Invitation

Sutradara: @affan_hakim | Produser : mas ibnu | cast: maaf gak sempet nyatet pas credit titlenya diputer

Sebuah movie screening patut saya ikuti karena biasanya saya bertemu dengan para movie maker, minimal si sutradara atau produser atau salah satunya. Tidak hanya bertemu, mungkin juga saya bisa bertanya sesuatu hal yang ‘mengganggu’ atau ‘agak menganggu’ yang masih nyantol di pikiran setelah menonton sebuah film, apalagi film indie. Untungnya, INVITATION yang diputar di @c2O-library malam minggu kemaren, saya sama sekali tidak rugi berkeringat bercucuran karena bersepeda untuk menghadiri movie screening ini.

Ok, pertama, saya akan memberikan komentar tentang ‘content’ dari film ini. Pertama mengenai ide cerita itu sendiri, temanya ‘drama-romance’. Dalam diskusi si sutradara memang benar, film ini bertema umum, tema ‘drama-romance’ memang tema umum, tapi mengutip kata-kata-nya Paul Arden “tidak ada larangan untuk meniru (mencontek, red) maka menirulah, tapi buatlah dirimu sulit ditiru, itulah yang membuat dirimu orisinal”. Nah menurut pendapat saya, INVITATION merupakan tema yang tidak orisinal, ‘generally-content’ film yang tidak orisinal, plot yang tidak orisinal, akan tetapi film ini berisikan dialog yang orisinal, dan dengan penyelesaian konflik yang orisinal. Artinya, saya tetap mengapresiasi film ini secara keseluruhan, sebuah karya dari sang sutradara @affan_hakim ‘kera ngalam’.

Film bertema drama romance memang sangat umum, bisa dinikmati oleh banyak orang (secara umum). Akan tetapi banyak pula drama romance yang tidak bisa dinikmati oleh banyak orang, seperti Before Sunrise, Mozart and The Whale, Beginners, atau Blue Valentine. Saya yakin ada penonton yg mengerutkan dahi setelah menonton film-film ini. Saya tidak akan membandingkan Invitaion dengan film-film luar negeri yang baru saya sebutkan tadi. Tetapi, jika dibilang apakah Invitation bisa dinikmati oleh banyak orang? jawabannya: ya dan tidak. Ya, untuk penonton dengan tipikal seperti saya, dan tidak untuk penonton dengan tipikal lainnya.

Dialog atau naskah atau screenplay yang sering menjadi perhatian utama saya saat menonton film. Dua film prancis yang baru saya tonton, A Kids With Bike dan Father of My Children, menandakan tipikal film ‘sangat’ prancis, yaitu film yang dipenuhi oleh banyak dialog ‘sangat sepele’, tidak rumit, tidak ribet, menggunakan kata-kata sehari-hari, akan tetapi dialog-dialog tersebut membangun keutuhan film sehingga film ini ‘unconsciousness-ly’ layak untuk dinikmati. Sekali lagi, saya tidak akan membandingkan Invitation dengan film prancis itu. Apresiasi saya berikan walaupun masih dipenuhi oleh tanda tanya >> dialog yang digunakan di film Invitation ini. Dialog tersebut 70% merupakan dialog ‘sehari-hari’ tentang romantisme anak muda, akan ada sisipan 30% dialog dimana (in my humble opinion) tidak semua anak muda (termasuk anak muda yang sudah menempuh pendidikan S2 seperti saya) membicarakan feminisme, isu gender, confucius, peribahasa jawa, hingga Undang-Undang Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003. Setidaknya (imho) belum pernah ada dialog yang terjadi (di dunia film atau di dunia nyata) anak muda yang membicarakan kisah romantisme mereka dicampur dengan hal-hal yang saya sebutkan tadi (apalagi undang-undang ketenagakerjaan). Jadi saya merasakan ‘pesan’ yang tersampaikan tidak romantisnya saja, (sesuai diskusi yang saya amati kemaren) tetapi isi dari dialog itu, mengangkat isu-isu terkini.

Yang saya coba berikan pendapat pada film Invitation ini adalah, saya “cukup” menikmati dialog 70-30 seperti itu, si sutradara sudah meramu dengan ‘cukup cakap’, dan saya menantikan film selanjutnya, dengan model dialog yang seperti itu. Jika saya metaforakan, ada pembuat kue, mencampur berbagai adonan ingin membuat kue bolu, akan teapi jadinya lapis legit. Asal tahu saja, dua-duanya tetap enak dimakan.

Content lain yang coba saya opinikan adalah cast atau talent atau artis dan aktor yang bermain disana. Castnya ok, kecuali satu, yang cowok berkacamata. Akan tetapi, untuk sebuah short indie, pendapat saya ini saya rasa tidak cukup adil, karena tidak banyak film indie buatan anak negri yang sudah saya tonton. Saya menerima kesan, sutradara dan kawan-kawan tidak ingin memilih cast/aktor sembarangan di Invitaion ini. Saya yakin mereka bekerja keras untuk bagian ini, bagian cast ini. Film indie biasanya dibuat berdasarkan swadaya dan usaha keras sendiri, membuat 25 menit Invitation dengan cast seperti itu menurut saya sudah bisa diacungi jempol, jempol.

Selanjutnya adalah dari cerita dan plot Invitation. [SPOILER ALERT] Langsung saja, menurut saya abigram menjadi terkenal setelah munculnya novel Dan Brown berjudul Angel and Demon. Di situ ada ambigram Illuminati dan beberapa kata ambigram lainnya. Mungkin sutradara meniru hal ini, tidak ada salahnya meniru sesuatu, tetapi ambigram untuk nembak cewek itu “too something” . Tagline awal “finding love has never been easier than turning the paper” saya sendiri tidak menyangka bahwa “turning” itu adalah kata kunci di film ini. Karena “tidak menyangka” ini muncul di dalam diri saya, maka saya berpendapat film ini memiliki plot yang bagus. Dan juga antiklimaks-nya, bagus (scene: BBMan yang terakhir).

Content selanjutnya adalah ‘packaging’ atau ‘pengemasan’, ini istilah saya sendiri. Untuk cinematografinya, wow, ok banget. Lensa longnya membuat fokus yang sangat bagus, rupawan, dan manis. Terlihat sekali memang gambar diambil dengan tidak sembarangan. Terlihat sekali pengambil gambar adalah profesional di bidangnya. Seperti scene-scene yang di taman Purwodadi, saya yakin itu diambil minimal dengan 3 kamera SLR atau lebih dengan sudut angle yang berbeda. Dan pengalaman saya menonton klip-klip di Vimeo, membuat film indie dengan SLR itu ide yang sangat bagus! Untuk audio, tidak parah dan tidak ada masalah, good take for the scoring. memang membuat film agar tidak ada suara yang bocor itu sulit, dan berhasil membuat sesuatu yang sulit itu memuaskan, betul tidak?

Kedua, mengenai movie screening itu sendiri. Adalah sebuah mimpi bagi saya, jika suatu saat Gus Van Sant membuat film baru, dan saya menghadiri movie screening nya, karena sutradara itu memang terkenal dengan karyanya yg idealis. Saya puas dengan diskusi film atau movie screening Invitation kemaren, karena jawaban mas @affan_hakim dan kawan-kawan memang jawaban oleh orang-orang yang stay hungry, stay foolish nor passionate. “Jika ditanya apakah saya puas, saya menjawab tidak puas” kata mas @affan_hakim. Memang harus seperti itu lah sebuah film dibuat, jangan hanya mempertimbangkan apakah film ini laris atau tidak laris. OTT, Twilight Breakin Dawn Part 1 saja sudah memperoleh pendapatan 200juta dollar lebih, dibandingkan dg Hugo (nominasi Best Picture Oscar 2012) karya Martin Srorsese yang sangat epic dan luar biasa baru mendapatkan 78 juta dollar. Padahal waktu penayangan mereka hampir sama. Cukup prihatin dengan minat penonton seperti ini, hal ini juga terjadi di Indonesia. Memang pertimbangan penonton juga sangat penting, apakah banyak atau sedikit penonton yang menikmati. Saya sendiri sangat menikmati Invitation, apalagi film ini tidak lepas dari tipikal film indie berbudget sangat sedikit.

Mas affan juga berbicara tentang “signature” seorang sutradara di film-filmnya. Ok, pendapat saya, sebuah “signature” akan memiliki definisi yang benar-benar “signature”, jika “signature” itu ditelakkan di beberapa/banyak karya. jadi mas affan, saya nantikan karya selanjutnya ya, (dan jangan lupa signaturenya .. :D )

[caci-maki-aprisiasi tulisan ini ditulis oleh seseorang yang suka menonton film, mengritik film, tetapi belum pernah mencoba membuatnya dan merasakan betapa sulitnya …. sayamalu]

cinematicorgasm (dlm format film indie lokal) rate: 75/100

One Reply to “Invitation”

Leave a Reply