Reportase: DIY #5 Urban Art

Minggu, 16 Oktober 2011. DIY #5 kali ini dimoderatori oleh Obed Bima Wicandra, seorang dosen DKV dari UK Petra, yang telah lama menaruh perhatian terhadap seni urban dan di tahun 2005 bersama kawannya mendirikan Komunitas Tiada Ruang.  Bersama Obed, hadir sebagai pembicara kali ini adalah Ryan Rizky sebagai perwakilan Street Art Surabaya; Dinar dan Lury Coco sebagai perwakilan BRAngerous, komunitas seniman perempuan kontemporer Surabaya; X-Go Warhol, dan Redi Murti.

Membuka sesi perkenalan, Ryan Rizky menjelaskan bahwa Street Art Surabaya (SAS) didirikan 10 Januari 2005.  Hingga sekarang, ada kurang lebih 8 orang yang aktif berkarya. SAS lebih fokus pada graffiti mural, stensil, yang berbau street art.  Menurut Ryan, yang sering dikaryakan adalah “karya yang penuh kasih” dalam artian, difokuskan untuk Tuhan, sesama, dan diri sendiri.  Ketika mereka berkarya, mereka tidak sekedar berkarya, tapi ingin bisa berdampak pada orang yang berada di sekitar karya tersebut.  Jadi, sebelum berkarya, mereka melakukan penelitian kecil-kecilan mengenai populasi di sekitar daerah yang mereka tuju.  Misalnya, omzet pendapatan dan pola hidup PKL yang ada di sekitar daerah tersebut.  Jadi, karyanya nanti, bisa merespon kebutuhan mereka.

Sementara BRAngerous, adalah komunitas yang memfasilitasi seniman urban perempuan, dengan berbagai macam latar belakang.  “Tidak hanya desain grafis, tapi ada juga ekonomi, psikologi, bahkan masih SMA,” tutur Dinar.  Yang mereka lakukan selama ini adalah melakukan pameran.  Biasanya, pameran ini mengikuti acara lainnya, baru sekali saja mereka solo exhibition di CCCL.

Lury menguraikan lebih lanjut, bahwa tidak bisa disangkal perempuan sering kali dipandang sebelah mata dalam seni, apalagi dalam street atau urban art.  Sebagai perempuan, memang lebih susah bagi mereka untuk berkarya di jalanan atau melakukan bombing. Jadi memang mereka masih terbatas pada media konvensional karena masih susah bagi perempuan untuk berekspresi di ruang publik.  Tapi bagaimanapun, mereka juga merespon dan menuangkan ekspresi mereka sebagai perempuan yang tinggal di kota, dan karenanya, perempuan pun tidak bisa dilupakan dalam urban art.

X-Go, menganggap mural sebagai penyampaian pesan.  Temanya bisa bermacam-macam—bisa politik, lingkungan, tokoh yang dikagumi, maupun pertemanan.  Agar kesannya tidak terlalu berat atau “menyeramkan”, X-Go mengakalinya dengan warna-warna cerah.

Redi Murti, saat ini masih melangsungkan tahun terakhir kuliahnya di DKV UK Petra, dan dalam karya-karyanya biasanya selalu menampilkan satu karakter unik ciptaannya, yang dia namai nudeface. Karya-karya seniman muda berbakat ini juga bisa dilihat dalam rangkaian acara Biennale Jawa Timur.

Beberapa dari mereka, sudah mengkategorisasikan dirinya sebagai termasuk dalam wilayah street art, tapi ada juga yang masuk ke fashion atau designUrban art adalah seni yang berhubngan dengan budaya dan kehidupan kota.  Tapi bagaimana berdasarkan pengalaman teman-teman sendiri?  Apa yang membedakan urban art dari street art, design atau fashion?

Rizky mengaku tidak mendalami urban art secara spesifik, tapi memang SAS berkarya dalam lingkup kota, di mana banyak sistem-sistem yang bisa di-“koreksi” oleh anak-anak muda, tapi mereka melakukannya melalui visual, warna tulisan dan sebagainya, dalam bentuk mural dan graffiti di tembok.  Menarik juga untuk dicatat bahwa Rizky sebenarnya juga pernah menjadi Cak Surabaya, yang biasanya dikenal membawa misi-misi pemerintah, salah satunya, menjaga “keindahan kota”.  Sesuatu yang cukup unik mengingat street art seringkali diidentikkan dengan kegiatan yang “mengotori kota.”

Rizky mengatakan, bahwa ini kembali lagi ke misi karyanya yang “penuh kasih”.  Setiap kali kita menciptakan karya, sebenarnya kita juga “menyampah”, tapi menurutnya, sampah itu bisa negatif tapi juga positif.  Dia melakukannya untuk tujuan positif, dan otomatis, pemerintah juga mau menerimanya.

Sementara Dinar dari BRAngerous mengatakan, bahwa memang selama ini wacana urban art cenderung didominasi oleh street art, mural dan graffiti.  Tapi mereka memandang urban art sebagai seni yang muncul di kota, yang dilakukan oleh orang-orang kota, untuk mengekspresikan berbagai hal.  Jadi, tambah Lury, maknanya bisa lebih luas.  Kita sebaiknya tidak hanya melihat urban art sebagai terbatas pada mural dan graffiti, tapi bisa merespon berbagai ruang publik. Misalnya, telpon umum, bisa kita respon, kita hias.  Tapi memang, ada orang yang akan melihat aktivitas itu sebagai vandalisme, sesuatu yang negatif, meskipun senimannya melihatnya sebagai suatu respon positif, yang mungkin sedikit “memberontak” dari pakemnya.

Urban art memang kerap kali diidentikkan dengan ruang publik, tapi BRAngerous sendiri melihatnya bahwa kita ini orang-orang kota, kita tinggal di kota, otomatis kita mengalami permasalahan-permasalahan yang dihadapi orang-orang kota pada umumnya juga.  Permasalahan kota itu kita campurkan, kita ekspresikan dengan idealisme  kita. Kita punya pemikiran apa terhadap suatu permasalahan, kita ungkapkan dalam bentuk karya, meskipun sejauh ini masih menggunakan media “konvensional” seperti kanvas, print digital, video, belum sampai ke tahap ruang publik seperti tembok dan lain-lain.  Namun, mereka pernah juga membuat karya dengan menggunakan bra, yang sempat menimbulkan sedikit kontroversi.  Jadi, media BRAngerous pun bisa bermacam-macam.

Menurut X-Go street art sebenarnya merupakan bagian dari urban art, yaitu bentuk seni yang mengacu ke kebudayaan perkotaan, dan berkaitan pula dengan era sekarang dan kemunculan-kemunculan teknologi yang semakin maju.  “Intinya, kita memandang kemajuan kota sebagai kegelisahan kita.”  Jadi, urban art tidak harus dilangsungkan di ruang publik.  Contoh saja, custom shoes, tote bag, lomografi, stiker dan lain-lain, dan bisa juga video art, yang muncul karena teknologi modern.

Sementara street art, sebagai bagian dari urban art, hadir dalam wilayah dan bidangnya sendiri, yaitu terutama jalanan, dan karena itu identik dengan kaum muda dan gerakan pemberontakannya, serta hadir dengan keliaran-keliaran khas jalanannya.  X-Go membagi street art menjadi dua wilayah, satu yang memang terjadi di jalanan—lukisan-lukisan di dinding, stiker, mural, dll.. Tapi ada juga street art di kalangan “seni rupa” di mana dulu street art dipandang sebagai seni rendah, tapi sekarang mulai memasuki ranah-ranah galeri.

Redi mengatakan, bahwa ini adalah respon kreatif seniman terhadap permasalahan-permasalahan kota.  Jadi kalau kita perhatikan, karakter-karakter seperti nudeface, dan karakter-karakter yang muncul di tembok atau bahkan di kaos-kaos anak muda sekarang, yang bersifat agak “absurd” mungkin, regresif.  Sebagaimana tadi yang disebutkan oleh X-Go, ada semacam pemberontakan terhadap apa yang disebut “karya mapan” atau kemapanan.

BRAngerous mengatakan bahwa mereka cenderung tidak terlalu mempermasalahkan kemapanan atau seni mapan itu sendiri, tapi lebih ke permasalahan gender, yakni, status dominan laki-laki di kalangan seni. Dinar mengatakan, tidak usah antara cewek versus cowok, dia sering mengamati antara cowok pun sering ada semacam pergunjingan di belakang karya seni, seperti ucapan, “Iki opo to, ga masuk!”  Jadi BRAngerous dibangun dengan tujuan bisa memberi wadah ekspresi-ekspresi dan ide-ide, terutama yang berhubungan dengan isu-isu perempuan.  Mereka juga konsisten untuk membuat pameran online setiap bulan.

Rizky sendiri berpendapat bahwa street art sebagai suatu gerakan anti-kemapanan lebih berlaku di luar, sementar dalam Street Art Surabaya, mereka lebih menerapkan cara kerja yang berkompromi dan menyesuaikan dengan lingkungannya.  Ketika akan menggarap tembok, mereka mendiskusikannya dengan penduduk sekeliling ruang publik tersebut.

X-Go, memandang street art dan urban art sebagai wahana untuk propaganda yang ingin disampaikan.  Sementara Redi, melalui nudeface, mencoba untuk memanifestasikan dirinya.

Popo, dari Respecta Street Art Gallery Jakarta, mengatakan bahwa berdasarkan pengamatannya di berbagai kota, di Surabaya para street artistsnya lebih mendobrak, karena mereka membuat sendiri sistem meskipun fasilitas tidak disediakan.  Kata Popo, teman-teman di Surabaya lebih “bandel”, lebih tergerak untuk membuat sistem sendiri.

Tentu saja, gesekan-gesekan pastinya tidak terhindarkan.  Rizky dan X-Go mengaku bahwa mereka juga sempat bergesekan—“senggol-senggolan”—di sini.  Ada miskomunikasi.  Sementara dari BRAngerous, mereka menceritakan bahwa konsepnya mereka adalah fun, leisure time, dan tidak bersifat mengikat.  Mungkin ke depannya bisa seperti itu, tapi saat ini konsepnya adalah memanfaatkan waktu luang mereka untuk berkarya, dan tidak ada konsep kompetitif.

Ayos Purwoaji kemudian membawa ide mengenai seni urban dengan kata kunci “respon”.  Dulu, menurut Marshall McLuhan, “the medium is the message”, tapi sekarang, di mana kita semua benar-benar kebanjiran, apapun bisa menjadi media—tembok, kaos, bahkan bra.  Permasalahan kota terus bergerak, hal-hal yang baru terus menerus muncul.  Yang penting di sini sebenarnya adalah respon itu sendiri, yang akhirnya juga nanti akan berdampak pada bagaimana karya itu dikemas.  Misalnya, ketika orang-orang berfoto-foto narsis di depan mural, itu pun sebenarnya merupakan respon mereka.

Itu yang terasa kurang di Surabaya ini, menurut Ayos, di mana komunitas-komunitasnya lebih suka berjalan sendiri-sendiri.  Di Yogyakarta, suatu buku (di sini dia menyebutkan buku Marco Kusumawijaya), bisa direspon menjadi lagu, jadi mural, dan seterusnya.

Kemudian, Ayos juga mengangkat isu mengenai lemahnya perhatian terhadap pendokumentasian dan pengarsipan.  Bagaimana kalau setidaknya, tiap komunitas atau individu, mendepositokan arsip karyanya di C2O, mengingat tempat ini sudah menjadi rujukan tempat baik dalam kota maupun luar kota?

Menanggapi ide Ayos, Lury dan Dinar mengatakan, bahwa BRAngerous juga memang dibuat dengan maksud mewadahi respon-respon tersebut.  Bagaimanapun, menurutnya, perempuan memang pada umumnya menyukai publikasi.  Lury bercerita bagaimana partisipasinya di BRAngerous juga dimulai dari pengunggahan karya-karyanya di Facebook, yang kemudian direspon oleh Dinar dengan ajakan untuk bergabung dalam BRAngerous.

X-Go menanggapi bahwa di wilayah jalanan, dalam merespon juga perlu ada respek.  Proses penindihan juga umum terjadi dalam street art.  Acara-acara kolaborasi juga sudah sering diadakan.  Permasalahannya, menurut X-Go, justru lebih ke kurangnya perhatian pada acara-acara dialog seperti DIY ini.  Sebagai contoh, dia menceritakan ketika dia mengabari teman-temannya melalui SMS mengenai acara ini, responnya selalu, “Mas, gak ana nggambar barenge?” Ini yang sering terjadi di komunitas street art, menurut X-Go, hanya memperhatikan masalah teknis dan produksi saja. Tidak masalah memang, menggambar bersama, tapi perlu ada waktu yang disisihkan untuk membahas pengemasan dan peningkatan kualitas secara bersama—mau dibawa ke mana street art Surabaya itu.  Kalau mau dikemas, mengemas itu perlu lintas komunitas.  Bukan hanya pelakunya saja, tapi juga penulis, fotografer, kurator, yang bisa membantu pendokumentasian dan peningkatan wacana. Street art apalagi, bukanlah karya yang abadi, tapi karya yang datang dan pergi.  Karena itu, pendokumentasian itu sangatlah penting.  Masih belum ada web khusus yang mendokumentasikan street art tersebut.

Selain itu, kelemahan dalam pengembangan yang lintas disiplin ini, menurut X-Go adalah pada level komunitas street art sendiri, masih banyak gontok-gontokan, jadi memang sedikit sulit untuk mengembangkan lintas disiplin, mengingat sendirinya pun masih belum akur.  Masing-masing komunitas perlu berbenah dulu, menurut X-Go. “Tapi malah mungkin supaya tidak banyak gontok-gontokan antar komunitas,” tawar Ayos, “harus dibuat lebih banyak kolaborasi, jadi ngga sempet mikir gontok-gontokan.”  Menanggapi perubahan dari respek ke respon itu, menurut Dinar, respon (yang baik) itu juga muncul dari respek.  Gontok-gontokan pasti akan selalu ada, tapi harus selalu ada kompromi juga, agar pembuatan karya terus berjalan.

Obed kemudian mengangkat bagaimana Redi juga mengadaptasi novel Pramoedya Ananta Toer menjadi novel grafis.  “Respon” juga kini dilakukan melalui pelaku distro, seperti Doddy, yang menyediakan ruang dan waktu distronya untuk memfasilitasi kolaborasi antara anak-anak muda.  Sebenarnya, ada banyak gerakan-gerakan seperti ini dalam skala akar rumput (yang sangat akar rumput), sayangnya tidak terpetakan, saling tidak mengenal satu sama lain, sehingga banyak kesempatan yang hilang.

Pertanyaan terakhir dilontarkan oleh Andriew Budiman, sehubungan dengan kontribusi urban art kepada kota, dan kalau memang suatu platform dibutuhkan, platform seperti apa yang diperlukan? Ryan Rizky menanggapinya sebagai wahana untuk menjadi ikon kota Surabaya, duta kota, representasi Surabaya.  BRAngerous lebih ingin menginspirasi dan memfasilitasi anak-anak muda Surabaya, terutama perempuan, untuk berkarya.  X-Go mengharapakan kegiatan urban art ini dapat setidaknya memberi posisi Surabaya dalam peta kesenian Indonesia sebagai kota yang juga memiliki kesenian yang dinamis, tidak hanya berhubungan dengan industri, bonek atau dolly saja.  Ari Kurniawan mengingatkan bagaimana bulan lalu, ketika Indonesian Visual Art Archive meluncurkan buku katalog seni rupa mereka, Rupa Tubuh, hampir tidak ada disebutkan sama sekali kegiatan seni di Surabaya.  Harus kita akui, bahwa kita sangat minim dalam hal pendokumentasian dan publikasi karya.

Popo mengingatkan pentingnya pemetaan dan pendokumentasian itu, karena jika semua orang produksi, bagaimana generasi berikutnya, atau orang lain mengetahui keberadaan karya tersebut.  Obed menyimpulkan, bahwa pada akhirnya harus ada inisiatif untuk melakukan dokumentasi dan pengarsipan kegiatan kesenian lokal.  Obed melemparkan tugas pendataan ini ke C2O, suatu tugas yang semoga bisa kita follow-up secara bersama-sama.

Acara kemudian dilanjutkan ke pemutaran film Exit Through the Gift Shop. X-Go memberi pengantar spontan, bagaimana dokumenter ini bisa memberi kita banyak pelajaran yang bisa ditiru—bagaimana street art didokumentasikan dan pengetahuannya disebarluaskan melalui berbagai media dan tidak lagi tergantung pada street artnya itu sendiri.

Terima kasih kepada Obed Bima, Street Art Surabaya, BRAngerous, X-Go dan Redi Murti yang telah meluangkan waktu dan berbagi pengetahuannya.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply