Little Birds

Saya bukan penyuka karya sastra selangkangan atau lebih dikenal sastra lendir. Buku-buku karangan Djenar Maesaayu atau Ayu Utami bukan favorit saya. Saya juga tak suka kisah cabul ala Amy Arrow atau Motinggo Busye. Membaca buku mereka menurut saya seperti melakukan onani saja. Maaf, saya tak bermaksud menghina. Hanya beda selera.


Judul: Little Birds
Pengarang: Anais Nin
Penerbit: Penguin Classic, 1979
No. Panggil: F NIN Lit


Seorang kawan menyarankan saya membaca karya-karya Anais Nin jika ingin mendalami sastra selangkangan yan tidak vulgar. Undangannya saya terima dengan mengobrak-abrik koleksi Anais Nin di C2O Library. Saya pilih yang paling tipis, agar cepat dibaca. Little Birds judulnya, diterbitkan Penguin Klasik tahun 1979.

Menarik menyimak kata-kata Nin dalam pengantar buku ini. Nin mengaku di jamannya, sekitar 1940-an, orang menulis kisah erotis karena didorong rasa lapar. Bayaran selembar kisah erotis bernilai satu dolar. Sungguh lumayan di saat itu.

Menurut Nin, rasa lapar menuntun kepada fantasi seksual, bukan kepada energi melakukan kuasa seksual. Sedang aktivitas seksual sendiri tak akan menuntun pada fantasi seksual yang luar biasa. Seperti diakuinya, menulis kisah-kisah erotis itu seperti memasuki kerajaan prostitusi. Mungkin di masanya hanya kaum pelacur yang berani menjelajahi fantasi liar seksual mereka. Sedang masyarakat kebanyakan menganggap seks itu tabu dibicarakan walau terus dijalani.

Anais Nin

Little Birds terdiri dari 13 cerpen erotis, yang ditulis Anais Nin tahun 1940-an. Pengarang berdarah Kuba, Spanyol, dan Prancis ini lebih banyak menghabiskan hidupnya di Prancis dan  Amerika. Ini yang mendasari keragaman latar  karyanya. Kisahnya bisa berawal dari kehidupan gemerlap para  selebritis, para model, pelukis, hingga manusia biasa dengan kemiskinan yang membelit.

Buku ini dibuka dengan cerpen bertajuk Little Birds yang menggambarkan kehidupan Manuel, seorang pelukis dan istrinya. Mereka menyewa sebuah apartemen murah di Paris. Manuel nyaman dengan apartemen buruk itu, karena ada cahaya yang memudahkannya melukis, dan menghadap halaman sekolah. Manuel terpesona celoteh gadis-gadis sekolah. Celoteh yang menurutnya seksi dan merangsang fantasi seksualnya.

Dia lalu membeli burung untuk menarik perhatian mereka, agar mau mampir ke apartemennya di saat istrinya pergi bekerja. Pada saat jebakannya berhasil, di depan gadis-gadis cilik itu  dia mempertontonkan  ‘burung’-nya.

Dalam The Woman on the Dunes kita dituntun menghayati seorang perempuan yang diperkosa tatkala menyaksikan hukum pancung ala Prancis. Perempuan itu merasakan sensasi diperkosa sekaligus kengerian saat guillotine memangkas kepala si terhukum di depannya. Begitu kaya imajinasi. Apalagi kisah ini digiring lewat lelaki yang kepanasan tengah malam, lalu bertemu perempuan itu di sebuah pantai, hingga mereka beromans ria.

Lalu kisah tentang Lina, wanita bertubuh sensual yang menolak pesona feminitas dalam dirinya. Ia menjalani hidup sebagai pencinta sesama, pencemburu berat terhadap pacarnya yang biseksual. Dalam sebuah kejadian, Lina diperdaya, diperangkap dalam hubungan three some, dengan pacarnya dan seorang teman lelaki. Dan dia menikmatinya!

Saya paling suka Two Sisters, karena kisahnya begitu kompleks. Edna dan Dorothy di masa kecil adalah korban pelecehan seks ayahnya, kemudian menjadi target seksual dua saudara laki-lakinya. Ketika dewasa, Edna menjadi artis dan menikah dengan lelaki yang lebih tua. Sedang Dorothy yang lebih maskulin belajar mengukir.

Kisah dimulai ketika Edna jatuh cinta kepada Robert, dan mereka menjadi sepasang kekasih gelap. Suatu ketika Robert terbangkit birahinya melihat Dorothy yang telanjang di kamar mandi. Mereka menjadi kekasih yang tak terpisahkan, hingga memutuskan menikah.

Namun pernikahan itu membuat Edna mati jiwanya. Dorothy merasa bersalah, hingga menjadi frigid. Untuk menemukan gairahnya kembali, Dorothy pun bercinta dengan lelaki lain. Detil adegan dalam kisah ini tak hanya melambungkan daya khayal erotika, tapi juga halus dan menggelitik.

Dalam Sirocco, dikisahkan pertemanan dua perempuan muda yang aneh. Yang satu pendek dan mirip lelaki, yang lain mirip Viking. Ketika ada sirkus keliling di kota, si jangkung Viking lalu mengisahkan hidupnya kepada tokoh aku. Dulu pernah dia menikah dengan lelaki Cina lalu hidup di negeri suaminya. Namun dia tak tahan karena suaminya memelihara banyak gundik.

Suatu ketika si Viking kabur, bertemu dengan lelaki Amerika, lalu menghabiskan harinya dengan bercinta di sebuah hotel. Suatu ketika suaminya menelpon, di saat dia sedang bercinta. Girang mendengar suara suaminya berpadu dengan kenikmatannya menerima belaian sang kekasih. Semua dipadukan secara apik oleh Anais Nin.

Dalam The Maja dikisahkan perkawinan antara pelukis Novalis dengan Maria, perempuan Spanyol, Katolik, dan kalangan bangsawan yang menganggap tabu menampilkan sensualitas di depan umum, bahkan  di depan suami sendiri. Hubungan seksual mereka berlangsung aneh, tertutup, sok sopan. Suatu ketika Novalis terbangkit gairah melukisnya saat menelanjangi istrinya yang terlelap karena obat tidur.

Maria kemudian merasa suaminya tak lagi mencintainya karena tak mau menyentuhnya. Dia tak tahu kalau Novalis lebih suka bercinta dengan lukisan dirinya yang telanjang ketimbang dengan dirinya yang nyata.

Kisah perempuan keturunan Cina yang dididik ala Eropa muncul dalam A Model. Perempuan ini amat mendamba bercinta, namun pacar-pacarnya menolaknya dan hanya mau sekedar bercumbu. Sementara para pelukis merayunya untuk bercinta, sedang dia tak mau. Bagaimana akhirnya dia menemukan pria sejatinya, yang mau mengajaknya bercinta? Dan pengalaman erotis apa saja yang dialaminya sepanjang pencarian akan ksatria hatinya? Semua dilukiskan dengan detil dan apik.

Dalam The Queen, seorang pelukis menceritakan pelacur pujaan hatinya, yang mampu memukau semua lelaki yang ditemuinya. Sensualitas tubuhnya, perilakunya, sifatnya, menyatu dalam gambar yang dilukisnya, dan keengganannya menjalin cinta dengan lelaki yang berhubungan badan dengannya.

Pujian si pelukis dituang dengan indah oleh Nin, “As she walked out, she left a tiny trail of semen, by which I could have followed her easily anywhere.

Hilda, model cantik di Paris, jatuh cinta dan hidup bersama dengan penulis asal Amerika. Dalam bercinta, Hilda harus aktif mencumbu, merayu, bahkan merangsang pasangannya yang ‘cuma terima mentah’ saja. Seorang puritan ini kemudian menjelma mirip pelacur nakal nan agresif.

Suatu hari Hilda bertemu Rango, pelukis Meksiko yang mengajarinya bagaimana bersikap sebagai perempuan feminin, anggun, elegan, dan meredam kebinalannya. Di saat itulah Hilda benar-benar menjadi perempuan, bukan semata pemuas nafsu. Itu yang terpercik dalam Hilda and Rango.

Sebaliknya dalam Chanchiquito, Laura begitu kuat merekam pengalaman masa kecilnya, bahwa di antara kakinya ada lubang yang bisa dimasuki binatang berbahaya, chanchiquito. Lubangnya pernah diendus seekor anjing pelacak, dan dia merasakan sensasi yang menyenangkan. Ketika dia menjadi model seorang pelukis, dan menangkap gambar perempuan di dinding beserta anjing-anjingnya, saat itulah ingatan lamanya kembali. Bedanya kali ini si chanchiquito adalah si pelukis.

Pada Saffron, Fay yang remaja dituntun untuk menemukan sensualitas dirinya ketika menikah dengan Albert yang lebih pantas menjadi ayahnya. Albert lebih suka bercinta dengan budak-budak negronya ketimbang tidur dengan Fay. Namun ketika istrinya pulang dari pasar, dengan tubuh penuh aroma saffron, nafsunya pun terbangkitkan. “You smell like a colored woman,” katanya.

Mandra, seorang biseks. Memiliki kekasih pria namun menikmati mencumbu para wanita. Hidup di kalangan atas, kerap dia ‘bermain’ dengan istri mereka, memuaskan nafsu tersembunyi perempuan yang tak mampu dijangkau kaum lelaki. Sensualitas dan erotika digambarkan dengan apik oleh Anais Nin, menjelajah daerah bertuan, membangkitkan fantasi dan merobek daerah tabu.

Buku ini diakhiri dengan kisah Runaway, tentang Jeanette yang lari dari rumah lalu tinggal denga Jean. Mereka menjadi sepasang kekasih sementara waktu, sebelum Pierre, teman serumah Jean, mengambil alih peran Jeanette. Pierre mengajari gadis muda itu untuk bercinta dengan bebas, meninggalkan kerikuhan, menjadikan semata-mata kenikmatan sebagai tujuan akhir.

Saya temukan kekuatan kata-kata Nin dalam mengungkapkan fantasi seksual tokoh-tokohnya. Diksi yang dipilihnya sederhana, namun membius dan menghujam dalam menggambarkan perbuatan tokohnya. Di setiap cerpennya Nin membuka dengan memperkenalkan tokoh-tokohnya, dan berakhir dengan klimaks penyelesaian konflik seksual tokohnya.

Saya ikuti setiap cerpennya ditutup dengan kalimat yang sangat efektif, dan menghentak.  Dalam Two Sisters misalnya, di kalimat akhir dia gambarkan Dorothy yang pulang kerumah setelah berhubungan seks dengan dua pria. Kelaminnya masih basah. Birahinya menyebar ke udara, dan ditangkap oleh Robert, suaminya. Tanpa buang waktu Robert segera mengajak istrinya bercinta, tanpa peduli ‘basah’ lain di tubuh istrinya. Tak bisa lagi dia bedakan apa yang dipancarkannya itu spermanya atau sperma lelaki lain. Sementara Robert mencapai orgasme, Dorothy justru kembali frigid. Padahal sejam lalu dia baru saja orgasme bercinta dengan orang lain, di saat dia membayangkan bercinta dengan Robert.

Usai membaca buku ini saya jadi bertanya-tanya, di mana batas antara erotis dan pornografi itu? Bagaimana mengetahui sebuah tulisan adalah sastra erotik dan tulisan lain hanya berisi kisah cabul? Kemudian saya temukan tulisan Caroline Morissette yang mengurai beberapa kalimat dalam karya sastra erotik.

Mengambil teori Henri van Hoof, ‘Erotisme adalah kecenderungan estetika emosi dan simbolisme mistik, sedang pornografi lebih mengarah kepada perbuatan cabul.’  Ini berarti kalimat di dalam karya tulis yang mengarahkan kepada fantasi seksual orang-orang, itulah sastra erotik. Sedang kalimat yang menggiring kepada perbuatan cabul itulah karya pornografi.

Morissette lalu menunjukkan bahwa kalimat dalam sastra erotik berada di antara romantisme dan pornografi. Hah, bagaimana Anda yakin bahwa kalimat di dalam karya Anais Nin merupakan sastra erotik? Silakan baca saja karyanya. Dan siapa tahu Anda bisa membandingkannya dengan Serat Centini, karya erotika Jawa.

Selamat membaca!
Ary Amhir
http://othervisions.wordpress.com/2011/02/28/sastra-erotik-dalam-little-birds/

Email | Website | More by »

Pernah bekerja sebagai jurnalis di sebuah harian Surabaya, lalu majalah wanita di Jakarta, dan menjadi penulis lepas di beberapa media seperti Familia (Kanisius Group), Intisari, The Jakarta Post. Telah menerbitkan buku "TKI di Malaysia: Indonesia yang Bukan Indonesia", "Antologi Bicaralah Perempuan", dan "Journal of 30 Days Around Sumatra".

One Reply to “Little Birds”

Leave a Reply