The Komedie Stamboel

komediestamboel

Komedie Stamboel adalah teater hibrida di zaman kolonial yang dengan kompleks menggabungkan beragam teater, kesusastraan dan estetika Eropa dan Asia.  Sebagai satu genre pertunjukan populer di Indonesia, asal muasalnya dapat ditelusuri dari pendirian satu kelompok teater dengan nama yang sama[1] di tahun 1891 di Surabaya, dengan aktor Indo (Euroasia) yang didanai kongsi Tionghoa.  Pada awalnya, Komedie Stamboel sering dideskripsikan sebagai versi Melayu teater musikal Eropa.  Teater ini memberi sumbangan besar pada perkembangan teater kontemporer—seperti kroncong, ketoprak (yang pernah disebut sebagai stambul Jawa), ludruk, lenong, tooneel, perfilman, sekaligus politik identitas dan representasi.

Julukan “stamboel” diperkirakan berasal dari Istanbul, dan memang, pada awal berdirinya, cerita-cerita dari Timur Tengah seperti Seribu Satu Malam menjadi andalan pertunjukan mereka—hampir 90 persen dari cerita yang dipentaskan pada 10 bulan pertama mereka merupakan adaptasi dramatis dari kisah Seribu Satu Malam versi terjemahan Eropa.  Suasana dan perabotannya—pencahayaan, akting emosional,    panggung berkorden, orkestra musik pengiring, pembagian pentas menjadi adegan dan babak, kostum, make-up, plot—mirip dengan dramaturgi dan teknologi teater Eropa akhir abad 19.  Pengaruh lain yang tidak kalah pentingnya adalah teater Parsi atau wayang Parsi, yang berasal dari Bombay dan banyak mengelilingi Indonesia semenjak 1883 (atau bahkan lebih awal).  Pada dasawarsa pertama abad ke-20, komedi stamboel sudah punya koleksi drama (repertoire) yang sangat beragam, dari roman India, Persia, Timur Tengah, Kisah Seribu Satu Malam, sastra dan folklor populer Eropa (Dr. Faust, Putri Salju).  Juga ada kisah seperti Nyai Dasima, hingga Perang Lombok 1899-1900 yang dilarang pentas, dan adaptasi drama Shakespeare.


Detil buku
Judul: The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903
Pengarang: Matthew Isaac Cohen
Penerbit: Ohio University Press, 2006
No. Panggil: 792.09598 COH Kom

Foto artikel: Interlude musikal dari pentas pertunjukan stambul oleh Eendracht Maakt Macht (lihat bab 6 buku ini), sirka 1910. Yang berdiri adalah pengelola kelompoknya, Marie Oord. Duduk, kiri-kanan: Snellaers, Theo MacLennon, dan Nellie Houtzangers. Foto dari koleksi Robe Nieuwenhuys, Koninklijk Instituut voor de Tropen. Dimuat dalam buku ini, hal. 48.


Sejarah awal berdirinya stambul bertepatan dengan banyaknya perubahan pesat di Hindia Belanda.  Saluran transportasi dan komunikasi, seperti kereta api, sinema, phonograph, lithograph, percetakan, dsb. bermunculan dan menghubungkan orang-orang dari berbagai pelosok.  Dengan kritis, mendetil dan menarik, buku ini menghadirkan sejarah satu teater hibrida, dari mana kita mendapatkan gambaran hidup, perilaku dan norma sosial saat itu, berikut keresahan dan semangatnya.  Dari berbagai potongan arsip koran dan media cetak, Cohen merangkai sejarah suatu ruang publik beserta segala konflik dan gosipnya yang tidak hanya menghibur, tapi juga sangat informatif.

Di bab pertama Cohen menyorot kelahiran Komedie Stamboel di Surabaya, serta hubungannya dengan sifat masyarakatnya yang multikultural dan dinamis.  Cohen mencatat berbagai (peng)hiburan di kota ini, misalnya opera dan schouwburg, strijke , bataljon muziek, wayang kulit, wayang wong, tandakan, ludruk, Tahun Baru Cina, Pudu, Tjap Gouw Meh dan potehi.  Asal muasal Komedie Stamboel sendiri tidak terlalu diketahui—yang pasti, didanai oleh kongsi Tionghoa, terkadang disebut “Tangul Angin clique” dan awalnya berfungsi seperti klab sosial pendananya.  Secara retrospektif, Yap Gwan Thay, sering diberi kredit sebagai pendirinya dengan keahlian tehnisnya dan komitmen keuangannya.  Bisnisnya beraneka ragam, terutama di bidang hiburan dan manufuktur.  Juga dikatakan, Yap Gwan Thay sangat piawai dalam mempelajari, mengungkap prinsip kerja dan mengadaptasi sesuatu—termasuk membuat uang palsu![1]

Babah Yap Gwan Thay amatlah pinter
Buka komedi dengenlah gambar
Sedeng tendanya sampe besar
Tiada kuwatir ujan menyebar

Tuwan A. Mahieu punya buwatan
Sampe orang jadi ingetan
Dari cerdiknya suda klihatan
Lucunya juga jadi sebutan

Sementara aktor-aktornya terdiri dari orang-orang Indo yang bermukim di kawasan achterbuurt sekitar Krambangan.  Kebanyakan dari mereka tidak mengenyam pendidikan tinggi, tidak mampu berbahasa Belanda dan menggunakan Melayu dalam kesehariannya.  Begitu pun dalam pementasannya—Stamboel dipentaskan dalam bahasa Melayu, dan dalam perkembangannya, penonton Belanda kebanyakan harus membeli buku panduan untuk memahami pentas Stamboel.  Salah satu dari aktor ini, Auguste Mahieu, dengan pengaruh manajerial dan kepopuleran personanya, kerap disebut sebagai pendiri Komedie Stamboel.  Boleh dikatakan, buku ini menelusuri Komedie Stamboel melalui perjalanan hidup Mahieu.  Sebagai seorang aktor dan musisi yang handal, Mahieu dipercaya menciptakan melodi standard stambul (“Stambul I”, “Stambul II”, dst.).

Berbagai teknik digunakan untuk menarik pengunjung yang lebih beragam: mulai dari membagikan leaflet, menggunakan ensemble Italia, menggelar tombola (lotre), sampai menerbangkan balon udara yang sebelumnya gagal terbang di depan gedung teater.  Dari yang awalnya dipentaskan di tenda di Kampung Doro, Komedie Stamboel dibawa ke Kapasan, dan berbagai schouwburg.  Akting dibuat berlebihan, dengan “buang tingkah” dan kaus kaki putih untuk menonjolkan gerakan.  Atraksi tableaux vivant, yaitu satu atau beberapa komposisi beku dengan aktor-aktor yang diam tak bergerak (dan seringnya berpakaian minim kalau tidak berkostum luar biasa) dengan panorama realis fantastis dari sejarah atau legenda, tentunya disambut hangat oleh penontonnya.  Selain karena noni-noni Indo yang terkenal kecantikannya, fenomena gambar realis juga sedang marak-maraknya di Indonesia, satu hal teknis yang mendapat sumbangan banyak dari keahlian Yap.  Teks-teks luar diadaptasi dengan bahasa dan situasi mereka; sebagai contoh, cerita Faust dipentaskan sebagai Fathul Achmat, atau Faust dari Arabia, terdiri dari 80 pantun.

Dari satu teater di Surabaya, Komedie Stamboel melakukan pertunjukan keliling ke luar kota.  Ketika mereka melakukan tur panjang di bulan November 1891, Komedie Stamboel masih tampak seperti satu kelompok teater Surabaya.  Sekembalinya mereka dari perjalanannya, Stamboel menjadi teater keliling, dengan artis, teknik, bentuk dan ide yang lebih beragam dan inklusif.  Sebagai contoh, penyanyi dan musik Kroncong turut bergabung dalam Komedie Stamboel, melodi-melodi standard stambul menjadi kerangka dasar lagu-lagu keroncong, dan juga sering digunakan untuk pentas gambang kromong dan wayang cokek di berbagai soehian di Batavia.  Di luar lingkaran teater dan hiburan, irama Stambul I yang menjadi kerangka keroncong bahkan diadaptasi menjadi lagu kebangsaan Malaysia.  Dengan cepat mereka menyebar, diadaptasi oleh berbagai kelompok teater (profesional dan amatir).  Di tahun 1893 antusiasme masyarakat mengikuti komedie stamboel bukan lagi sebagai satu kelompok teater, tapi sebagai suatu genre kebudayaan populer, yang timbul melalui proses difusi, bukan melalui “gerakan” yang dibentuk secara sistematis.

Jula-Juli Bintang Tiga
Foto dari sampul buku, menggambarkan Raja Darsa Alam merasakan kehadiran spiritual peri (potongan karton) dalam pentas stambul “Jula-Juli bintang tiga” di Gombong, Jawa Tengah. Foto dari koleksi Rob Nieuwenhuys, Koninklijk Instituut voor de Tropen.

Tentunya, bukannya tanpa jatuh bangun.  Komedie Stamboel sebagai perusahaan berulang kali bangkrut, dan di tahun 1896 Mahieu berpindah menjadi direktur Sri Stamboel, Komedie Stamboel Bunga Mawar di 1898, dan terus mengalami perpindahan hingga akhir hayatnya.  Bahasa, dan perilaku para artis dan penontonnya, tak jarang dicap vulgar, identik dengan kekerasan dan roman.  Sering kali mereka mendapat kritik media dan masyarakat sekitar.  Nama mereka pun pernah diplesetkan sebagai Komedie Janboel dengan segala konotosi seksual-liarnya.  Pentas mereka di Mangga Besar—Rode Lamp van Batavia dari mana kita mendapat istilah “sakit mangga” untuk menyebut sipilis—adalah salah satu tur mereka yang dikecam penduduk sekitar.  Tapi, selain karena alasan “moral”, ternyata dalam satu kasus ada alasan lain: Komedie Stamboel menolak menjual pastel perkutut dan pastel bajing—produk lokal yang terkenal di kalangan sekitar tapi diragukan kualitasnya—di buffet yang mereka gelar di depan arena pertunjukan!  Tidakkah tuwan-tuwan dan njonja-njonja penasaran, seperti apakah pastel perkutut dan pastel bajing ini?

Bagaimana satu teater sederhana di Krambangan dapat melintasi batas-batas sosial, berasosiasi dengan opera Eropa melalui mekanisme legal, promosional dan estetik, dan akhirnya melakukan pentas di Singapura dan Malaysia, sering diatribusikan pada “sihir Mahieu”.  Melalui buku ini, kita dapat melihat bahwa Komedie Stamboel dan kepopulerannya tidaklah dibentuk oleh satu orang jenius, melainkan dari berbagai khalayak dengan beragam latar belakang dan orientasi, dan melewati jalan panjang menghadapi berbagai percobaan, kegagalan dan persaingan dengan hiburan lainnya.  Tapi tidak pula dapat disangkal, Mahieu berjasa besar dengan berbagai inovasinya, perhatiannya terhadap publikasi, serta dedikasinya meningkatkan repertoire, peralatan dan (reputasi) personnelnya.

Di akhir bukunya, Cohen memaparkan “warisan” pengaruh stamboel: bagaimana komedie stamboel mendorong eksperimentasi dan difusi.  Stamboel memberi model refleksi dan representasi.  Perbedaan, kontras dan konflik antar etnis dan ras dihadirkan—“didramatisasikan” bahkan—di ruang publik, dan menjadi model repertoire yang terasa hingga sekarang jejaknya dalam debat politik, sinetron, teater daerah.  Cohen juga menganalisa kajian-kajian dan studi sebelumnya, bagaimana stamboel dibedakan berdasar kategori rasial, atau seni tinggi vs rendah, dan bagaimana stamboel menolak pengotak-ngotakan tersebut. Stambul mengalami pasang surut, dihidupkan dan diimajinasikan ulang, digunakan sebagai salah satu cara mendefinisikan budaya, otonomi dan pengakuan terhadap masyarakat Indo (Eurasia).  Dipaparkan juga pengaruh dan peran masyarakat imigran Indo sebagai mediator, dan sisa-sisa kebudayaan tersebut, seperti usaha Jan Boon alias Tjalie Robinson, yang saking kagumnya memakai nama Mahieu sebagai nama penanya.  Dengan mengamati posisi satu teater populer dan dampaknya di ruang publik, buku ini menguraikan begitu banyak fakta sejarah, analisa kompleks dan detil dinamika sosial.  Tak ada yang bisa saya katakan selain, wajib dibaca, dan, semoga-semoga—seperti yang dikatakan Cohen di awal bukunya—ada studi atau perkembangan berikutnya.

Referensi

Catatan kaki
[1] Mengikuti Cohen, saya menggunakan Komedie Stamboel dengan huruf besar untuk merujuk pada kelompok teater pertama ini, dan tanpa huruf besar sebagai genre.

[2] Mengenai “kepiawaian” Yap Gwan Thay, baca artikel Cohen (2010), artikel sandingan dari buku The Komedie Stamboel. Yap Gwan Thay digambarkan sebagai “orang tjina jang soenggoe pande tjari oentoeng, tapi koerang akal, maka begimana djoega dia banting kaki tangan, ia tiada dept berkat dari dagangannja, entah apa sebabnja?”

Baca juga…

Cohen, Matthew. “On the origin of the Komedie Stamboel: Popular culture, colonial society, and the Parsi theatre movement” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157 (2001), no: 2, Leiden, 313-357.  Diunduh dari: <http://kitlv.library.uu.nl/index.php/btlv/article/view/3144/3905>. Versi awal dari beberapa bagian dalam buku dipublikasikan dalam artikel ini, utamanya membahas pengaruh teater Parsi.

Cohen, Matthew. “Seorang Pujangga Tioghoa dari Surabaya?” dalam Henri Chambert-Loir, ed., Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: KPG, 2010, hal. 877-891.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply