Indonesian Cinema

Dalam buku ini, Heider mengamati hubungan antara budaya dan sinema Indonesia.  Film di sini diamati sebagai produk budaya, yang dapat dianalisa untuk mempelajari budaya asalnya (Indonesia).  Menurut Heider, film-film Indonesia memiliki kharakteristik ke-“Indonesia”-an—sesuatu yang banyak diperdebatkan, mengingat banyaknya unsur daerah di Indonesia.  Menurutnya, selain tidak adanya bisnis regional film, film-film Indonesia hampir semuanya menggunakan “bahasa Indonesia” (dengan sedikit frase-frase lokal sebagai bumbu) dan ditujukan untuk orang-orang dari segala propinsi, dengan kekhasan daerah yang diminimalisir.


Indonesian Cinema: National Culture on Screen
Penulis : Karl G. Heider
Penerbit : University of Hawaii Press, 1991
No. Panggil: 791,4309598 HEI Ind


Memang, media film sendiri adalah media baru yang relatif “diimpor”, dengan elemen-elemen “asing”: teknologi kamera, projektor, film, poster iklan, dsb.  Tapi memasuki abad ke-20, film menjadi salah satu media terkuat dalam mengekspresikan budaya “Indonesia”, dengan pengaruh kental pada kaum mudanya.

Melalui analisanya, Heider menyorot tema-tema dan fitur yang kerap diidentikkan dengan budaya “Indonesia”, seperti 1) keterikatan sosial (social embeddedness) dan harmoni kelompok >< otonomi individu (individual autonomy); 2) order vs. kekacauan >< baik vs. jahat; 3) pembentukan modernisasi dan pembangunan Indonesia; 4) penceritaan ulang sejarah dan legenda Indonesia; 5) (re)konstruksi tema-tema budaya Indonesia.  Di sini dia juga menyorot perbandingan emosi, meskipun dia juga menekankan bahwa permasalahan ini tidaklah sesimpel mengkotakkan orang-orang Amerika sebagai lebih individualistik dan Indonesia lebih berorientasi kelompok.

Dalam penelitiannya, Heider mengakui tidak menggunakan metodologi yang rapi, dan pilihan-pilihan filmnya pun sedikit banyak dipengaruhi terbatasnya data film lokal (satu kendala yang masih terus mempengaruhi perkembangan film Indonesia).  Di sini Heider dengan sadar memilih genre film karena dirasa lebih cocok untuk analisa budaya, dibandingkan dengan auteur film yang dengan sedikit “jaim” (self-conscious) (berusaha) menjauhi konvensi-konvensi standar.

Memang, kebanyakan film-film Indonesia tidak menggambarkan kehidupan mayoritas masyarakat Indonesia.  Sebaliknya, sebagian besar film Indonesia malah kerap menunjukkan sebagian kecil masyarakat urban kelas atas, dan bahkan dalam penggambarannya pun sering menampilkan distorsi dan penampilan yang berlebih-lebihan.  (Meskipun setidaknya sampai penelitiannya di tahun 1991, Heider mengamati penggambaran upacara seperti pernikahan, pemakaman, bahkan sunat, cenderung cukup etnografis.)  Tapi Heider di sini menyorot tipe-tipe genre dan plot yang sering muncul, serta berbagai konvensi naratif seperti mata melotot dan alis naik sebagai emblem wajah marah (yang sebenarnya tidak meningkatkan emosi marah!), tangan kiri sebagai sesuatu yang kotor dan diasosiasikan dengan buang hajat, penghelaan napas panjang, muntah pada perempuan sebagai pertandan hamil, dan gelas atau kaca pecah sebagai pertanda bencana.

Di sini, sinema dan film dianalisa sebagai bagian dari budaya itu sendiri, mempengaruhi sekaligus dipengaruhi olehnya.  Namun berbeda dengan Sen yang juga menerbitkan buku dengan judul yang mirip, fokus Heider lebih pada pola-pola yang kerap muncul dalam film-film Indonesia, dibandingkan pada pergerakan dan pengaruh politik.  Heider juga memberi gambaran mendasar industri sinema di Indonesia, dan menyorot tingkat produksi dari tahun ke tahun, dan membandingkannya dengan negara-negara lain.  Ada sedikit analisa mengenai penonton, meskipun dia sendiri mengaku sangat mendasar dan tidak menyeluruh.  Satu buku pengantar yang wajib dibaca untuk lebih memahami film Indonesia dan kaitannya dengan budayanya.


Memperingati bulan Film Nasional, selama bulan Maret ini kami akan menampilkan koleksi-koleksi kami yang berhubungan dengan Film Indonesia, mulai dari buku, kliping, makalah, majalah, jurnal, dsb.  Selain itu, setiap Jumat pk. 17.00 dan Sabtu 17.30, kami juga memutar film-film Indonesia.  Kami berharap pembacaan sejarah dan konteks film Indonesia ini dapat membantu sedikit mengenal film Indonesia, dan meningkatkan pemahaman persoalan hari ini. Selamat menonton dan membaca!
Keterangan gambar: Rima Melati sebagai gadis jelita Minang dan Fifi Young sebagai ibu mertua dalam Salah Asuhan. (hal. 98)


Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply