Reportase: Bedah buku Budaya Bebas

Diskusi buku”Budaya Bebas: Bagaimana Media Besar Memakai Teknologi dan Hukum untuk Membatasi Budaya dan Mengontrol Kreativitas – Lawrence Lessig”

bersama Brigitta Isabella, Syaifatudina, Antariksa (KUNCI Cultural Studies Centre)
dan Phleg TerbujurKaku

30 Mei 2012
di C2O Library & Collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264

“common sense mematahkan dogma-dogma lama”

Jam 6, awal malam yang cukup cerah, di halaman belakang c2o library sudah tertutupi karpet, Antariksa, Ari, dan Andreiw rebahan bermain gitar; di dalam perpustakaan, Dina dan Gita sibuk menyelesaikan materi diskusi buku “Budaya Bebas – Lawrence Lessig”. Setengah jam kemudian, Phleg Terbujurkaku yang juga akan menjadi salah satu memasuki halaman c2o library dikawal 3 temannya. Kawan-kawan berdatangan dan kami memulai acara sekitar jam 7 malam.

Andriew melempar prakata, disambut Gita memaparkan latar belakang KUNCI Cultural Studies Centre menterjemahkan dan menerbitkan “Budaya Bebas”. Buku tersebut diterjemahkan oleh 3 penerjemah amatir termasuk Gita sebagai salah satu hasil proyek penerjemahan “Berbagi Pengetahuan tentang Budaya Media Baru” yang merupakan bagian dari agenda kerja KUNCI tahun 2009-2011 “Konvergensi Media dan Teknologi di Indonesia”, buku ini diterbitkan atas dukungan Ford Foundation. Budaya bebas yang dipaparkan oleh Lessig menjadi pintu untuk membuka wacana copyright/copyleft di Indonesia yang compang-camping mengingat apa yang didefinisikan sebagai “pembajakan adalah kegiatan sehari-hari kebanyakan masyarakat Indonesia, tidak lupa bahwa praktik berbagi (file sharing) sudah menjadi kebiasaan anak muda Indonesia di era Internet.

Dina meneruskan membedah sang buku dengan mengkaitkan pengalaman dan pengamatannya. Mulai dari sejarah budaya bebas (Lessig menulis budaya bebas dengan konteks Amerika Serikat) dimana itu juga ada dalam sejarah Nusantara seperti motif batik, resep makanan dan minuman tradisional, yang dengan ajegnya pengetahuan tersebut digunakan bersama tanpa harus “membayar” atau meminja “ijin”. Lessig–pendiri dari Creative Commons (http://creativecommons.org)–menawarkan pilihan diantara copyright dan public domain, jadi bukan melawan copyright tapi melengkapi: some rights reserved. Antariksa menambahkan dengan menekankan pentingnya mengetahui hak kita sebagai pembuat karya.

“… kami datang dari tradisi “budaya bebas” (free culture) -bukan free dalam pengertian free beer atau bir gratis (meminjam istilah dari perintis gerakan piranti lunak gratis), tapi bebas seperti dalam kebebasan berpendapat, pasar bebas, perdagangan bebas, usaha bebas, kehendak bebas dan pemilihan suara bebas. Budaya bebas mendukung dan melindungi pencipta dan penemu. Budaya ini melakukannya secara langsung dengan mengakui hak milik intelektual.Tapi budaya ini melakukannya dengan cara tidak langsung, dengan cara membatasi jangkauan dari hak-hak tersebut, untuk menjamin bahwa para pencipta dan penemu selanjutnya sebisa mungkin terbebas dari kekangan masa lalu.” -Lawrence Lessig

Hujan gerimis membuat kami berpindah ke dalam perpustakaan, giliran Phleg TerbujurKaku (http://www.myspace.com/bedebahsampaimati) sharing mengenai pengalamannya sebagai musisi elektronik yang kerap melakukan aktivitas membangun pengetahuan baru diatas pengetahuan yang sudah ada–budaya bebas–dengan mengambil potongan lagu dangdut-koplo lalu menggosokkan dengan irama breakcore dan drum n’ bass lalu menjadi suatu komposisi yang ajaib. Meskipun Phleg kerap takut dituntut secara hukum karena komposisinya tersebar bebas gratis diunduh di Internet, dia tetap berkarya dengan memberikan lisensi non-commercial atas karyanya. Salah satu proyek KUNCI yang diikuti oleh Terbujurkaku adalah Megamix Militia Vol 1 (http://megamixmilitia.kunci.or.id/).

Kawan-kawan pun dengan semangat sharing mengenai pengalaman dan pendapatnya mengenai praktik bajak-membajak, salah satunya Bayu, dia sempat sakit hati saat content website-nya dibajak habis-habisan oleh kawannya, ke-sakithatian-an bayu diketahui oleh sang kawan, setelah itu sang kawan merubah website-nya menjadi lebih bagus ketimbang website-nya bayu, hehhe sakit hati berubah menjadi rasa hormat.

Buku Budaya Bebas versi elektronik dapat diunduh di  http://kunci.or.id/collections/buku-budaya-bebas-lawrence-lessig/

Foto oleh Erlin Goentoro, ChimpChomp.us

Email | Website | More by »

Seorang musafir gig dan pameran, pengelola klab jalan kaki Manic Street Walkers, penikmat zine, lomographer.

Leave a Reply