Organisasi-organisasi pekerja film dan pemilik modal, masing-masing memiliki afiliasi politiknya sendiri. Sehingga konflik antara kedua belah pihak itu merupakan refleksi dari pertarungan antara faksi-faksi politik yang ada.

Pertikaian itu juga terjadi di dalam badan sensor film. Sehingga corak film nasional dan film impor dari negara mana yang boleh beredar sangat tergantung pada orientasi politik kelompok yang dominan di lembaga itu. Kondisi ini berlangsung sampai akhir 1965.

Kemunculan kabinet (Orde) Baru ditandai dengan sikap kebijakannya yang sentralistik kekuasaan dan depolitisasi massa. Badan sensor film kini sepenuhnya berada di tangan-tangan orang yang mendukung pemerintah. Karena itu corak film yang bisa diproduksi dan boleh beredar dapat dikatakan sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Dalam kondisi politik semacam inilah muncul film-film yang seiring dengan program-program nasional: penciptaan dan pemulihan stabilitas dan keamanan demi kelancaran pembangunan.

Tentu saja tidak semua film yang muncul sesudah 1965 memiliki corak tema seperti itu. Tetapi, sebagian besar film-film yang dikaji dalam buku ini, dalam pengamatan Krisna Sen, memiliki kesamaan struktur cerita (narrative structure) dengan Grand Narrative Orde Baru: Order (ketertiban)—disorder (kekacauan)—re-order (pemulihan ketertiban).

Struktur cerita film semacam ini bukan hanya ditemukan dalam film-film sejarah, yang proses produksinya kebanyakan mendapat sponsor pemerintah, tetapi juga bisa dilihat pada film-film yang aspek komersialnya tampak sangat menonjol. Dalam film-film sejarah, misalnya seperti Pengkhianatan G30 S PKI, Serangan Fajar, Janur Kuning, dan sebagainya, selalu digambarkan upaya untuk menegakkan suatu order guna mengakhiri suatu disorder. Pelaksanaan upaya ini digambarkan bertumpu pada figur sentral, yang ironisnya selalu mengklaim sebagai perjuangan kolektif?.

Dengan menampilkan figur sentral, tetapi tidak terjebak menjadi representasi superhero, film-film sejarah itu tidak hanya mengkonstruksikan sebuah patriotisme, tetapi juga hendak merepresentasikan adanya semacam hirarki kekuasaan. Singkatnya, hendak ditegaskan adanya semacam pusat di dalam struktur kekuasaan.

Konstruksi mengenai kekuasaan “pusat” itu tidak hanya ditemukan di dalam film-film sejarah, tetapi juga ada dalam film-film yang bertemakan masalah keluarga. Di dalam film-film semacam ini, “pusat” itu terletak pada figur laki-laki. Di sinilah struktur patriakhis direproduksikan. Paradoksnya, hal ini sangat menonjol pada film-film yang justru mencoba merepresentasikan perempuan sebagai figur sentral, misalnya seperti Halimun, Bukan Istri Pilihannya, Bukan Sandiwara dan sebagainya.

Paradoks itu, menurut Krisna Sen, bisa terjadi karena di sana perempuan direpresentasikan dengan kaca mata laki-laki. Hasilnya “perempuan yang ditampilkan sebagai objek untuk dilihat, bukan subjek yang melihat atau berbicara” (hal. 134). Dengan demikian, konstruksi tentang perempuan ini akhirnya “terperangkap” di dalam hegemoni ideologi gender yang dirumuskan oleh Orde Baru dalam Panca Dharma Wanita.

indonesiancinema-senMasalah “keterperangkapan” ke dalam hegemoni ideologi yang dominan itu juga bisa dilihat sebagai masalah representasi siapa merepresentasikan siapa dan bagaimana. Dalam merepresentasikan masalah sosial lainnya, yakni kemiskinan, problem representasi itu tampak jelas sekali1. Dalam film-film awal Orde Baru, misalnya seperti Yatim, Ratapan si Miskin, Nasib si Miskin, dan sebagainya, tampak bahwa kemiskinan tidak direpresentasikan oleh orang miskin itu sendiri, melainkan oleh mereka yang hendak mengangkat martabat si miskin tersebut. Yang bisa dibaca dari teks tersebut, adalah pandangan bahwa kemiskinan bukanlah masalah yang bersifat struktural, tetapi akibat dari suatu kecelakaan yang bersifat individual; dan figur yang membantu mencari jalan keluar itu adalah representasi dari golongan atas. Ini berarti “pusat” itu juga di representasikan sebagai sumber kebajikan dan kedermawanan (Orde Baru).

Barangkali bukanlah suatu kebetulan bila teks semacam itu sangat mewarnai film-film Indonesia Orde Baru hingga awal 1980-an, pada saat mana state benar-benar merupakan patron dalam (hampir) segala aspek kehidupan, khususnya seni film. Dalam industri perfilman sendiri, peran state sebagai produser, yang terlihat pada Pusat Produksi Film Nasional (PPFN), juga sangat besar.

Semenjak pertengahan 1980-an, ketika basis ekonomi state mulai berkuran, serta dunia perfilman nasional mulai tergeser oleh film-film impor dari Amerika sebagai konsekuensi dari politik perdagangan tekstil, perhatian pemerintah terhadap film nasional mulai berkurang. Lebih-lebih pada akhir dekade itu, dimana film mulai terancam oleh televisi swasta, film nasional semakin termarginalkan. Selain itu, semakin canggihnya teknologi film semakin tidak memungkinkan state mengontrol dunia perfilman secara penuh.

Krisna Sen tampak berhasil mencapai penelitiannya, yakni menemukan perubahan, interupsi, dan disrupsi politik film Indonesia Orde Baru. Tetapi, dengan mencari pembenaran atas kesejajaran antara struktur cerita film nasional dengan Grand Narrative Indonesia, yakni wayang repertoire, apakah ini tidak berarti ia telah terjebak ke dalam suatu orientalisme, satu hal yang hendak ia tolak sendiri?

Amin.

Judul: Indonesian Cinema: Framing the New Order
Pengarang: Krishna Sen
Penerbit: London & New York: Zed Books, 1994
Call No.: 302.234309598 SEN Ind

1 Untuk masalah representasi terhadap masalah kemiskinan dapat dilihat artikel Krisna Sen dalam Prisma 5, (1990: 3-19) “Persoalan-persoalan sosial dalam Film Indonesia.”

* Penulis berterima kasih pada Bpk Hadipurnomo atas komentar dan koreksinya.

Catatan: Versi bahasa Indonesia telah terbit dengan judul Kuasa dalam Sinema: Negara, Masyarakat dan Sinema Orde Baru. Penerbit Ombak, 2009, tebal xxviii+317halaman, ISBN 602-8335-23-1.

Email | Website | More by »

Antropologi Unair (S1) 2009, tinggal di Surabaya.

7 Replies to “Indonesian Cinema”

Leave a Reply