Budaya Visual & Perubahan Sosial di Indonesia

Selasa, 29 Mei 2012. Sore itu, kami berkumpul di pelataran belakang ORE Premium Store, di Jl. Untung Suropati no. 83. Di tempat yang sedang dipersiapkan Alek dan Dewi sebagai café ini (gosipnya akan diluncurkan Juli nanti), teman-teman bersantai dan mengagumi tempat nyaman dan perabotan-perabotan vintage ORE sambil menunggu persiapan presentasi.

Sebagai bagian dari program residensinya di Surabaya, dan atas permintaan teman-teman muda seni rupa di Surabaya, Antariksa dari KUNCI Cultural Studies Center berbicara mengenai budaya visual dan kaitannya dengan perubahan sosial di Indonesia. Antariksa juga bekerja di iCAN (Indonesia Contemporary Art Network) yang banyak melakukan penelitian mengenai seni.

Setelah melihat konteks tempat diskusi di ORE, diputuskan bahwa ada baiknya meluaskannya di dalam apa yang disebut sebagai budaya visual. Bagaimana budaya visual dan perubahan sosial terkait? Antariksa memberi contoh dengan menggunakan komik-komik murah yang dia temukan di Ampel, seperti Siksa Neraka, Taman Surga, Pedihnya Siksa Neraka, Kado buat Anakku Komik Teladan: Kisah 25 Nabi dan Rasul.

Halaman Siksa Neraka yang menggambarkan pelilitan tubuh dengan payudara

“Imajinasinya sungguh-sungguh liar—kalau Anda pernah membaca novel-novel fantastic Prancis, atau novel fantastis lainnya, saya kira imajinasinya tidak seliar ini. Komik-komik ini sangat mempengaruhi saya ketika saya kecil. Menciptakan bayangan saya mengenai neraka dan surga yang abstrak menjadi kurang lebih riil karena disesuaikan dengan apa yang kita lihat sehari-hari.” Misalnya, kita lihat ada siksaan dalam wujud setrika raksasa di atas punggung. Kemudian ada juga pesawat. Padahal kita tahu di zaman nabi-nabi belum ada setrika maupun pesawat.

Mengutip verbatim dari Siksa Neraka, dengan gambaran orang yang diikat tangan kakinya, “ada sekelompok wanita yang kedua tangan dan kakinya diikat dengan kedua buah dadanya melilit tubuhnya hingga ke tumit.” Jadi kedua buah dadanya itu membentuk sulur yang mengikat dirinya, sedang di bawahnya terbentang air mendidih menggelegak siap merebus mereka. “Itu adalah siksa bagi tante-tante girang, oom senang, para pelucur dan wanita yang suka menggugurkan kandungannya (aborsi). Di sini alat vital mereka ditusuk dengan besi panas membara.” Digambarkan betul besi panas membara menusuk alat kelamin mereka, meskipun konsepsi mengenai tante senang maupun om girang tidak ada dan tidak pernah ditulis di Quran ataupun di kitab manapun.

Komik ini sebenarnya adalah karya lama yang Antariksa ingat tidak berubah sejak tahun 1970an, kecuali mungkin bahasanya. (Oya, penerbitnya ternyata adalah penerbit Surabaya…) Produk-produk murahan ini—dijual dengan harga Rp. 2500-3000—adalah salah satu contoh mengenai bagaimana gagasan kita mengenai agama, mengenai kebenaran, berkait erat dengan apa yang terjadi di lingkungan sosial kita, dan masuk ke dalam citra visual.

Kaos polos pun bisa ditelusuri perubahan sosialnya :)

Contoh lain bisa dilihat dari misalnya kaos. T-shirt mulai banyak muncul tahun 1950an gara-gara James Dean dengan filmnya Rebel without a Cause, yang kemudian dijiplak oleh orang-orang kelas menengah atas di Indonesia. Saat itu kaos masih banyak yang polos, karena sablon baru masuk ke Indonesia tahun 1972. Beberapa pengajar di ISI dan ITB itu mendapat beasiswa ke Jepang dan di sana mereka belajar teknik grafis mencetak di atas kain, salah satunya sablon. Ini tidak akan terjadi jika Orde Baru tidak membiarkan investor-investor asing menanamkan modal dan membuat banyak mahasiswa Indonesia bisa belajar di luar negeri dengan beasiswa.

Dalam diskusi ini, Antariksa menelusuri perubahan visual dari Perang Diponegoro sebagai momen yang penting, karena setelah lama berkuasa, tiba-tiba Belanda terancam bangkrut karena Perang Diponegoro ini. Tanam Paksa kemudian diterapkan untuk memaksa penanaman beberapa tanaman untuk diekspor. Jika semula persoalan tanah, ekonomi ditangani oleh negara, sejak Tanam Paksa investor asing, swasta masuk. Ini menandai swastanisasi, dan masuknya sistem kapitalisasi.

 

Masuknya Fotografi dan Film

Kemudian, sekitar tahun 1857, fotografi masuk pertama kali ke Indonesia, di Batavia. Bersama fotografi, tentu saja, masuk juga seluruh gagasan kultur berpose di depan kamera. Jika kita melihat foto-foto lama sekitar tahun 1857-1870an, di Indonesia, yang di foto menunjukkan semacam kecanggungan tertentu pada suatu benda baru. Tentu saja kita perlu mengingat bahwa fotografi zaman itu menggunakan peralatan hampir sebesar meja, dengan cahaya yang sangat menyilaukan. Jadi kalau kita lihat foto-fotonya para priyayi Jawa, posenya hampir tidak ada pose tersenyum, tertawa, apalagi pose-pose kita sekarang, tapi pose menghadapi teknologi baru yang menegangkan. Fotografi ini segera mempengaruhi meluasnya budaya media massa. Tahun 1900 muncul gambar bergerak yang disebut gambar idoep.

Sekali lagi ini lebih cepat daripada negara-negara Eropa. Batavia dan Surabaya waktu itu kurang lebih sekosmopolitan New York, karena seluruh teknologi ajaib yang merubah abad gelap, betul-betul terjadi di Surabaya dan Jakarta. Berbarengan dengan itu, setelah kita dipaksa menanam kopi, tebu, dan rempah-rempah tertentu, mulai muncul juga Politik Etis, yang secara resmi disahkan di 1901 oleh Wilhelmina. Timbul kesadaran di sekelompok kecil orang Eropa untuk membalas budi, terutama dengan pendidikan (meskipun hanya meliputi sebagian kecil pribumi, yakni priyayi keturunan dan priyayi profesional).

Bangkitnya kesadaran ini juga membangkitkan hasrat untuk mengontrol, termasuk mengontrol isi gambar idoep dan fotografi. Dari sini, kita bisa melihat bagaimana kepentingan-kepentingan penjajah untuk mempertahankan kekuasaannya berkaitan erat dengan budaya massa. Sebagai contoh, peraturan sensor yang muncul di awal abad 20 mengkategorikan hal-hal yang tidak “tertib” sebagai kelompok “liar”. Ordonansi bioskop 1916, kalau dicermati isinya, selisihnya sedikit sekali dengan Undang-undang Perfilman sekarang. Isinya kurang lebih sama. Hanya ada perubahan sedikit saja. Dunia sudah berubah, tapi cara berpikir kita tidak berubah!

Bioskop muncul pertama kali tahun 1903, menggantikan fungsi dari pusat-pusat kebudayaan harmoni dan societeit. Societeit itu tempat di mana kita mengenal budaya-budaya Eropa seperti cara makan yang benar, cara dansa, dan juga jual beli lukisan. Jadi balai lelang itu awalnya ada di societeit, yang terbatas hanya pada golongan tertentu. Bioskop kemudian menggantikan societeitdengan menghapuskan sekat priyayi dan orang biasa. Jadi, budaya Barat yang semula hanya bisa diakses oleh golongan atas, kini bisa diakses orang biasa. Ini yang menarik. Tiketnya waktu itu tidak murah, tapi kurang lebih sama dengan sekali makan—sama dengan harga sepiring nasi yang cukup baik. Jadi itu tidak murah, tapi cukup terjangkau.

Film pertama yang diputar di Kebon Jahe, adalah perjalanan Ratu Belanda naik kereta kerajaan dari istananya. Bioskop menawarkan akses ke modernitas, ke dunia gemerlap. Banyak pula kegiatan-kegiatan di luar bioskop, karena banyak orang berkerumun di sekitar gedung bioskop, dan ada banyak kasus kriminal—copet, berantem, bunuh-bunuhan, dsb. Sehingga sekitar tahun 1907, mulai dibuat peraturan kelas, kelas I, II, dan kelas III yang juga disebut kelas kambing. Disebut kelas kambing untuk mengejek orang-orang Islam yang berjenggot, dan juga karena mereka ribut (seperti kambing). Kita bisa lihat adanya penggolongan kelas dalam mengakses budaya visual, bahkan dalam peraturan yang baku. Nah, ketika film-film Hollywood mulai masuk ke Indonesia, ada film-film koboi, ciuman, ini kemudian mulai disensor oleh Belanda untuk menjaga citra kulit putih. Selain itu, pada tahun-tahun itu sudah ada kompetisi antara industri-industri film Hollywood dan film-film Eropa.

Pelita, cahja dan modernitas

Kalau kita melihat gambar-gambar iklan zaman itu, kerlip-kerlip dan kilatan cahaya menjadi citra modernitas. Jadi, koran-koran Indonesia zaman itu dipenuhi dengan citra cahaya, terang, dari iklan Philips hingga bedak Purol. Cahaya menjadi lambang modernitas. Dalam novel Marco Kartodikromo, Student Hidjo, citra yang digambarkan seringkali menggunakan kata-kata pelita, cahja, terang. Hiburan berpacaran digambarkan dengan minum limun, menonton bioskop, menonton di alun-alun yang terang. Lantas, ada satu buku pelajaran bahasa Belanda, dengan sampul seorang ibu memakai kebaya kurang lebih seperti Kartini, berjalan menuju puncak pyramid di mana puncak pyramid ada cahayanya. Kurang lebih, pencitraannya seperti itu.

Kekosongan dalam sejarah Seni Rupa Indonesia

Berbeda dengan dunia applied art yang dijabarkan di atas, di seni rupa situasinya tidak begitu berbuah. Raden Saleh yang terlahir 1811 (sesuai dengan penelitian Werner Kraus), ini penting karena dia orang pribumi pertama yang dididik menggambar secara Barat. Ciri seni rupa barat, adalah penggunaan perspektif (meskipun sekarang pendapat ini  juga mulai diperdebatkan). Raden Saleh sempat ke Eropa, belajar di Belanda, Prancis dan Jerman. Raden Saleh saat itu adalah seniman yang sangat kosmopolitan, dan menerima banyak pesanan dari patron-patron seni rupa Barat. Nah, tapi ada periode sejarah yang kosong/gelap (belum kita ketahui) antara kematian Raden Saleh, 1880, hingga lahirnya Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia), 1938. Satu pertanyaan memicu penjelasan lebih panjangan mengenai Raden Saleh sebagai orang Eropa yang lahir di dan berdarah Jawa. Lukisan Perang Diponegoro, yang katanya berada dalam ruang kerja SBY, dan menunjukkan kemarahan Diponegoro, seringkali digunakan untuk menunjukkan nasionalisme Raden Saleh.

Tapi menariknya gagasan ini tidak terungkap pada tindak tanduknya. Raden Saleh menghabiskan hampir seluruh karir profesionalnya di Eropa. Dalam kebudayaan dan gaya hidupnya, dia sudah bukan lagi kelas menengah, tapi sudah kelas raja-raja. Raden Saleh memang berjasa sekali menyusun pengetahuan-pengetahuan mengenai Jawa, tapi ini semuanya dia serahkan kepada lembaga pengetahuan Belanda, sehingga naskah-naskah ini kini tidak lagi kita miliki. Kalau kita baca di bukunya Peter Carey, ada sekian naskah-naskah, senjata-senjata Jawa, yang dia serahkan ke Belanda, agar Raden Saleh bisa mendapatkan beasiswa. Perlu diingat juga, kalaupun Raden Saleh seorang radikal, nasionalisme yang yang dia bayangkan pada zamannya kemungkinan besar adalah nasionalisme Jawa, bukan Hindia. Selain itu, kebiasaan melukis dan menggantung lukisan di tembok, saat itu belum menjadi suatu yang familiar di Hindia. Menariknya, dulu LEKRA memiliki kebijakan membuat poster-poster lukisan pelukis top Indonesia dengan harga murah. Sekarang ini kita mungkin hanya tahu nama-nama pelukis Indonesia, tapi tidak familiar dengan karyanya, karena kurangnya reproduksi dan akses pada lukisan-lukisan Indonesia.

Pada tahun 1900an, muncul Asosiasi Seni dan Pengetahuan Hindia (sekarang menjadi LIPI) yang mendidik seniman pribumi menggambar sketsa untuk menemani pegawai pemerintah ke pelosok daerah. (Salah satu yang dilatih di sini adalah bapak-anak Basoeki Abdoellah.) Terciptanya apa yang kita kenal sebagai Mooi Indie (Hindia yang molek) itu lahir pada periode ini. Karena memang waktu itu, seni lukis lahir dari kebutuhan untuk memotret alam. Ini juga terjadi di film (seperti Loetoeng Kasaroeng), novel-novel awal Balai Pustaka, fotografi yang diawali oleh Kassian Chepas (lahir 1845), fotografer resmi kraton Yogyakarta, dan sebagainya. Jadi, kesenian berawal dari kepentingan “ilmu pengetahuan” kolonial untuk memotret bangsa jajahan dengan mendokumentasikan—menginventarisasi—kekayaan Indonesia. Salah satunya juga untuk pariwisata dan menarik orang luar untuk datang ke Indonesia. Hal ini lah yang kemudian dilawan oleh Sudjojono. Menurutnya, seni gambar Indonesia harus memotret yang kotor, dan menggambar dengan cara Indonesia. Ini juga diterapkan pada mural.

Gelanggang dan LEKRA

Gelanggang muncul sekitar tahun 1950an dengan memegang pedoman bahwa merereka adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia. Mereka tidak mau memperlakukan tradisi sebagai sesuatu yang dilap-lap. Mereka menggambar, menulis novel, membuat film atau foto, tidak lagi peduli apakah itu Indonesia, Barat atau Timur. Karena kesenian menurut mereka tidak bisa disekat-sekat. Tradisi bukan suatu yang suci—mereka percaya kreatifitas melampaui tradisi dan modernitas. Tahun 50 juga berdiri LEKRA, Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang berpegang pada prinsip yang sama dengan Gelanggang, tapi mereka juga berpandangan bahwa seni harus berpihak pada rakyat. Dalam perkembangannya, LEKRA cenderung anti Barat, dan cenderung dekat dengan PKI dan Sukarno karena kemiripan ideologi anti-imperialisme.

Salah satu wujud anti-imperialisme Sukarno adalah dengan pelarangan musik ngak-ngik-ngok. Juga pada waktu itu adalah pelarangan segala sesuatu yang berbau barat. Di Bandung, ada razia rambut gondrong. Beberapa anak muda berambut gondrong dibawa ke tukang cukur. Koes Plus dipenjara. Di beberapa daerah, seperti Madiun dan Solo, beberapa organ-organ pemuda rakyat bahkan membakari bioskop-bioskop yang memutar film-film Barat. Dibentuk pula Panitia Pemboikotan Film-film Imperialis. Meskipun ini tidak menghalangi Sukarno untuk berkunjung ke Hollywood dan bertemu dengan Marilyn Monroe.

Kita membayanghkan hal-hal ini selesai setelah Sukarno jatuh. Tapi tidak begitu kenyataannya. Tahun 1973, ada kasus pembunuhan, dan yang dituduh adalah geng berambut gondrong. Kemudian, ada juga pembunuhan orang-orang bertato oleh Petrus (Penembak Misterius) sebagai operasi preman yang marak di tahun 1980an. Mayat-mayatnya kemudian digeletakkan di tempat umum sebagai shock therapy.  Sekarang ini tato menjadi simbol keren, tapi dulu tidak ada orang berani bertato. Tato dulu identik dengan kriminalitas.

Lagu cengeng

Lagu cengeng pun sempat dilarang, termasuk seluruh simbolisasinya. Gambar-gambar dan poster-poster lagu pop sempat menghilang dari pasaran. Argumennya, adalah karena dalam kondisi patah semangat dan cengeng, sulit untuk mengajak orang bekerja keras. Tapi kalau kita melihat konteks zaman itu, sebenarnya, pada tahun 1970an, Indonesia menjadi negara yang sangat kaya karena minyak. Pada tahun 1988, tiba-tiba krisis, harga minyak turun. Kalau kita lihat lagi lebih jauh, pada zaman-zaman ini, mulai giat dikembangkan program-program UKM untuk menggiatkan ekonomi.

Ini kemudian sedikit banyak mendorong pelarangan lagu-lagu cengeng. Di zaman sekarang, kita melihat hal-hal ini bermunculan lagi. Patung koleksi Sukarno ditutupi karena dianggap tidak mencerminkan nilai Timur. Sebagaimana kita lihat, gagasan kita tentang hubungan baik dan buruk dengan gambar, terus menerus berubah, dan sangat terikat dengan perubahan sosial politik.

Tapi kita juga melihat bagaimana gagasan kita tentang moral, dalam beberapa hal juga tidak berubah. Kita selalu khawatir kalau kita melihat orang telanjang, orang ciuman. Meskipun sudah ribuan tahun kita hidup dengan hal-hal seperti ini. Menurut Antariksa, saat ini kita seperti sedang kembali ke awal 1900an. Setelah Reformasi, kita sempat merasakan euphoria di mana kita boleh melakukan apapun. Tapi 14 tahun setelahnya, kita kembali memasuki era di mana apa-apa mulai dilarang kembali. Mulai banyak muncul ketakutan-ketakutan pada hal-hal baru. Ini adalah periode yang genting, di mana kalau kita tidak hati-hati, ini bisa berdampak pada kita juga. Sekarang kita masih bisa tertawa melihat patung ditutupi di luar kota. Cepat atau lambat, itu bisa terjadi di Surabaya, dalam bentuk lunak maupun keras.

Tantangan di Surabaya

Selain itu, ada juga tantangan dari modal uang, yang mengatur kreatifitas kita. Sebagai contoh, saat ini kita sedang berada di butik ORE. Bagaimana kita bisa membedakan desain yang dibuat di Gubeng Kertajaya dengan desain yang dibuat di New York? Mungkin di Surabaya ancaman kita bukan FPI, tapi uang. Uang bisa membuat desain kaos, film, buku, semuanya menjadi sama. Ini perlu disikapi juga. Menurut Antariksa, salah satu contoh negosiasi yang baik antara seniman dan pihak komersial adalah mural yang dibuat di sepanjang Kalisosok. Mural yang dibuat oleh Obed Bima Wicandra—yang malam itu juga kebetulan hadir—ini menarik sebagai contoh sebagai pekerjaan yang dibiayai perusahaan komersial, tapi tetap mempertahankan kreatifitas dan idealisme dengan menceritakan budaya linting. Tidak vulgar sekedar “dodolan” Sampoerna.

 

Obed Bima, yang turut serta dalam proses pembuatan mural Sampoerna di Kalisosok

Mural, graffiti, memang hadir dalam budaya perlawanan. Tapi kemudian mural dikomodifikasikan, misalnya dengan pembuatan mural yang didanai XL. Yang perlu kita lakukan adalah mencari cara-cara negosiasi yang kreatif, di mana kita bisa menggunakan alat-alat ini untuk mencapai tujuan kita. Jadi kita tidak bisa sepenuhnya menolak kapitalisme dan komodifikasi. Ingat bahwa membuat mural dan graffiti mengkonsumsi juga peralatan-peralatan produksi kapitalisme yang tidak murah, dan tidak ramah lingkungan juga. Sepertinya kita perlu menjadualkan satu sesi presentasi bersama Mas Obed untuk menceritakan proses negosiasinya dalam pembuatan muralnya :).

Terima kasih banyak kepada Antariksa yang telah berbagi banyak sekali pengetahuan dan informasi yang menarik, Alek, Dewi dan kawan-kawan ORE yang menyediakan tempat yang sangat nyaman, Andriew yang telah memoderasi, Tinta yang membantu persiapan presentasi, Obed, Dina dan Gita yang memberi masukan tambahan, dan semua kawan-kawan yang hadir. Senang sekali kita memiliki kesempatan sharingcerita-cerita seperti ini. Semoga berguna, dan mari kita adakan lagi!

Bagi yang tertarik menelusuri informasi-informasi ini lebih lanjut, silakan cek tautan-tautan atau buku-buku di bawah ini:

Foto oleh Erlin Goentoro

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

3 Replies to “Budaya Visual & Perubahan Sosial di Indonesia”

  1. “Batavia dan Surabaya waktu itu kurang lebih sekosmopolitan New York”
    membayangkan dan kemudian sedih…melihat negara ini sekarang… saluuut…

Leave a Reply