Reportase: Surabaya Illustrated Travel

Ilustrasi Herajeng Gustiayu dan Redi Murti diolah Deri Elfiyan untuk penutup dalam videonya

 Apa yang lebih meriah daripada malam yang penuh teman?

Kami sudah menunggu lama untuk pameran ini. Terhitung sejak berakhirnya residensi Ajeng di surabaya, kami terus beranjak ke pekerjaan satu dan yang lain. Hifatlobrain menggarap video Vaastu, anak-anak c2o mengonsep platform Ayorek! -sebuah portal komunitas kreatif Surabaya- yang akan diluncurkan akhir Minggu ini, dan Ajeng kembali berkutat pada web design dan traveling.

Namun ide tentang pameran ini terus berkembang dan kami jaga nyala apinya. Tinta memunculkan nama Redi Murti, seniman muda cadas aseli Surabaya, untuk diajak kolaborasi. Karena kami adalah sekumpulan pelahap ide gila, tak butuh waktu lama kami pinang Redi untuk turut serta.

Alhamdulillah tanpa banyak bicara dia menerima ide kolaborasi ini. “Pertama kali saya diajak, saya langsung mau. Kebetulan ada proyek ini aku seneng banget,” kata Redi. Pria lulusan komunikasi visual UK Petra ini memang cukup dikenal di kalangan perupa muda Surabaya. Bagaikan nabi, Inyo, panggilan akrab Redi, memiliki basis masa sendiri. Tokoh imajiner berwajah merah yang terinspirasi dari gerakan seni baru Tiongkok, Nudeface, menjadi trademark sendiri bagi karya-karya Inyo selama ini.

Bagi kami di Hifatlobrain, ini adalah perpaduan yang saling melengkapi. Ajeng, dengan latar belakang arsitektural, banyak merekam Surabaya dari keindahan gedung-gedungnya. Sementara Inyo, yang aseli arek Suroboyo, mendokumentasikan Surabaya dari sisi dinamika sosial. Klop!

Mendekati hari H, deadline karya semakin ketat. Tinta, sebagai promotor, harus berulang kali memensyen Inyo di Twitter. “Halo Redi, hari ini gambar apa saja?” begitu sapa Tinta setiap siang. Kami pun tak alfa mengingatkan Ajeng untuk selalu menambah jumlah karya. Kami takut galeri IFI Surabaya yang megah akan terasa melompong dengan jumlah karya yang tidak berimbang.

Tapi ketakutan itu sirna sehari sebelum pembukaan pameran. Kami bergotong royong menyiapkan bingkai dan mematut karya. Ternyata jumlah karya malah terlalu banyak. Terpaksa kami melakukan kurasi terhadap karya Ajeng. Beberapa kami tampilkan, sisanya biarkan jadi kejutan di buku yang sedang kami garap.

Ternyata banyak sekali yang harus disiapkan sebelum pameran. Sementara saya, Kat, Tinta, dan Ruli memasukkan gambar ke pigura, di sisi lain Putri sedang sibuk mengurus puluhan captionlukisan. “Aduuuh aku stuckIki sing bonek ditulisi opooo?” tanya Putri berceracau. Dan Andriew masih stres memikirkan desain katalog yang oke di sela-sela kesibukannya mengurus layout DIY Report. “Tensiku lagi tinggi. Pokoke senggol bacok!” kata Andriew suntuk berat.

Beberapa media datang saat press conference. Mereka mewawancarai Ajeng dan Inyo, tentang alasan mereka menggambar, tentang proses kreatif, dan inspirasi kedua seniman. Saat sesi foto, ini yang bikin ketawa. Kedua makhluk eksperimental ini bukan jenis manusia fotogenik yang akrab dengan lensa. Tapi mereka dipaksa berpose di depan kamera oleh para fotografer. “Lihat sana ya mas, tunjuk sini ya mbak,” perintah sang fotografer. Mereka berdua hanya kikuk.

Satu lagi makhluk dari Malang akhirnya turun gunung, Deri Elfiyan, sang videografer yang kerap dipanggil ‘warkamsi‘ oleh Tinta. Dia membawa kepingan puzzle terakhir persiapan pameran: video yang digarap dengan animasi menarik! Yeah!

Syukurlah kami bisa menyelesaikannya dengan baik. Beberapa jam sebelum pembukaan, pigura sudah rapi terpajang, puluhan captionjuga tercetak rapi di bawahnya, alat musik untuk Silampukau tampil live juga sudah siap, sedangkan katalog sudah diperbanyak oleh Tinta di fotokopi Pink yang legendaris.

Semakin malam pelataran IFI semakin ramai saja. Bahkan Mbak Laleia juga datang sejak jam lima sore, membawakan kami roti dan yoghurt. Oh lovely! Thanks mbak. Werdha dan Koplo datang lebih awal karena kecele di-BBM Ruli dengan informasi yang salah. Samuel Respati datang dengan rambut kece karena ia akan tampil memainkan musik elektronik.

Jam tujuh tepat acara dimulai. Mbak Krishna dari IFI menjadi master of ceremony, dilanjutkan sambutan dari direktur IFI Surabaya, Pak Goujack. Dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah ia mengungkapkan perasaannya. Tak lupa ia mengingatkan bahwa IFI tak lama lagi bedhol desa. Berkemas dari gedung tua yang bertuliskan ‘anno 1914’ ini, pindah ke komplek AJBS.

Sebelum pintu dibuka, Silampukau memainkan empat lagu. Band yang sekarang berformat trio ini mendapat tempat khusus dalam proses kreatif Traveler In Residence karena lagu-lagu mereka banyak yang merefleksikan kehidupan kota -terutama Surabaya, di mana mereka tinggal. Silampukau menjadi pembuka yang hebat dan magnet yang kuat bagi siapapun yang hadir. Venie, chief editorMajalah Provoke, yang datang dari Jakarta turut hadir dalam pembukaan karena ingin melihat Silampukau main. “Salah satu band lokal Surabaya yang gue seneng ya Silampukau,” kata Venie yang hanya tahan dua lagu sebelum ngebut menuju bandara mengejar penerbangan ke ibukota.

Malam itu ratusan orang hadir. Hitungan kasar saya lebih dari 200 orang. Ini adalah jumlah yang cukup banyak untuk pembukaan pameran. Sebagian adalah pembaca Hifatlobrain, sebagian lagi pemuja sekte Inyo, sebagian lagi member c2o Library, sebagian lagi groupies Silampukau, sebagian lagi pengunjung setia IFI Surabaya, dan sebagian lainnya adalah pecinta seni. Ini hanya perkiraan saya lho, bukan statistik akurat.

Pintu galeri dibuka dan para pengunjung menyeruak masuk. Udara sampai terasa gerah dibuatnya. Saya keringetan. Sementara Samuel mengambil alih panggung dan mulai memainkan musik-musik elektronik, para pengunjung di dalam galeri asyik menggambar bebas pada meja berlapis kertas samson yang kami sediakan. Mereka menggambar apa saja yang berhubungan dengan Surabaya. Mulai dari tempe penyet hingga nasi bebek, mulai dari Tugu Pahlawan sampai patung suro-boyo. Dan gambar-gambar itu bebas direspon oleh siapa saja yang baru datang. Ini adalah arena live drawingmultirespon yang menyenangkan!

Di tengah suasana malam yang makin meriah dan makanan kecil yang dihidangkan oleh staff IFI, tak ada yang lebih membuat bahagia ketimbang teman-teman yang datang berombongan. Mas Lukman Simbah yang akhir-akhir ini sibuk mbutge (nyambut gawe, kerja kantoran) akhirnya bisa datang! Saya terharu. Ada juga mas Iman cinematicorgasm, mas Jerry Kusuma, mbak Laleia, Wardah Amelia (induk semang Ajeng selama residensi), Pak Handoko Suwono, Ardian Purwoseputro, Ari Tanglebun, Adinda Nurul, Gungun, Bagong, Faris WNKRM, Agoessam, Maya Jejak Petjinan, Nita Nitchii, dan Benny Wicaksono. Oh ya Phleg, Remi Kinetik dan mas Jimmy Ofisia juga datang bro! Wohoho. Kami senang deh.

Terimakasih atas kerja keras Herajeng Gustiayu dan Redi Murti dalam berkarya. Terimakasih untuk Deri Elfiyan atas videonya yangasedap. Terimakasih untuk Giri Prasetyo yang mau mendokumentasikan acara. Terimakasih untuk Ruli, Tinta, Kat, Andriew, Simbah, yang banyak membantu. Semoga kedepan Hifatlobrain bisa terus mengolah ide gila! Rawkz!

Sebelum pembukaan
Pendaftaran pengunjung
Silampukau on stage

The artists! Samuel Respati, Redi Murti, Deri Elfiyan, dan Herajeng Gustiayu.
Para pendukung acara pembukaan!
Duo cadas di balik Orkes Layar! Rawkz!
Hifatlobrainers and special guest: Lukman Simbah.
Kartu pos dengan gambar Herajeng Gustiayu dan Redi Murti yang ludes terjual. Tapi kami mencetak lagi kok :)

NB: Foto dokumentasi diambil oleh Giri Prasetyo.

Email | Website | More by »

Inisiator Hifatlobrain Travel Institute, sebuah blog perjalanan yang dikelola secara kolektif, dan kini telah menjadi salah satu rujukan utama tentang isu terbaru dunia perjalanan di Indonesia. Kunjungi juga: @hifatlobrain dan @aklampanyun.

Leave a Reply