Reportase: DIY #1 Introduction to Design

Ini adalah reportase hari pertama DIY Talk, bagian dari Design It Yourself, rangkaian acara desain yang digelar di C2O selama bulan Oktober 2011.  Jadual lengkapnya, lihat: http://c2o-library.net/2011/10/design-it-yourself-2011/


“Ayah, desain itu apa?” tanya Jasmine.  Pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan iseng oleh Ayos padanya.  Pak Ramok, ayahnya, tertawa kecil dan menjawab, “Kamu duduk di sini saja.  Mungkin nanti kamu akan tahu jawabannya.”

“Sembilan tahun yang lalu pertanyaan yang mirip pernah dilontarkan juga pada saya, oleh calon mertua saya.  ‘Kerjanya apa?’  Kalau saya jawab ‘desainer’, mereka tahu nggak yah?  Bisa-bisa malah memancing pertanyaan-pertanyaan yang lebih banyak.  Jadi saya jawablah, ‘Dosen’.  Dan selesailah semua permasalahan,” lanjut Pak Ramok, disambut gelak tawa para pengunjung.

***

Minggu sore, 2 Oktober 2011, tikar-tikar telah siap di pelataran belakang C2O.   Sambil menunggu acara dimulai, ada yang melihat-lihat atau membaca-baca buku.  Di ruang kecil di belakang, ruang yang disulap menjadi think thank lab (alias kantor, gudang, sekaligus kamar kos (??) C2O), presentasi untuk malam itu disiapkan.

Memang, ada banyak pengertian desain, entah sebagai cara berpikir (way of thinking), pemecahan masalah (problem solving), sebagai hasil, sebagai proses, sebagai hanya visual, dan lain-lain.  Di Design It Yourself (DIY), desain kami artikan sebagai sesuatu yang sangat mendasari aktifitas manusia—penempatan dan pengelolaan apapun untuk mencapai tujuan yang dinginkan adalah proses desain.  “Semua orang mendesain, ketika mereka merancang rangkaian rencana, cara, aksi, apapun, untuk merubah situasi yang ada sekarang, menjadi situasi yang lebih baik atau diinginkan,” papar Andriew Budiman dalam presentasinya mengenai DIY 2011 yang membuka acara malam itu.  Desain di sini kami pahami sebagai pemikiran yang integral, apalagi di jaman yang semakin mobile dengan sistem berjejaring, makin diperlukan ruang untuk bertatap muka, berdialog, menyikapi perbedaan dan berkolaborasi.

Maka, di tahun pertama Design It Yourself, kami mengangkat tema Contemporary Local Design Scenes dengan tujuan mengumpulkan, meneliti dan memetakan situasi, kondisi, dan permasalahan-permasalahan dalam desain di Surabaya.  Fokus utama memang pada dialog dan diskusi, dengan suasana yang santai dan tentunya tidak kehilangan begejegan khas Suroboyoan.

Design: Desain, atau Rancang?  Permasalahan istilah, atau esensi pemahaman?

Trust me, I’m an Architecxt,” tertulis di kaos yang dikenakan Anas Hidayat sore itu.  Seorang arsitek dari Republik Kreatif, Anas sebenarnya merasa lebih cocok menulis, apalagi dia merasa kebanyakan arsitek kerap mengabaikan penulisan dan pengkajian.  Mengenai desain di Surabaya, beliau mengatakan:

Kita sering melihat Jakarta, Bandung, apalagi yang di luar negeri, sebagai lebih hebat, lebih bagus.  Sebenarnya sama saja.  Tapi kita gagal melihat esensinya.  Khusus dengan lokalitas, penyakitnya tambah satu: rabun dekat.  Silau dengan yang di luar, kita gagal melihat lokalitas kita sendiri.  Jadi di Surabaya ini, yang menjadi tempat kita ini, justru jarang sekali kita eksplor, kita jelajahi.

 Panelis berikutnya, Prof. Josef Prijotomo, guru besar arsitektur ITS, mengatakan sebenarnya ada dua terjemahan dari design, yang diambilnya dari Gunawan Cahyono:

Pertama, ‘desain’, yang di-Indonesiakan dari design. Akarnya adalah sign itu sendiri, tanda.  Memasang tanda diri pada karyanya.  Di sini, ada dimensi individu, ego, yang menekankan pada pembuatnya, ada signature-nya.  Kedua, ‘rancang’, sebagai problem-solving, pemecahan masalah, yang menekankan pada karyanya, bukan pembuatnya.  Ini memprioritaskan manfaat pada masyarakat, dan individualitas dimundurkan ke belakang.  Ini akan menentukan sikap kita.

 Lalu, apakah desain dan rancang kemudian menjadi dua domain yang terpisah? Ayos Purwoaji, inisiator blog perjalanan Hifatlobrain Travel Institute, mempertanyakan apakah tidak mungkin desain dan rancang dalam pengertian di atas adalah tahapan-tahapan.  Apakah tidak ada tumpang tindih, atau bahkan kesinambungan, di sana?

Kemudian, apakah kita lantas dapat menyimpulkan bahwa semua orang yang mengaku sebagai desainer lantas mementingkan individualitas diri, sementara semua perancang sebagai yang mementingkan karya?  Lalu bagaimana ini menjawab adanya banyak perancang busana Indonesia yang mempunya signature yang kuat?

Bing Fei, yang mempelajari desain secara otodidak dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal desain, memaparkan bahwa secara praktis, beliau tidak ingin terlalu memusingkan definisi—apakah dia disebut desainer atau perancang—yang kemudian menghambatnya dalam bekerja dan berkarya.  Secara penyikapan, Bing Fei juga tidak mementingkan pencantuman nama diri.  “Semuanya perlu disesuaikan dengan tujuan karyanya,” ucapnya.

Jadi, meskipun mengaku sebagai desainer, penyikapan yang diambil bisa tetap pada memprioritaskan manfaat dan tujuan.  Ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat dengan mudah mengkotak-kotakkan semua orang yang mengaku desainer sebagai mengedepankan ego dalam karyanya, sementara perancang sebagai yang mengedepankan manfaat dan tujuan karya.

Tampaknya, ada semacam ketidaknyamanan terhadap istilah dalam bahasa Inggris yang dianggap tidak lokal, atau kurang Suroboyo-an.  Di satu sisi, arek Suroboyo ingin mempertahankan tradisi, bahasa, dan identitas mereka, tapi di sisi lain kita juga ingin turut berpartisipasi dalam perkembangan global.  Ini menjadi pertanyaan mendasar yang dilontarkan Prof. Josef kepada forum DIY:

Lho kenapa kok DIY, Daerah Istimewa Yogyakarta.  Kok nggak GDC?  Garapen Dewe, Cok!  Ini sampai pada pertanyaan yang ingin saya lontarkan pada forum ini.  Ini maunya membaratkan diri, dengan ber-Inggris-Inggris ria, tapi cuma judulnya, atau kita mau mengglobalkan diri?  Nah bahasa Inggris itu bisa kita pakai untuk mengglobalkan diri, atau sekedar sok-sokan.

Pemunculan dan popularitas karya dan pembuatnya—termasuk karya desain dan desainernya—tidak terlepas dari situasi kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya sekitarnya.  Representasi dan popularitas karya pun, sebenarnya merupakan bagian dari proses ini.

Surabaya memang sejak lama dikenal memainkan peran utama dalam menggabungkan tradisi dan modernitas, bahasa dan budaya lokal dengan perkembangan global.  Mayoritas penduduknya berbahasa Jawa (dengan kekhasan masing-masing, bercampur dengan pengaruh Madura, Hokkien dan Melayu yang di-Jawa-kan) dan Indonesia.

Ada banyak media yang menggunakan bahasa lokal.  Bahkan, dua majalah yang seluruhnya ditulis dalam bahasa Jawa pertama kali diterbitkan di Surabaya, yaitu Panjebar Semangat (dari sekitar tahun 1930an) dan Jaya Baya (edisi pertama diterbitkan tahun 1945).  Begitu pula ada stasiun TV lokal, JTV.  Apalagi sejak desentralisasi, peng-“Suroboyo”-an ini bisa dengan mudah dijumpai di setiap sudut kota seperti slogan, iklan, papan nama dan bahkan rambu lalu lintas.  Produk-produk yang menggunakan vernakuler ini, seperti Cak Cuk, dan sekarang baju dan aksesoris yang mengusung ikon Bonek (Bondo Nekad), tumbuh menjamur di Surabaya.

Pendidikan desain

Akademisi seharusnya berperan besar dalam pembentukan representasi desain.  Sayangnya, menurut Prof. Josef, situasi akademis di Surabaya memang cukup ruwet, apalagi jika berkaitan dengan pegawai negeri.  Berkaitan dengan beberapa pendidikan tinggi desain, untuk melakukan perubahan, diperlukan proses dan prosedur yang sangat panjang.  Prof. Josef memberi  contoh, ada salah satu dosen di ITS dengan etika dan sistem kerja yang tidak bertanggung jawab.

Dia hanya datang untuk tanda tangan absen dan mengambil amplop gaji, kemudian pulang.  Tugas-tugas pendidikan, mahasiswa-mahasiswanya disuruh datang ke rumahnya. Kalau dia dipecat, dinyatakan dikeluarkan sebagai pegawai negeri, prosesnya bisa sampai 12 tahun.  Males ngentenine, jarno ngono wae (Malas menunggu [pemecatannya], ya sudah dibiarkan saja seperti itu)!  Di Indonesia kepegawainegerian itu memang seperti itu.

 Tampaknya, kita tidak bisa menggantungkan diri pada sistem pendidikan yang ada.  Dari pengalamannya sendiri dan hasil interaksinya dengan lingkungannya, Bing Fei bercerita bahwa terutama yang penting di sini adalah kecintaan masing-masing pada desain sendiri.  Apakah itu jalan yang kita yakini?  Beliau tidak mengambil jalur pendidikan desain resmi, tapi beliau—dan banyak praktisi-praktisi desain lainnya—mendorong untuk mencari dan menganalisa sendiri informasi-informasi melalui berbagai media (seperti majalah, internet, buku) dan melalui perkumpulan-perkumpulan.

Itu semua kembali lagi sebenarnya ke diri kita masing-masing.  Soalnya sebenarnya saya heran juga, dengan institusi-institusi pendidikan yang seperti berlomba-lomba membentuk DKV.  Ada euforia.  Soalnya ketika teman-teman atau orang yang berniat magang saya wawancarai, kok hampir 80%  sepertinya tidak tahu kenapa mereka masuk ke sekolah desain.  Rata-rata jawabannya karena:  Enak, isine nggambar tok.  Atau, tidak ada matematikanya.

Jadi sebenarnya kembali-kembalinya ke hati kita sendiri.  Proses pencarian diri bisa dimulai saat kita sekolah, saat kita SMA, kita sudah membuka wawasan seluas-luasnya, sehingga kita tahu apa yang ada di luar sana, mencoba sebanyak-banyaknya dengan trial & error.

Di sini tampak adanya bahaya pembentukan fakultas dan/atau jurusan desain yang tidak diimbangi dengan pemikiran konseptual dan sumber daya yang matang.  Desain menjadi identik dengan menggambar, misalnya.  Atau lebih parah, jurusan yang mudah, visual saja tanpa hitung-hitungan.

Prof. Josef menceritakan perjalanan beliau di ranah akademis.  Sebagai akademisi, kita juga harus cermat melihat kesempatan dan peluang sekitar, dan apa yang bisa kita lakukan atau manfaatkan secara mutual, untuk membangun wacana, sekaligus memberi penghargaan bagi kita sendiri.

Misalnya, ada mata pelajaran yang harus diberikan tapi tidak ada yang memberikan, dan tidak diberikan di sekolah-sekolah.  Saya perjuangkan mata kuliah itu.  Di ITS, akhirnya berhasil,  waktu itu saya mengajurkan “Teori Arsitektur” untuk diajarkan.  Siapa yang ngajar?  Ya yang mengusulkan [yang melaksanakan], sing petok lak sing ngendhog?  Memang arah saya ke sana.  Nah waktu itu, sistemnya kan seluruh PTS ada di bawah kendali PTN.  Teror pun saya langsungkan ke Pimpinan Jurusan.  Semua PTS harus ada Teori Arsitektur.  Ujian Negara harus ada.  Ada 7 PTS di Jawa Timur saat itu, kelilinglah saya. Dari situ pula lah kemudian saya kemudian membangun wacana dan cara berpikir.

Selain itu, Prof. Josef juga mencari “ceperan tambahan” halal lainnya yang juga membantu pembentukan wacana itu sendiri.  Setiap dua minggu beliau selalu menurunkan tulisan ke koran.

Pada intinya saya bersikap bahwa saya ingin menunjukkan bahwa gaji pegawai negeri tidak membuat pegawai negeri dan keluarganya mati, bisa hidup, bisa bertahan hidup.  Sikap diri itu yang sangat menentukan.  Personal branding itu juga saya bangun dari tulisan-tulisan saya di koran.  Saya usahakan konsistensi, tiap dua minggu sekali, saya harus menurunkan tulisan di koran.  Perlahan-lahan pun mulai muncul permintaan untuk menjadi pembicara, undangan-undangan, dan lain-lain.

 Anas Hidayat yang mempunyai latar belakang arsitektur, juga mengatakan bahwa beliau sendiri lebih nyaman dalam ranah penulisan dan kajian arsitektur.  Beliau melihat kurangnya perhatian terhadap pengembangan wacana dan dokumentasi arsitektur di Surabaya.

Prof. Josef juga berkata, jangan kecil hati mendengar status penulis, yang mungkin kerap dipersepsikan sebagai tidak menghasilkan.  Ada banyak hal-hal kecil di sekitar kita, peluang-peluang, yang kalau bisa kita olah, sebenarnya bisa menghasilkan, bermanfaat, baik untuk diri sendiri, maupun sekitar kita.

Media di Surabaya

Pembangunan wacana lokal melalui media massa, sayangnya dinilai kurang diwadahi.  Informasi-informasi acara maupun karya desain masih jarang termuat di media.  Bisa dimengerti, media utama pun bersaing ketat mengikuti perkembangan dan kecepatan jaman, dan mereka akan menampilkan berita-berita yang menurut mereka memiliki nilai jual.  Tampaknya, acara maupun karya-karya ini masih belum dinilai layak ataupun menarik untuk ditampilkan oleh media lokal.  Urai Prof. Josef:

Koran lokal itu, kalau saya harus jujur ngomong, koran Suroboyo itu levelnya pembaca SMP.  Kamu lihat Jawa Pos itu, dalam DETEKSInya itu isinya SMA saja.  Ya, Jawa Pos itu levelnya SMA.  Sementara Kompas, yang levelnya sarjana, lihat saja.  Kompas Jawa Timur sudah tutup.

 Kita ada JTV, yang dibanggakan sebagai punya Suroboyo, tapi levelnya ya itu, becakan.  Kita nonton JTV bukan untuk cari informasi, tapi untuk ketawanya.  Isinya banyol-banyolan tok.

Majalah?  Hayo, JoyoboyoPanjebar Semangat?

Media Koran, nggak.  Majalah, nggak.  Televisi, nggakOpo maneh?  Radio?  Suara Surabaya sebenarnya cukup bagus, tapi saya lihat 90% isinya laporan perjalanan tok.

Komunitas Anda jujur tidak punya wahana, wadah, untuk menyampaikan ide-ide dan informasi kepada masyarakat.

Sebagai contoh, di Jakarta, berita kegiatan-kegiatan di Japan Foundation, Salihara, Goethe, bisa ditemukan di Kompas, TEMPO, Jakarta Post, Jakarta Globe, bahkan majalah Femina.  Dengan kurangnya kualitas media yang mapan di Surabaya saat ini, apakah tidak ada sarana untuk mengayomi, mewadahi pemikiran-pemikiran desain di Surabaya?  Bagaimana kita dapat memunculkan informasi-informasi Surabaya yang tidak tertampung?  Dan dari segi apa kita menggunakan media-media kota lain sebagai pembanding (benchmark)?  Berikut adalah beberapa ide yang terlontar.

Pertama, kita bisa dengan memanfaatkan sarana dari kota lain.  Anas Hidayat bercerita bagaimana ketika mereka menerbitkan buku mengenai arsitektur kontemporer Surabaya, mereka juga sangat kesulitan mencari penerbit di Surabaya.  Mereka akhirnya menerbitkan melalui penerbitan Jakarta yang memiliki jauh lebih banyak penerbit.  Jadi, mungkin ini adalah salah satu taktik paling mudah yang bisa kita gunakan untuk menampilkan informasi mengenai Surabaya.  Tampilkan, atau dapatkan pengakuan dulu di kota lain, bahkan negeri lain.

Kedua, sebenarnya bisa dengan menggunakan internet.  Prof. Josef sangat mendorong kita untuk memanfaatkan media yang relatif murah dengan jangkauan yang sangat luas (global) ini.  Pembuatan media yang mewadahi desain di Surabaya melalui internet bisa menjadi media Surabaya untuk mendunia.  Bisa dilakukan dengan cukup murah, dan penikmatnya tidak terbatas.

Dokumentasi dan Wadah Desain di Surabaya

[nggallery id=9]

Dari diskusi di atas, tampak menonjol beberapa permasalahan desain di Surabaya.  Pertama, institusi pendidikan yang relatif muda, dan tertatih-tatih dalam merespon perkembangan zaman, selain juga terbelenggu dalam sistem birokrasi yang sudah ada.

Kedua, media massa seperti koran, TV, majalah yang kurang memberi ruang pada komunitas dan desain untuk menampilkan ide dan berdialog.  Begitu pula penerbitan publikasi lainnya seperti buku, jarang terlayani di Surabaya karena minimnya penerbit di Surabaya.

Ketiga, lemahnya dokumentasi dan referensi acara dan karya (desain), terutama yang berkaitan dengan lokal, sehingga kita jauh lebih familiar dan mudah mengakses informasi  desain dari luar daripada dari sekitar kita.

Semuanya ini, ditambahi dengan minimnya tempat atau ruang di Surabaya yang dapat menjadi tempat pertemuan untuk berdialog, berjejaring, berkolaborasi.  Tapi di sisi lain, ada banyak celah-celah dan peluang yang belum terlalu dimanfaatkan.

Salah satunya adalah internet.  Apalagi dengan munculnya berbagai gadget yang memudahkan kita untuk mengakses internet, sebenarnya sudah tidak ada lagi alasan bagi kita untuk tidak memanfaatkan media ini.  Teknologinya sudah ada, dan kita dapat dengan mudah mempublikasikan tulisan, foto, video dan media-media lainnya melalui internet.

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang mempunyai antusiasme yang tinggi dalam mengkonsumsi media-media elektronik.  Kita menempati peringkat kedua (setelah Amerika) penggunaan jejaring sosial Facebook.  Orang-orang sibuk dengan gadgetnya sudah menjadi hal umum.  Di sisi lain, kita juga perlu bersikap reflektif dan kritis terhadap kecenderungan di atas.  Sudah sering kita mendengar, apakah kita menggunakan teknologi secara aktif, atau pasif?

Selain teknologi dan media, kita perlu mengkritisi kemampuan dan sumber daya kita dalam menggunakan teknologi tersebut untuk menyimpan, mengolah, menyebar, dan menukar informasi.  Teknologi perlu diimbangi dengan kemampuan pengolahan yang memadai, selain juga konsistensi perawatan dan perkembangan teknologi tersebut.  Sistem yang kompleks dibentuk oleh semua orang yang menggunakannya, terutama di jaman sekarang yang makin berjejaring dan kolaboratif.  Di sini ada baiknya sebelum kita merancang sesuatu, kita meningkatkan kepekaan dan pengetahuan kita mengenai situasi kondisi sekitar (Surabaya).

Mungkin kita perlu menjalin hubungan-hubungan di luar komunitas kita sendiri.  Atau mempelajari cara-cara baru untuk berkolaborasi dan melakukan berbagai projek.  Meningkatkan kemampuan kita berdialog dan berkomunikasi mengenai lingkungan dan konteks kita, dan melibatkan teman-teman kita untuk turut aktif berpartisipasi.  Membina hubungan-hubungan baru antara pembuat dan pengguna yang batas-batasnya pun semakin kabur.  Hal-hal ini sulit dilakukan jika kita tidak mengenal situasi sekitar dan berdialog satu sama lain.  Dokumentasi dan referensi mengenai situasi kondisi Surabaya ini lah yang kita akui kita sangat lemah, dan kita harapkan dapat perlahan-lahan kita bangun bersama melalui acara ini.

Referensi

Faruk.  Sastra dalam Masyarakat Indonesia (Ter-)Multimedia(-kan): Implikasi Teoretik, Metodologis, dan Edukasionalnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Hoogervorst, Tom Gunnar.  “Urban Dynamics: An Impression of Surabaya’s Sociolinguistics Setting.Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 11 No. 1 (April 2009): 39-56.  Jakarta: Universitas Indonesia.

Thackara, John. In the Bubble: Designing in a Complex World. Cambridge: MIT Press, 2005.

Rekaman diskusi: http://www.archive.org/download/DesignItYourself2011-DiyTalk1IntroductionToDesign/DiyTalkDay1_IntroductionToDesign.mp3


C2O dan seluruh kru Design It Yourself mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada moderator kami, Pak Ramok Lakoro, dan para pembicara: Prof. Josef Prijotomo, Anas Hidayat, dan Bing Fei. Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membagi ilmunya. Juga kepada semua teman-teman yang telah mendukung acara ini. Masih banyak acara DIY lainnya, jadualnya bisa dilihat di: http://c2o-library.net/2011/10/design-it-yourself-2011/
Foto oleh Chimp Chomp. 

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

2 Replies to “Reportase: DIY #1 Introduction to Design

  1. Halaman ini ndhak ada tombol ‘like’-nya seperti di Facebook yah? Soalnya mau saya ‘like’ nih. :P

    Salut buat inisiatif kawan-kawan C2O mengadakan acara dijzen-dijzen ini, juga effort mbak Kathleen menulis reportase yang mendetail selain dokumentasi mbak Erlin.

    Sementara saya izin mengunduh podcast-nya dulu saja, buat disetel di kantor pas lagi stress (biar tambah stress?). Cheers!

Leave a Reply