Tato

Dibagi menjadi enam bab, buku ini dengan kritis membahas tato mulai dari tato sebagai fenomena budaya tanding dan budaya pop, sejarah perkembangannya di berbagai pelosok dunia, tato dalam masyarakat Indonesia, makna dan konteks sosial budaya, dan studi kasus di Yogyakarta. Dijelaskan pula proses teknis penatoan, baik di studio maupun dalam masyarkat tradisional. Buku ini pertama kali diterbitkan di tahun 2006, terutama karena penulis melihat minimnya kajian dan referensi mengenai tato di Indonesia.

Sebagai pendahuluan, dengan gamblang dan mudah dimengerti dipaparkan berbagai tinjauan teoretis terhadap tato sebagai budaya tanding dan budaya pop. Di sini, kita diingatkan mengenai tato sebagai seni yang berkaitan dengan perjalanan sejarah, politik kekuasaan, ekonomi, sosial budaya dan agama.

Bab kedua membahas sejarah perkembangan tato. Mengingat luasnya jangka waktu dan geografis yang tercakup, memang di beberapa bagian, terasa informasinya kurang mendetil, tapi tuturan Hatib tetap lincah, menarik dan beragam.

Bab berikutnya, Tato dalam Masyarakat Tradisional Indonesia, sayangnya hanya membahas Tato Mentawai, Tato Dayak, dan Tato Bali. Di sini, tato mempunyai nilai ritual dan pranata sosial-budaya yang sangat kental, dari segi ekonomi, kesehatan, kepercayaan, teknologi, keahlian dan wibawa. Terutama di sini adalah fungsinya sebagai jati diri kesukuan. Namun eksistensi tato dan kaitannya dengan beragam makna, tanda dan simbol yang menyiratkan struktur masyarakat yang bersangkutan, mulai memudar.

Setelah melihat konteks sejarahnya, kita dibawa ke dalam uraian konteks makna dan budaya tato. Di sini dibahas mengenai Petrus (penembak misterius) yang marak terjadi selama 1983-1985 sebagai bagian dari kontrol negara. Wacana dalam agama pun dibahas, serta kaitannya dengan asketisme. Terakhir, dipaparkan berbagai contoh tipikal simbolisasi tato.

Buku ini patut dibaca karena hingga saat ini, setahu saya, buku ini masih tetap menjadi rujukan mengenai tato di Indonesia. Selain kaya akan sumber referensi tertulis, Hatib sebagai “orang dalam” juga banyak berinteraksi dan mewawancarai berbagai ahli dan praktisi tato seperti Ady Rosa, Munir (Toxic Tattoo), Athonk (Eternity Tattoo), dan jeli mengamati penggunaannya di berbagai kalangan.

Foto oleh Durga Tattoo.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply