Reportase: DIY #4 Comics

DIY Talk #4: Comics, 15 Oktober 2011, dibuka pk. 17.00 dengan pemutaran film dokumenter “Beautiful Losers” mengenai sekelompok seniman pop, dilanjutkan dengan DIY Talks, di mana para komikus menceritakan konsep mereka mengenai komik, serta proses produksi dan distribusi karya masing-masing. DIY Talk hari ini diisi oleh trio hantu Nusantara (Yudis, Broky, Pak Waw), X-Go dan Kat, dimoderatori oleh Ari Kurniawan dan Andriew Budiman dari Butawarna.

“Banyak dari para desainer sebenarnya sampai sekarang juga adalah penggemar komik.  Dari yang hadir di sini, banyak yang memasuki desain juga karena berpikir, mana nih jurusan yang kira-kira bakal bisa banyak menggambarnya,” tutur Andriew membuka diskusi.  Para pembicara kemudian diajak untuk memperkenalkan diri masing-masing, kemudian sharing pengalaman, sambatan dan tantangan masing-masing di dunia perkomikan yang sangat beragam.

Yudis, yang bekerja sebagai ilustrator dan storyboard artist di SAM Design, adalah alumnus Unesa angkatan 2003.  Wiryadi Dharmawan, yang akrab dipanggil Pak Waw (dari Wawan), mengaku terjerumus dalam komik karena awalnya berlatar belakang animasi, dan kemudian diajak oleh Yudis dan Broky untuk bekerja sama, apalagi karena memang pada dasarnya cinta menggambar.  Sementara Broky, yang bernama asli Misbachul Bachtiar, komikus yang mencintai komik.

X-Go berasal dari Bunuh Diri Studio, mengaku sebenarnya dia adalah komikus “gadungan”, yang kurang tertarik membuat komik realis*, dan dia lebih menyukai komik-komik di luar arus utama.  Studionya, Bunuh Diri, pun dia sebut sebagai studio gadungan, karena studionya adalah rumahnya sendiri.  Kat, mengaku sudah jarang membuat komik, tapi ingin membahas perkembangan komik sehubungan dengan Cergamboree, festival komik Indonesia-Prancis yang tahun depan akan memasuki tahun keempatnya diselenggarakan di Surabaya.

Latar belakang ketertarikan pada komik

X-Go mengaku pertama kali mengenal komik melalui Dragon Ball, dan membuat komik dengan model-model gambar Saint Saiya.  Keduanya adalah komik dan animasi yang populer di masa remajanya di tahun 90an.  Di tahun 1999, ada ajakan pameran komik dari studio Oret, dan X-Go tertarik mengikutinya.  Di hari pembukaannya, dia cukup kaget melihat komik-komik yang dipamerkan ternyata tidak seperti komik konvensional yang selama ini dia kenal.  X-Go mengklaim diri bukan komikus, karena dia lebih menyukai membuat komik yang melewati batas komik-komik pada umumnya, yang tidak dijual di toko-toko buku besar, yang mediumnya bisa berpindah-pindah.  Dia hanya mengadaptasi art komik itu sendiri pada media lainnya.

Broky pertama kali ngomik sewaktu SMP juga, dengan membaca Kungfu Boy dan lain-lainnya.  Menurutnya, meskipun mediumnya apa saja, tapi pada akhirnya komik itu sekuensial, berurutan, terjuktaposisi.  Dia mengaku “terjebak” dalam bidang komik karena kuliah di desain grafis di Unesa, dan mulai mengenal komik waktu Pekan Komik Indonesia di Malang tahun 2005.  Dia merasa asyik dan sangat menikmatinya, bisa ngomik bareng dan menggambar bareng, bertemu dengan komikus-komikus dari kota lain, dan memang benar, komik tidak terbatas pada medium kertas.

Pak Waw mengaku selalu suka komik, apa saja tipenya.  Dia awalnya juga menyukai komik superhero karena komik itu memiliki warna-warna yang mencolok, padahal TV pada zaman kecilnya, masih hitam putih.  Apalagi, sosok-sosok dalam komik itu heroik.  Selain itu, dia sempat mewarisi komik dari kakeknya.  Sayangnya, ibunya tidak menyukai hobinya itu.  Pak Waw sempat membeli komik-komik Marvel seharga Rp.500an.  Koleksinya itu sayangnya diketemukan ibunya, dan dibakar di depan matanya, karena ibunya berpikir kesenangannya itu merusak pikirannya, “nggarai koen goblok (membuat kamu goblok).”

Kemudian Pak Waw bertemu dengan Yudis dan Broky.  Karena sebelumnya juga sudah pernah berkarya dalam berbagai kompilasi, Pak Waw, Yudis dan Broky kemudian ditawari oleh Beng Rahadian, editor penerbit Cendana, untuk membuat komik 101 Hantu Nusantara.  Tidak disangka-sangka, komik itu cukup berhasil, Pak Waw diakui sebagai komikus Indonesia, dan dia merasa, komik itu memiliki daya tarik yang berbeda dengan animasi.  Latar belakang animasinya juga memberinya fondasi tersendiri dalam berkomik, dan dia merasa komik memberi keasyikan sendiri yang berbeda dari animasi.  “Mungkin juga ada dendam pribadi pada ibu saya,” candanya, “Komik saya dulu dibakar, sekarang anaknya jadi komikus, hehehe…”

Yudis bercerita bagaimana di kampus Unesa dulu, dia dan Broky membuat komunitas komik Outline Studio.  Perkenalan yang lebih dalam mengenai komik didapatinya ketika kuliah, saat membaca berbagai buku mengenai komik di kampus.  Menurutnya, dari komik, ada banyak sekali hal yang bisa kita dapat, dan dari komik juga, kita belajar untuk lebih peka.  Dari komik, kita bisa belajar arsitektur, bisa mengenal watak dan sifat orang.  Setelah ikut komunitas, ada pertanyaan, setelah itu, apa?  Saat itu, profesi komik masih belum dipandang “seseksi” sekarang, dan belum bisa menghidupi.  Tapi dari komunitas ini, Yudis merasa bisa mengenal berbagai komikus, bertukar pandang, dan membentuk jaringan—jaringan informasi, jaringan kerja, dll.

Senada dengan teman-teman, dan merujuk pada Scott McCloud, Kat juga memaparkan bahwa komik adalah gambar-gambar berurutan yang bercerita.  Sementara kartun, meskipun mengadaptasi banyak bahasa komik, tidak bersifat sekuensial.  Dalam sejarahnya, ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk merujuk pada komik, seperti seni sekuensial, novel grafis (biarpun tidak selalu novel dalam artian fiksi), cergam (cerita bergambar), illustories, picture novella, bandee dessinee, dan manga.  Istilah-istilah ini muncul juga karena berbagai alasan, antara lain alasan geografi politis untuk identifikasi komik sebagai salah satu bentuk produk kebudayaan yang bisa dibanggakan.  Kat sendiri menyukai komik karena dari kecil memang suka membuat cerita dalam dunia sendiri, dan komik memungkinkannya untuk membuat cerita dan dunia sendiri.

Komik meningkatkan literasi

Ada banyak klise-klise buruk dalam perkomikan, seperti misalnya, kecenderungan memandang komik sebagai tidak mendidik, membodohkan dan tidak mumpuni sebagai mata pencaharian.  Di Indonesia, kebanyakan profesi komik masih belum bisa dianggap sebagai industri, lebih sebagai pekerjaan sampingan atau minat.  Dulu komik memang pernah jaya di tahun 50-60an, di mana komik bisa menjadi mata pencaharian, tapi kemudian mengalami penurunan karena menghadapi persaingan dengan media lainnya.

Padahal sebenarnya, melihat kondisi minat baca di Indonesia, komik bisa menjadi salah satu bahan bacaan yang paling disukai.  Lagipula, jika kita lihat, banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan, biografi dll. yang diterjemahkan dari bahasa asing dengan menggunakan format komik.  Koran-koran melaporkan kegunaan komik sebagai panduan siaga bencana.  Dengan menampilkan bahasa visual dan teks, komik bisa membantu pemahaman pembaca, sekaligus juga menantang komikusnya untuk menginterpretasikan bahan untuk komiknya tersebut.

Lintas Genre & Media

X-Go bercerita bahwa dia malah memandang komik sebagai bagian dari seni urban, dan dia juga tak jarang menorehkan komik di tembok-tembok kota.  Komik Indonesia juga tidak lagi terbatas pada komik fiksi, tapi juga ada banyak peluang lainnya seperti komik untuk buku panduan, komik sejarah, komik siaga bencana, dan sebagainya.

Di sini dibahas bagaimana komik, yang diartikan sebagai gambar-gambar serta lambang-lambang lain yang bersandingan dalam turutan tertentu, tidak lagi terbatas pada kertas/buku, tapi sudah menjadi lintas media.  Tidak ada batasan mengenai teks, gaya gambar, maupun jenis isi.  Kini mulai bermunculan pula berbagai majalah komik online seperti rautan.com, makko.co.  Ada adaptasi komik menjadi/dari animasi, novel, toys, aksesoris, patung, kain, bahkan batik.

Perlunya komunitas untuk sosialisasi dan edukasi

Tidak berbeda dengan pegiat kreatif lainnya di Surabaya, seperti yang telah dibahas di DIY Talks sebelum-sebelumnya, komikus-komikus pun mengeluhkan minimnya media dan ruang di Surabaya yang mengakomodasi komunitas, dialog dan kolaborasi. Mentok-mentok paling Balai Pemuda (yang baru saja terbakar) atau CCCL (yang tahun depan akan pindah ke tempat lain).  Padahal, keberadaan komunitas dan infrastruktur lainnya yang mewadahi, mendokumentasikan, dan mensosialisasikan kegiatan-kegiatan ini dinilai sangat penting dalam perkembangan komik itu sendiri.

Para peserta menceritakan dengan sedikit nostalgis kenangan-kenangan lama mereka ikut serta dalam pekan komik di Malang, pekan komik nasional, dan berbagai cerita-cerita lain di mana mereka pertama kali bertemu.  Mereka bercerita juga bagaimana pada awalnya mereka membuat komik dengan fotokopi.  X-Go masih menyukai sistem fotokopi ini, sementara Yudis, Broky dan Pak Waw, meskipun sudah menerbitkan pada jalur penerbit, mengaku juga masih tetap menyukai etos komik komik indie yang memproduksi dan mendistribusikan sendiri.

Selain itu, tampak minimnya perhatian pada dokumentasi dan sejarah, serta pegiat-pegiat yang kurang memperhatikan aspek lain di luar proses produksi.  Di sini dibahas juga fungsi dan misi Cergamboree, festival komik tahunan di Surabaya, yang pertama kali diadakan tahun 2008.  Memasuki tahun keempatnya tahun depan, ada kemungkinan akan bergeser tanggal karena perubahan agenda dan tempat CCCL.

Acara-acara seperti pameran, menggambar bersama, workshop dan lain-lain memang sudah cukup marak dilakukan di Surabaya.  Tapi, jarang sekali pelaku-pelaku komunitas saling berkumpul untuk berdialog dan bertukar informasi, apalagi berkolaborasi.  Minimnya perhatian pada dokumentasi juga dinilai cukup akut—acara-acara sering digelar hanya untuk internal lingkaran sendiri, tanpa mempedulikan publikasi atau sosialisasi ke pihak-pihak luar, dalam bentuk blog post, misalnya.

Menurut Pak Waw, jika komik pernah mengalami masa jayanya, berarti komik semestinya bisa mengalami masa jayanya lagi.  Tapi kelemahan utama dalam industri komik memang adalah pada manajemennya.  Mau tak mau harus diakui, mindset komikus kebanyakan masih “mood-mood-an” dan belum mampu berdisiplin.  Jadi kelakuan dan mitos “seniman” ini yang perlu dibenahi.  Diperlukan adanya pembagian tugas dan kerjasama yang dibangun melalui pembentukan jaringan.

Terima kasih kepada seluruh peserta dan pengunjung diskusi: Yudis, Broky, Pak Waw, dan X-Go.  Semoga diskusi kecil bisa sedikit memperkaya perkembangan kerjasama komik di Surabaya.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply