Reportase: DIY #7 Digital Media Design

Ini adalah reportase DIY Talk 7: Digital Media Design, bagian dari Design It Yourself, rangkaian acara desain yang digelar di C2O selama bulan Oktober 2011, ditulis oleh moderator diskusi, Ayos Purwoaji dari hifatlobrain.net. Jadual lengkapnya, lihat: http://c2o-library.net/2011/10/design-it-yourself-2011/


Mendefinisikan desain di era digital seperti saat ini ternyata tidak begitu mudah, ada banyak persilangan dan koneksi yang terjadi antar disiplin sehingga memunculkan domain dan bentuk baru dalam berkesenian. Bentuk-bentuk desain konvensional dapat berubah sebagian atau malah menemukan evolusinya yang sama sekali baru.

Dalam diskusi saya memang tidak melontarkan pertanyaan klise “Apakah digital media menurut menambah daftar kebingungan dari setiap peserta diskusi yang hadir saat Anda?” karena saya yakin jawaban dari setiap panelis akan berbeda dan yang terjadi hanyalah itu. Maka saya mengarahkan diskusi tentang digital media ini pada isu kekinian yang masih bisa dielaborasi untuk menelurkan gagasan baru. Salah satunya adalah isu tentang posisi Surabaya dalam peta desain Nasional. Ghubi, pemilik Public Space, mengatakan bahwa dengan adanya perkembangan internet seharusnya desainer Surabaya mampu mengejar ketertinggalannya dengan desainer dari kota lain. “Sekarang source buat belajar sudah banyak, tidak seperti dahulu pada era akhir 90-an hingga awal decade 2000 dimana internet masih begitu jarang diakses orang.”

Benny Wicaksono, sebagai pemain lama dalam seni video art, juga mengamini pendapat Ghubi. “Sekarang setiap orang punya gadget, tinggal pemakaiannya aja yang harus diarahkan. Saat ini setiap orang bisa menciptakan medianya sendiri. Ini namanya desentralisasi seni, ini baru demokratis.” Beny juga mengungkapkan bahwa penggiat kesenian digital di Surabaya tidak kalah banyak dengan kota lainnya, hanya saja atmosfer berkeseniannya belum terbangun secara utuh.

[nggallery id=16]

Berkembangnya media saat ini juga disikapi menarik oleh Kinetik, sebuah komunitas pembuat video alternatif Surabaya. Aditya Adinegoro, yang akrab dipanggil Remi, salah satu pegiat Kinetik mengemukakan pandangan tentang isu-isu kecil yang seringkali luput dari perhatian media-media besar. “Kami hadir untuk mendokumentasikan hal remeh-temeh yang terjadi dalam keseharian kita, padahal seringkali yang dianggap tidak penting itu suatu saat akan menjadi sejarah juga,” kata Remi. Kinetik sendiri tidak bekerja sendiri, ia berjejaring dengan Forum Lenteng di Jakarta yang memiliki visi sama.

Hingga saat ini, Kinetik sudah banyak membuat kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat umum. Seperti pembuatan video tentang pertandingan tinju yang diadakan di sebuah rumah susun, karya video art tentang narasi kecil di Kampung Ampel, hingga pemutaran bioskop alternatif bagi warga kampung. “Intinya kita ingin memberi wacana tandingan dari media mainstream yang terasa seragam. Kami menggarap hal-hal kecil yang tidak disorot oleh korporasi media. Kami ini media yang tumbuh dan ada untuk masyarakat akar rumput (grassroot),” kata Remi.  Tulisan, foto-foto dan media jurnalisme warga (citizen journalism) yang mereka buat ini dimuat di akumassa.org

Sama seperti Kinetik, dari bawah pula Phleg meramu musiknya. Banyak orang mengenal Phleg dengan nama panggung Terbujurkaku, sebuah alter ego berwujud seorang musisi digital yang giat meramu suara-suara dari bawah tanah. Dalam lagu-lagu yang dihasilkannya, Terbujurkaku biasanya menggambil kompisisi yang paling dekat dengan masyarakat kebanyakan: dangdut koplo. “Orang sering merasa bahwa musik dangdut itu tidak berkelas, kampungan. Padahal di luar negeri justru dangdut diapresiasi. Dangdut adalah root kita, dari situ saya berkarya,” kata Phleg.

Secara filosofis juga Phleg mengatakan pandangannya tentang orisinalitas karya dari seorang seniman digital. “Dengan menggali nilai-nilai yang berasal dari akar budaya, maka karya kita akan terlihat berbeda di masa digital yang semakin seragam ini,” kata Phleg.

Diskusi menjadi semakin panas saat menyinggung budaya ‘copy-paste’ dan pembajakan karya kreatif yang marak terjadi. Salah satu peserta diskusi, Iman Kurniadi, seorang penikmat film dan pengelola akun twitter CinematicOrgasm mengatakan bahwa budaya meniru tidak bisa dihindari di era digital. “Sekarang yang paling penting adalah bagaimana Anda menjadi orisinal, apa artinya, bahwa apa yang Anda lakukan itu sulit ditiru,” kata Iman. Pendapat lain dikemukakan oleh Jerry Kusuma, seorang freelance designer, “Masalah meniru itu masalah nurani, sekarang semua kanal informasi terbuka, tingga penggunanya saja bagaimana memaknai ide,” kata Jeri.

Pinkan Victorien (Poystories), seorang visual jockey yang hadir sebagai panelis mengatakan bahwa mengambil sumber gambar dan video di internet seringkali dilakukannya. “Tapi saya mencoba mendefinisikan ulang materi tadi menjadi bentuk baru yang sama sekali berbeda,” kata Pinkan. Proses kanibalisme karya dan remix memang tidak bisa dihindari pada zaman internet.

Phleg menyarikan pandangannya dari film Rip: A Remix Manifesto yang dijadualkan untuk diputar malam itu, bahwa melakukan remix dan reka ulang dari bentuk sebuah karya bukanlah hal tabu. Justru dari karya-karya lama pada seniman digital ini bisa membuat karya baru yang lebih baik.

Tidak hanya interaksi antar karya yang ‘dijahit’ ke dalam bentuk baru, tapi juga interaksi antar desainer dirasa penting dalam mempengaruhi karya seorang seniman digital. “Komunitas itu penting buat sharing, juga membantu kita sebagai seorang pelaku seni untuk mendapatkan atmosfer yang mendukung,” kata Novie Elisa, seorang VJ yang sehari-hari bekerja sebagai script writer di sebuah biro desain ternama.

Komunitas seniman digital seperti WAFT menjadi penting mengingat minimnya komunitas berbasis digital yang ada di Surabaya. “WAFT tidak menjanjikan apapun selain pengalaman berkarya, tapi ini organisasi yang bebas, siapapun bebas masuk, mulai dari dokter hingga mahasiswa,” kata Benny.

Pentingnya komunitas juga disuarakan oleh Hendry Wahana dari Motion Anthem. “Saya selalu belajar dari seniman atau desainer lain dalam berkarya,” kata Hendry. Motion Anthem sendiri didirikan Hendry untuk menampung para seniman berbasis 3D namun dengan konsep yang lebih terbuka. “Ada juga anggota kami yang illustrator,” kata Hendry. Sebagai desainer freelance yang sering bekerja dengan korporasi besar, Hendry menekankan bahwa kualitas artistik dalam sebuah karya digital bukanlah hal utama. “Kita bisa saja bikin yang lebih bagus, tapi kalau klien tidak suka, apa boleh buat. Sepanjang pengalaman saya, klien dari korporat itu lebih suka video yang nendang di awalnya, jadi impresif bagi klien,” kata Hendry.


C2O dan seluruh kru Design It Yourself mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada moderator kami, Ayos Purwoaji, dan para pembicara: Beny Wicaksono (WAFT), Hendry Wahana (Motionanthem), Pinkan Victorien (VJ Poystories), Aditya Adinegoro & Eko Ende (Kinetik), Novi Elisa (VJ Subsidiary), Arghubi Rachmadia (Public Space), Phleg (Terbujurkaku). Terima kasih telah bersedia meluangkan waktu untuk membagi ilmunya, tak lupa Aldo Samola (Samola DJ Shop) atas iringan musiknya…  Juga kepada semua teman-teman yang telah mendukung acara ini. DIY tinggal 1 minggu lagi, jangan lewatkan agenda-agenda terakhir DIY untuk tahun ini. Jadualnya bisa dilihat di: http://c2o-library.net/2011/10/design-it-yourself-2011/ 

Email | Website | More by »

Inisiator Hifatlobrain Travel Institute, sebuah blog perjalanan yang dikelola secara kolektif, dan kini telah menjadi salah satu rujukan utama tentang isu terbaru dunia perjalanan di Indonesia. Kunjungi juga: @hifatlobrain dan @aklampanyun.

Leave a Reply