Reportase: MSW #2 Imlek

manic street walkers #2 : edisi imlek

Keterangan: Manic Street Walkers adalah klab pejalan kaki yang baru dilahirkan tahun baru lalu! Jika rute perjalanan pertama kami menelusuri Strenkali Jagir di Wonokromo, rute kali ini—untuk merayakan Imlek—adalah menelusuri berbagai situs-situs yang berkaitan dengan budaya Tionghoa di Surabaya. Berikut adalah liputannya dalam bentuk catatan harian Anitha Silvia. Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai acara-acara Manic Street Walkers, hubungi anithasilvia@gmail.com


sabtu, 21 januari 2012

jam setengah 3 pagi baru melepaskan diri dari dunia maya, menyetel alarm di hp, berusaha untuk segera tidur. terbangun dan langsung melihat jam tangan saya yang tergeletak di kasur, jam tersebut menunjukkan angka 05.59, tepat 1 menit sebelum alarm hp berbunyi, pastinya saya masih ngantuk! segera mengirim pesan singkat ke para peserta manic street walkers #2, memastikan mereka sudah pada bangun. kemarin beberapa kawan yang berminat ikutan mengirimkan pesan penyesalan tidak bisa bergabung karena berbenturan kegiatan lainnya. sebelum tidur saya sudah putuskan untuk tidak mandi, jadi saya hanya sikat gigi dan cuci muka, udara cukup sejuk dan pastinya akan kotor dan berkeringat sepanjang jalan, saya akan membawa peralatan mandi, abis jalan baru mandi di c2o! isi totebag saya: botol minum ukuran 800ml, kacang kulit, permen, payung, newsletter c2o, dompet, peralatan mandi, kaos ganti. kostum saya: kaos warna hitam, celana kain hitam 7/8, sandal outdoor warna hitam, kalo kathleen ada pasti saya dibilang anak pencak silat. pesan saya ke peserta manic street walkers #2: berkumpul di c2o library jam 7 pagi! tapi hanya saya yang baru datang, anna yang membukakan gerbang, lalu saya sarapan coklat panas dan donat. 30 menit kemudian menyusul datang idha dan danto, mereka terlihat segar dan bersemangat—karena mereka sudah pada mandi, mirna pun datang, saya jadi semangat karena sebelumnya pesimis tidak ada yang akan benar2 ikutan manic street walkers #2 edisi imlek mengingat rute yang sangat panjang. 15 menit kemudian, dua personel hifatlobrain tercinta: ayos dan lukman datang dengan muka bantal, mereka sepertinya bangun tidur langsung berangkat, tidak mandi. jam 8 pagi, ardian—peserta terakhir—datang dengan kostum olahraga, yaw kami bertujuh siap untuk berjalan kaki setelah foto bersama!

dari jalan dr cipto 20 kami menuju jalan cokroaminoto, jalanan di kawasan permukiman darmo cukup lenggang, udara cukup cerah sama dengan kondisi hati saya, cukup cerah X), kami hanya berjalan beberapa blok saja dan sudah tiba di kelenteng ‘kong tik tjoen ong’, destinasi pertama kami. lebih akrab disebut kelenteng cokro karena berada di jalan cokroaminoto, sama dengan kelenteng ‘hok an kiong’ lebih sering disebut sebagai kelenteng coklat karena berada di jalan coklat, dan kelenteng ‘hong tiek hien’ lebih sering disebut kelenteng dukuh karena berada di jalan dukuh. yah sebenernya biar gampang nyebutnya, saya susah untuk mengingat nama kelenteng dalam bahasa cina. kelenteng cokro adalah kelenteng tridharma (khonghucu, taoisme, buddhis), kelenteng yang unik karena juga terdapat altar dewi sri. saya selalu kagum dan nyaman saat berada di kelenteng, aroma hio yang menenangkan, ornament yang semarak tapi gak norak, dan cara sembahyang yang unik. warna merah yang mendominasi kelenteng memang selalu membawa semangat dan harapan bagi setiap pengunjung (termasuk saya).

kami lanjut berjalan kaki di trotoar jalan raya darmo yang lenggang, dan mulai ramai ketika memasuki jalan urip sumoharjo. adrian membeli koran kompas, yah saya tidak sempat membaca tulisan idha di kompas hari ini, hanya melihat sekilas ulasan gunung kelud. karena trotoar jalan urip sumoharjo berbatasan langsung dengan kampung keputran dan rumah susun urip sumoharjo, maka trotoar ramai dengan tukang jualan, toko2 kecil, motor yang lalu lalang—tapi cukup menghormati para pejalan kaki–di trotoar yang besar nan bersih, ini adalah trotoar favorit saya! memasuki jalan basuki rahmat, melewati gedung2 perkantoran dan mall, kami menyebrang ke jalan tunjungan melalui jembatan penyebrangan, destinasi kedua: hotel majapahit.

hari ini adalah hari terakhir pameran wayang potehi di hotel majapahit, saya dan ardian sudah kesini saat pembukaan pameran. idha, danto, ayos, lukman, dan mirna semangat melihat koleksi wayang potehi yang memang mengagumkan¸ sayang tidak ada keterangan per boneka maupun catalog! kebetulan ada upacara pernikahan disana, kami memperhatikan wajah mempelai laki2 yang lumayan tegang. ardian memperkenalkan kami seorang dalang wayang kulit yang beretnis tionghoa, saya lupa namanya, kebetulan beliau sedang ada sesi wawancara dengan sebuah koran harian yang paling populer di surabaya. sempat ngintip ke toilet, wuapik dengan ornament vintage, yah memang hotel majapahit bekas hotel kolonial.

cuaca tetap cerah hanya sedikit mendung, padahal kami sudah membawa payung, ternyata sepanjang perjalanan tidak hujan. kami lanjut berjalan kaki menelusuri jalan tunjungan yang penuh dengan bangunan kolonial dan rambu lalu lintas, kami berfoto di bawah tanda “sejajar satu baris”, seorang ibu dengan asjiknya ikutan foto bersama kami, ahh menyenangkan jika berinteraksi dengan pejalan kaki lainnya! melewati tunjungan center—sebuah pusat perbelanjaan sejak jaman kolonial, lalu menyebrang masuk ke jalan gemblongan dengan banyak toko furniture dan trotoar yang juga luas dan nyaman—yah iyalah ini kan masih di pusat kota, trotoar menjadi salah satu tolak ukur perkembangan sebuah kota, maka pemerintah kota pasti merasa wajib membuat trotoar untuk pedestarian, tapi kalo sudah di sub-urban jangan harap ada trotoar sebagus ini, namun trotoar di pusat kota surabaya selalu sepi dengan pejalan kaki. kami tiba di persimpangan jalan alun-alun contong dan jalan kramat gantung, destinasi selanjutnya adalah kelenteng coklat, namun lukman memberi usulan untuk melihat makam peneleh, tanpa berpikir lama kami pun setuju, destinasi ketiga: makam peneleh.

dari jalan gemblongan kami belok kanan melewati jembatan dan tiba di jalan peneleh, belok kiri menuju jalan makam peneleh. sepanjang jalan makam peneleh kami banyak menemukan hal yang unik, pertama banyaknya biro travel jurusan denpasar, kedua kantor tabloid sapu jagat dengan tagline yang mencengangkan: “tabloid ngak pedulian”, ketiga adalah hadirnya tanda pejalan kaki yang cukup lawas di sebuah gang kecil–yah gang ini memang hanya layak untuk dilalui dengan berjalan kaki, keempat ardian membeli ote-ote (bakwan kalo di jakarta) seharga 10ribu per biji—buset mahal banget, yah isinya daging ayam dan daging2 lainnya. kami tiba di makam peneleh, penjaga parkir kecewa kami tidak membawa kendaraan bermotor, itu berarti tidak ada pemasukan untuknya. gerbang makam peneleh digembok, jadi kami harus menyelip di celah dua belah gerbang, makam ini memang sudah lumayan umum dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing. makam peneleh adalah makam orang belanda (eropa), sudah tidak berfungsi lagi, berbeda dengan makam kembang kuning yang juga adalah makam orang eropa tapi masih berfungsi sampai sekarang. seperti makam prasasti di jakarta, makam dengan arsitektur ghotic memang memukau, kami banyak menemukan simbol dari organisasi freemasonry dan illuminationism. idha dengan fasih berlaku sebagai sebagai model dengan setting makam kuno, hahah idha dari tadi emang suka difoto dengan bergaya pula, danto bertugas sebagai fotographer. saya mengikuti kambing yang berkeliaran berkeliling makam, menyenangkan tapi banyak nyamuk! puas dengan destinasi dadakan kami, kami pun melangkah pergi ke destinasi selanjutnya, namun kami sempat dicegat oleh orang tua yang mengaku sebagai penjaga makam, kami diminta untuk menyerahkan sejumlah uang sebagai “biaya masuk”, saya dan ayos berkelit pura2 bodoh karena kami malas membayar untuk hal yang tidak perlu, lukman menyelamatkan scene janggal tersebut dengan menyerahkan selembar uang limaribuan ke sang penjaga makam.

sebelah makam peneleh adalah puskesmas kelurahan peneleh dengan menggunakan bangunan kolonial yang terawat, ahh seru yah. kami pun melangkah memasuki kampung peneleh yang memang adalah kampung sejak jaman kolonial sama seperti kampung tambak bayan, kampung plampitan, dan kampung bubutan, jadi banyak rumah2 dengan arsitektur kolonial, yah gak semua rumah tapi rumah2 kolonial cukup menonjol dan terawat, saya sukak sekali dengan lantai berkeramik motif2 bunga/sulur daun. kami kembali ke jalan peneleh, menemukan deretan gerobak dengan papan iklan “kuras wc gledekan”, gilak kebayang isi sepitank dalam gledekan. Kami melewati gapura2 jalan2 lawas : jalan pandean, jalan lawang seketeng, jalan jagalan. saya baru tahu kalo soekarno dilahirkan di jalan pandean gang IV, ada prasasti yang menuliskan hal tersebut di depan gang. di perempatan menuju jalan pasar besar, saya, idha, danto, mirna, dan ardian istirahat sejenak di sebuah warung, kaki mirna lecet karena dia memakai sandal yang kurang tepat, kaki ardian juga bengkak karena sepatu yang dipakainya tidak nyaman, mirna membeli handiplast untuk menutupi lecet di kedua kakinya, sementara itu lukman dan ayos sudah berjalan jauh hingga tidak terlihat—mereka berdua sangat semangat berjalan kaki sepertinya.

kami menelusuri jalan semut kali yang penuh dengan truk2 ekspedisi, terhenti di depan counter vespa dan piaggio, ardian dengan semangat masuk untuk melihat-lihat, kami pun tergoda untuk melihat koleksi mereka. kemudian lanjut berjalan ke jalan slompretan dan akhirnya tiba di destinasi keempat: kelenteng coklat, tapi kami tidak melihat ayos dan lukman. lukman menghubungi telepon selular saya, ternyata mereka berdua sedang di depan rumah abu keluarga han menunggu kedatangan kami—yah kan rumah abu han tidak ada dalam itinerary. perut2 keroncongan danto dan ardian menuntun kami beristirahat dan makan di warung depan kelenteng coklat, ayos dan lukman menyusul bergabung, semua makan dengan lahap kecuali mirna—dia hanya memesan kopi pahit. dalam grup ini memang ayos, lukman, dan danto menjadikan perjalanan kami penuh tawa dengan guyonan yang cukup renyah. ardian membeli sandal jepit dan menjadikannya alas kaki menggantikan sepatunya, lalu kami masuk ke kelenteng hok an kiong.

kelenteng hok an kiong adalah kelenteng tertua di surabaya, sebuah kelenteng tridharma, dengan patung mahcoh di altar utama. sang juru kunci yang bernama ong khing ngik dengan terlatih menyambut para tamu termasuk kami, beliau menemani kami melihat2 kelenteng, menjelaskan secara singkat ornament dan patung2 dewa dewi, serta cara sembahyang. ong khing ngik juga punya usaha pembuatan kaca tolak bala, kita sering melihat kaca tersebut (bentuk cembung) di atas pintu rumah orang2 tionghoa, beliau juga menjual souvenir yang dibelinya langsung di china, lukman, danto, dan mirna membeli gelang yang apik seharga 10ribu. ong khing ngik mengajak anak2 untuk melakukan tjiam sie, tanpa dipungut uang sepeser pun, kami kira kami harus membayar untuk hio yang kami bakar. danto, mirna, dan lukman melakukan tjiam sie, saya mendokumentasikan pengalaman pertama mereka ber-tjiam sie. ong khing ngik mengajarkan mereka cara sembahyang dan mengeluarkan batangan ramalan, danto dan lukman sama2 mengeluarkan batang berangka 24 sementara mirna gagal, sang juru kunci menjelaskan bahwa hari ini mahcoh tidak berpihak pada mirna. sang juru kunci mengambil kertas ramalan angka 24 lalu membacakan arti dari ramalan—dia membaca dari sebuah buku fotokopian yang berisikan arti dari tiap ramalan, anak2 husyuk mendengarkan sang juru kunci membacakan arti ramalan, saya tidak terlalu mendengar dengan jelas karena saya lanjut foto2 altar2 lainnya, banyak banget altarnya! kami semua tersenyum puas dengan kunjungan di kelenteng coklat, sangat menyenangkan—mungkin karena sang juru kunci membantu kami untuk memahami sedikit ritual di kelenteng.

setelah berfoto bersama sang juru kunci, ayos dan lukman berpisah dengan kami, mereka ada kegiatan penting lainnya, jadi tinggal kami berlima, lanjut berjalan ke destinasi kelima: kelenteng hong tiek hien. masih di jalan slompretan kami menemukan gedung perkumpulan hwie tiauw ka hwee kwan yang sedang ramai pengunjung—berkaitan dengan imlek pastinya. ardian memutuskan untuk naik becak karena kakinya makin tidak nyaman untuk berjalan kaki, kami janjian bertemu di kelenteng boen bio. keluar jalan slompretan, kami cukup kaget tiba2 berada di jalan kembang jepun yang cukup sibuk, hahah kami sampai juga di jalan kembang jepun, gak nyangka bisa berjalan kaki sejauh ini, dan sepanjang jalan menuju jalan dukuh kami memang kayak turis, danto dipanggil mister oleh tukang becak. kami tiba di kelenteng dukuh, kelenteng ini terdiri dari 2 lantai dan ada panggung wayang potehi—yah pertunjukkan wayang potehi secara insidental dilakukan di dalam kelenteng dukuh. setiap kali masuk ke kelenteng dukuh, saya merasa kelenteng ini sangat gelap, karena lampu yang minim, tapi lama kelamaan mata ini baru beradaptasi, malah minimnya cahaya menambah syahdu tempat ibadah ini. di samping kiri kanan altar utama berjejer kalender, memamerkan angka 21, yaw komposisi yang menarik. kami beristirahat sejenak di dalam kelenteng, lalu lanjut berjalan menuju jalan kapasan untuk destinasi terakhir manic street walkers #2: kelenteng boen bio.

jalan kapasan termasuk pecinan—secara sederhana ciri2 kawasan pecinan adalah adanya kelenteng, adanya gapura, dan adanya sekolah berbahasa cina, kami tergoda untuk masuk ke hotel ganefo yang berada di jalan kapasan. di era kolonial, hotel ganefo sebelumnya adalah rumah seorang mayor cina—sayang namanya saya tidak tahu—yang bertugas mengawasi penduduk tionghoa di daerah kapasan, kemudian rumah tersebut dijadikan hotel untuk menampung para pendatang china yang baru mendarat di surabaya. setelah mendapatkan ijin dari petugas hotel (pastinya kami tidak boleh mengambil gambar dengan kamera), kami berkeliling ditemani seorang karyawan hotel bernama didik, dia sudah 12 tahun bekerja di hotel ini. kami terpukau dengan interior bangunan dan property yang dipakai sangat vintage, harga kamarnya murah sekali mulai dari 80ribu per malam! benar2 hotel yang tepat untuk para pejalan karena menyajikan suasana yang vintage dan murahhhh!!! terimakasih untuk didik yang mengajak kami berjalan2 keliling hotel ganefo, sampai jumpa lagi karena kami akan menginap di hotel ini, entah kapan.

yah ginilah kalo jalan kaki, banyak kejutan dan destinasi2 tambahan heheh. ardian sudah duduk2 santai di dalam kelenteng boen bio—satu2nya kelenteng konghuchu di indonesia, boen bio berarti kuil sastra. kami kagum dengan keterbukaan kelenteng ini karena dipajangnya foto gusdur bersebelahan dengan patung konghuchu, gusdur memang seperti nabi (menurut saya). anak2 mendengarkan kisah yang dituturkan ardian mengenai perjalanan kelenteng boen bio yang memang menarik—sebagai monument perjuangan kaum tionghoa melawan penjajah belanda. saat itu beberapa tukang sedang membersihkan papan nama leluhur dan ornament lainnya, kelenteng boen bio pun bersiap menyambut imlek. saya mengintip belakang kelenteng, ada bangunan kolonial juga yang dijadikan sekolah taman kanak-kanak, menarik! dan tur jalan kaki pun selesai, kami masih semangat untuk kembali menyusuri jalan kembang jepun yang penuh debu yang berterbangan, menuju jembatan merah! kami kembali ke c2o library dengan menumpang angkutan umum : lyn Q, di dalam angkot kami kehausan, botol minum kami sudah kosong, lupa membeli air minum dalam kemasan, dan danto pun bersedih karena 2 partnernya—ayos dan lukman—tidak hadir untuk menimpali guyonan soal teori konspirasi. kami tiba dengan bahagia di c2o library tercinta sekitar jam 3 sore, langsung menghapus dahaga dengan minuman yang tersedia di c2o, jalan kaki 6 jam ditambah kurang tidur memang melelahkan tapi tetap menyenangkan! sampai bertemu di manic street walkers edisi selanjutnya, salut untuk para pejalan kaki: mirna, ayos, lukman, ardian, idha, danto!

Email | Website | More by »

Seorang musafir gig dan pameran, pengelola klab jalan kaki Manic Street Walkers, penikmat zine, lomographer.

One Reply to “Reportase: MSW #2 Imlek”

Leave a Reply