Reportase: Saksi Mata (Suparto Brata, 2002)

Jumat, 25 November 2011. Jam 6 sore, teman-teman mulai berdatangan di perpustakaan C2O.  Merayakan bulan November, kami merasa senang sekali kedatangan tamu istimewa, Pak Suparto Brata, seorang penulis yang dengan konsisten terus menghasilkan karya-karya sastra berkualitas dalam bahasa Indonesia dan Jawa.

Di atas meja tersedia teh manis hangat dan roti selai blueberry untuk menemani perbincangan sore ini.  Erlin membawa minuman spesial es degan buatannya!  Kami pun berposisi PW (posisi wuenak) mendengarkan Pak Brata membahas bukunya, Saksi Mata, suatu novel sejarah dengan latar belakang Surabaya di zaman penjajahan Jepang, dan tentunya menceritakan pengalaman-pengalaman serunya.

Carlos sebagai teman bicara memberi sedikit pengantar mengenai buku ini.  Menurutnya, buku ini cukup memberi “angin segar” dalam novel-novel mengenai zaman penjajahan Jepang. Pertama, karena memang tidak banyak kita jumpai novel sejarah dengan latar belakang zaman penjajahan Jepang.  Kedua, meskipun berlatar belakang “kelam” (dan gelap suasananya karena tidak boleh ada cahaya dengan serangan udara), cara penceritaan dan karakter dalam novel ini cukup ceria dan bersemangat—suatu hal yang cukup berbeda (bandingkan misalnya dengan cerpen Idrus).

Kuntara, tokoh utama, digambarkan sebagai anak menjelang remaja—“remaja tanggung”—yang bersemangat, sedikit polos, kadang kekanak-kanakan, tapi juga pemberani.  Diawali dengan rasa kasih sayangnya pada Bulik Rum yang terlibat dengan konflik antara Tuan Ichiro dan Mas Wiradad, kita melihat bagaimana peristiwa-peristiwa “besar” tumbuh dari berbagai peristiwa sehari-hari dan motif yang sangat manusiawi.  Membaca novelnya, benar-benar membuat kita merasa mendengarkan cerita-cerita masa lalu dari seorang kakek yang luar biasa!

Pak Brata bercerita, bahwa pada masa penjajahan Jepang, beliau memang masih berusia 10-12 tahun, seusia Kuntara saat itu.  Beliau masih menjalani sekolah dasar, dengan pelajaran yang banyak menekankan pada membaca buku, membaca katakana hiragana (aksara Jepang), dan menyanyi yang menurutnya enak sekali dan menyenangkan.  Beliau menyanyikan beberapa contoh lagu dalam bahasa Jepang. Ibunya kebetulan bekerja sebagai PRT untuk sekretaris kabupaten yang juga masih saudara jauh. Kantornya saat itu di Jalan Gentengkali 87, tempat yang sekarang kita kenal sebagai Balai Sahabat.  Jadi beliau memang di zaman itu tidak merasa sulit, hidupnya tidak susah.

Sesuai dengan tebakan teman-teman, memang cerita Saksi Mata dibuat dengan berdasarkan beberapa pengalaman hidup Pak Brata (bukankah setiap novel sedikit banyak autobiografis?).  Pak Brata dulu juga memiliki Bulik yang kenes yang suka jahil menggodanya—memberinya “inisiasi pertama”.  Tapi memang, karya-karya Pak Brata sangat diwarnai perempuan-perempuan yang menarik, tangguh, percaya diri dan nyaman dengan seksualitas dan daya tarik mereka, sensual, tapi juga memiliki harga diri yang tinggi.

Novel ini bisa menghadirkan peristiwa-peristiwa besar melalui detil sehari-hari yang apik, sederhana tapi mendetil dan menarik.  Memang, salah satu kekhasan karya-karya sastrawan yang lahir 27 Februari 1932 ini, adalah ingatan dan deskripsi yang sangat mendetil dalam penggambaran lingkungan dan sejarah.

Beliau menjelaskan, bahwa beliau dulu bersekolah di Ongko Loro, pertama kali diajari menulis dan membaca, dengan aksara Jawa.  Kemudian secara bertahap, dia harus membaca berulang-ulang berbagai cerita dalam berbagai bahasa seperti Kuncung karo Bawok, Matahari Terbit, setiap hari.  Setiap murid harus menguasai membaca dan menulis.  Selain itu, sebenarnya tidak ada buku, jadi murid-murid harus menulis sendiri catatannya.  Di luar sekolah, tidak ada PR. Anak-anak sekolah bermain di luar sekolah, tapi di dalam kelas, mereka harus terus menerus membaca buku.  Ini menurut beliau, yang membuatnya bisa mengingat dengan baik.

Di Dinas Pendidikan Sekolah Rakyat, di Jalan Jimerto dulu ada lapangan tenis.  Di dekatnya, ada gedung dengan aula, di mana tiap empat bulan sekali, seluruh sekolah rakyat di Surabaya, disuruh berlomba membaca bahasa Jepang, berkata bahasa Jepang, dan menyanyi bahasa Jepang. “Seperti Indonesian Idol itu, zaman Jepang sudah ada,” candanya.  Yang dilombakan adalah yang sudah diajarkan dan dihafalkan itu.

Menurutnya, di zaman dulu, kenaikan tingkat pendidikan juga memberi pengaruh pada pendapatan dan status.  Misalnya, menjadi OB di zaman itu, yang memerlukan minim lulus kelas 4, bisa mendapatkan gaji kira-kira 5 sen per hari—bandingkan dengan buruh yang hanya 2 sen.  Semakin tinggi kualifikasinya—HIS, MILO, atau kedokteran, semakin tinggi pula lah gaji seseorang.  Sementara sekarang, orientasinya lebih ke pokoknya lulus, dan sering sekali terjadi orang bisa lulus tanpa harus bisa membaca.

Dibandingkan dengan anak-anak SD sekarang yang dibanjiri PR dan tugas sekolah, beliau merasa sekolah di zamannya dulu jauh lebih menyenangkan—banyak menyanyi dan bermain.  Menurut beliau, anak-anak Indonesia sekarang kelabakan menerima kurikulum yang terlalu berat, dan tidak mempunyai waktu untuk membaca ataupun menulis.  Atau, membaca menjadi suatu yang tidak menyenangkan.

Hobi membacanya ini juga didukung oleh bahan-bahan bacaan yang ditinggalkan orang-orang Belanda.  Di tahun 1958, nasionalisme yang semakin menguat mengusir orang-orang Belanda dari tanah air.  Barang-barang mereka banyak dilelang.  Beliau mendapat banyak sekali buku-buku yang diloak di Keputran dengan harga sangat murah—hanya 1 rupiah.  Zaman itu, lanjutnya, banyak buku-buku hijau terbitan Penguin yang diuntukkan untuk prajurit-prajurit perang, dan beliau sangat menikmati karya-karya Agatha Christie, Georges Simenon.  Karya-karya ini sangat memberi inspirasi dalam pembentukan plot, ketegangan, tema, dalam karya-karya Pak Brata. Selain itu, beliau juga memanfaatkan membaca buku dengan gratis di perpustakaan USIS. Beliau menerjemahkan juga buku-buku bahasa asing menjadi bahasa Jawa.

Ada kira-kira 100 buku yang telah Pak Brata tulis, 60-70 di antaranya ditulis dalam bahasa Jawa. Awalnya, kebanyakan karyanya dalam bentuk novel, tapi seiring dengan semakin dikenalnya beliau di kalangan ahli sejarah, makin banyak pula mahasiswa-mahasiswa yang menghubunginya untuk konsultasi dan cerita-cerita pengalamannya yang menarik.

Novel Saksi Mata pertama kali dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas—Pak Brata mengaku mendapat 8 juta sebagai honor.  Ketika buku ini dijadikan novel, Pak Brata kembali mendapat honor, dan buku ini juga memberinya banyak penghargaan, antara lain penghargaan dari Menteri Pendidikan di tahun 2007, dan hadiah sastra Asia Tenggara dari Sirikit, Thailand.

Tapi beliau juga bercerita, bahwa tidak semua bukunya bernasib baik.  Salah satunya adalah buku yang pertama kali beliau tulis dalam bahasa Indonesia, Tak Ada Nasi Lain, yang diajukan ke Penerbit Pembangunan di tahun 1958, penerbit yang juga pernah menerbitkan Kawat Berduri oleh Tresno Sumarjo, tapi tidak jadi diterbitkan karena situasi politik yang kurang mendukung. Tahun 1972, beliau mengetik ulang naskahnya karena ada pergantian sistem ejaan, dan mengirimkannya ke Ajip Rosidi di Pustaka Jaya, tapi lagi-lagi ditolak.  Tahun 1991, akhirnya naskahnya dimuat sebagai cerita bersambung di Kompas.  Lalu, Pak Brata ingin menerbitkannya menjadi buku.  Beliau mengirimkannya ke penerbit Tiga Serangkai (Solo), ditolak, kemudian Gramedia, ditolak juga.  Pak Brata berpikir ada kemungkinan besar ada permasalahan agama.

Salah satu dari banyak karakter Pak Brata yang sungguh patut dikagumi adalah kegigihan beliau menulis dan menerbitkan karyanya.  Pak Brata bercerita, kuncinya adalah pendidikan yang menekankan pada sastra dan ceritera.  Untuk membuat orang tertarik membaca, menurut beliau harus melalui cerita dulu.  Tapi sayangnya, di Indonesia, semenjak tahun 1975, buku bacaan, sastra menghilang dari kurikulum pendidikan, diganti menjadi pelajaran bahasa.  Orang tidak lagi menikmati membaca karya, tapi harus mempelajari aturan.  Pelajaran yang semestinya mudah, diubah menjadi sulit.

Selain itu, beliau juga senang mengumpulkan dan membaca ulang kata-kata mutiara untuk terus mendukungnya agar tidak mudah patah semangat.  Kata-kata tersebut dikumpulkan dan dituliskannya—beliau juga berharap dapat suatu saat menerbitkannya.

Di akhir acara, Pak Brata menekankan lagi, pentingnya membaca dan menulis.  Ini juga perlu diterapkan di kurikulum pendidikan kita, agar memberi ruang pada kebiasaan membaca, bukan hanya pada pembelajaran peraturan-peraturan dan ujian-ujian saja.  “Wong pinter sadunia iku mesti maca buku lan nulis buku. Kowe piye?”  Sebuah tantangan dan ajakan yang perlu kita renungkan dan sambut.  Terima kasih Pak Suparto Brata, atas cerita-cerita dan ilmunya yang luar biasa menarik!

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply