Yogyakarta

Tanggal 1-4 Juni yang lalu, setelah 1 bulan yang padat kegiatan, kami para cecunguk C2O—Erlin, Tinta, Andre, Ari, dan saya—pergi ke Yogyakarta untuk presentasi Design It Yourself di KUNCI Cultural Studies Center sekaligus berlibur. Berikut adalah catatan harian kami.

Jumat 1 Juni 2012

Tiba di KUNCI

Nah, ini yang menyambut kami pertama kali. Moh. Kassian Chepas, nama lengkapnya.

Kami berangkat dengan kereta, tiba di Yogya pk. 12.00, kemudian mengambil TransJogja untuk langsung ke KUNCI di Jl Langenarjan Lor no. 14B. Kami akhirnya bertemu dengan Chepas yang sebelumnya hanya kami kenal lewat foto-fotonya saja. Chepas adalah anjing separuh dalmatian di KUNCI yang super malas dan mengingatkan kami pada Charlie. Kata Antariksa (atau Dina?), usianya sudah 2.5 tahun. Ibu Chepas adalah Nuning, dan sekarang Dina karena Nuning sedang melanjutkan studi S3-nya (mengenai musik di Asia Tenggara, kalau tidak salah) di Belanda. Chepas sebenarnya sudah punya anak, Djojo (dari Sudjojono), tapi  hilang entah ke mana saking bandelnya…

Acong—pustakawan KUNCI, setelah Yuli?—menunjukkan kami kamar yang nyaman yang akan ditinggali kami berlima. Cuaca yang lebih adem, dan pace kota yang lebih lambat (selo, slow) membantu meningkatkan mood kami. Berasa seperti tempat retret saking nyamannya. Terima kasih KUNCI!

Indonesian Visual Art Archive (IVAA)

Dari KUNCI kami pergi ke IVAA, jalan kaki kira-kira 10 menit. IVAA kini berubah menjadi gedung arsip 2 lantai, yang tampak “profesional”, jauh lebih profesional daripada terakhir saya berkunjung di Patehan Tengah. Arsitekturnya didesain oleh Yoshi, menggunakan beberapa kayu bekas untuk lantai 2, dan terasa nyaman dan ramah lingkungan. (Katanya, kayunya menggunakan sisa pentas Papermoon.)

Kami ditunjukkan ruang arsip di lantai atas dengan AC yang menyala 24 jam untuk menjaga suhu arsip di dalamnya. Di ruangan ini ada banyak storage boxes yang menyimpan buku-buku terbitan IVAA, data-data seniman (dalam folder kardus custom buatan sendiri), dan poster-poster pameran dari zaman baheula—masih dibuat dengan sablon—disimpan di dalam brankas. Tidak heran Antariksa bilang IVAA sangat profesional dalam hal pengarsipan. Mungkin Perpustakaan HB Jassin dan aksi Koin Sastra perlu dipindah ke Jogja, hehehe…

Kami bertemu dengan Farah, Melissa, dan juga melihat Vero Kusuma yang sedang membaca-baca di sana. Yoshi kebetulan sedang tidak masuk. Kami mendapatkan seri katalog data IVAA yang keempat, Interkultural.

Dari IVAA kami makan lotek (yang terlalu manis, dengan es teh yang juga terasa sangat manis). Kami berencana mencari percetakan, tapi tiba di Buana printer yang direkomendasikan Dina, ternyata mereka tidak menyediakan kertas menye book paper yang kami cari. Malas jauh-jauh ke Kanisius di utara, akhirnya kami hanya menelpon percetakan Kanisius saja untuk mendapatkan perkiraan harga. Ternyata Rp. 850 untuk A3 bolak balik, jadi sebenarnya tidak begitu beda jauh harganya….

Lanjut ke Kota Gede, untuk bertemu dengan teman Tinta, Koko (Widyatmoko), pemilik kedai Bubu, yang juga aktif menulis di berbagai media.

Balai Arkeologi Yogyakarta

Jl. Gedongkuning 174 Yogyakarta 55171
Telp/fax: 0274-377913
email: admin@arkeologijawa.com
web: www.arkeologijawa.com

 Sambil menunggu Koko, kami singgah dulu di Balai Arkeologi Yogyakarta. Sebenarnya mereka sudah tutup dari jam 4, tapi dengan ramah mereka menyilakan kami masuk. Ini salah satu Balai Arkeologi yang dikelola dengan cukup baik—ada dua pegawai yang ramah menyilakan kami masuk dan memberi banyak informasi mengenai balai. Kami ditunjukkan beberapa contoh penelitian mereka, yang sebenarnya banyak dilakukan di Jawa Timur. Sayang sekali memang Unair tidak memiliki jurusan arkeologi… (Malah Brawijaya yang sedang membuat jurusannya. Sepertinya UniBraw memang sedang gencar membangun.) Di akhir kunjungan singkat Pak Hadi (kalau tidak salah demikian namanya) menyilakan kami untuk datang lagi, Balai bersedia menyediakan mess jika diperlukan.

Kotagede

Kami kemudian bertemu Koko, yang membawa kami berkeliling memutari daerah Kotagede. Melewati jalan yang isinya hanya penjual perak saja. Kemudian pasar yang menjual berbagai makanan. Di salah satu lokasi Koko bercerita mengenai kasus pembunuhan (penusukan) yang menyebabkan korbannya tewas dengan usus semburat dan (katanya) membuat festival Kotagede tidak lagi dilakukan semenjak 2008.

Memasuki Kampung Kotagede, banyak jalan-jalan kecil yang hanya bisa dilewati dengan naik sepeda atau berjalan kaki—berjalan di dalamnya ada kalanya kami merasa seperti berada dalam labirin. Ada salah satu kompleks besar yang cantik tapi saat ini hanya digunakan sebagai gudang penyimpanan JNE. Pertamanya saya merasa sedikit aneh di sini, karena kampungnya sepi pi! Bandingkan dengan kampung di Surabaya yang selalu ada saja orang sliwar-sliwer dan ehm, berbicara dengan suara keras. Ada jam belajarnya pula, yang dituruti oleh semua warganya. Kami melewati kompleks-kompleks yang sepi karena warga sedang belajar atau mengaji di rumah dengan tenang. Ada banyak ruang-ruang “publik” yang bisa dimanfaatkan, dalam bentuk teras-teras kosong, ruang bersama, tapi karena pencahayaan kurang (dan rutinitas yang lebih di dalam rumah mungkin ya?), ruang-ruang itu, setidaknya saat kami berada di sana, tidak digunakan. Mungkin kami harus datang di siang hari.

Arsitektur kompleks ini menarik—pintunya mungil-mungil. Cocok untuk para anggota Yayasan Liliput Indonesia. Saya sempat kecele menyangka mereka lebih suka mengoptimalkan bahan asli bangunannya (memamerkan bata, misalnya). Tapi kata Koko ini hanya measure sementara saja sambil menunggu cukup uang untuk pembangunan lebih lanjut (setelah terkena gempa).

Sejauh ini, beberapa hal yang saya rasakan berbeda dengan kampung Surabaya:

  • banyak majalah-majalah dinding / papan pengumuman warga yang ditempeli berbagai koran atau pengumuman untuk dibaca bersama. Praktik membaca papan pengumuman ini masih sangat umum di kampung-kampung Yogya, dibandingkan dengan di Surabaya yang sudah jarang ditemui semenjak akhir 1980an…
  • lebih bersih dan tidak bau dibandingkan kampung Surabaya—kemungkinan besar karena air selokan di sini mengalir, tidak tersumbat
  • tempat berteduh menggunakan tanaman merambat—efektif sekaligus cantik ngadem. Kata Antariksa, ini adalah salah satu inisiatif walikota yang kemudian banyak ditiru oleh warganya untuk apapun.
  • banyak tanah kosong — populasi tidak sepadat di Surabaya. Memang kalau kita membaca-baca buku perkotaan (misalnya seri kota yang pernah diterbitkan Ombak, seperti Dua Kota Tiga ZamanKota Lama Kota Baru), permasalahan tanah adalah permasalahan yang paling utama di Surabaya. Seingat saya, buku Kota Lama Kota Baru itu bilang fenomena orang-orang sampai tinggal di kuburan itu jarang ditemukan di kota lain kecuali di Surabaya, saking padatnya populasi. Katanya lho.

Herannya, padahal Surabaya ada banyak program taman, Green & Clean, tapi kok ya hijaunya tidak terlalu terasa ya? Tanaman-tanaman yang ditanam di taman kota juga kebanyakan tanaman hias (yang tidak terlalu rindang dan tidak terlalu mengolah CO2). Sementara selokan-selokan juga tetap terblok. Yah saya bukan ahli tata kota sih… Memang iklim itu tidak terbeli. Kami berhenti sebentar di Bubu (dari “susu”), kedai yang diolah Koko, untuk minum dan istirahat. Teman-teman membeli susu murni. Rasanya enak! Sayang kedai masih sepi karena selain baru berdiri, tidak banyak anak muda yang tinggal di daerah Kotagede.

PS: Satu lagi perbedaan yang sangat terasa: jadi malu sendiri—kami kalau ngobrol rasanya paling keras/ramai sendiri di jalan ataupun di warung. Dasar barbar :p

Kedai Kebun Forum

Kemudian kami lanjut ke KKF untuk menemui Antariksa yang masih FGD di dalam. Sambil menunggu kami bertemu dengan Mulyana, putra dari guru merajut Deasy di Tobucil. Mulyana sedang mempersiapkan pameran di KKF, yakni pameran boneka rajut berbentuk gurita THE MOGUS. Mulyana memberi C2O buku seninya, terima kasih!

Setelah FGD di KKF selesai, dengan tanpa sungkan teman-teman menghabiskan sisa-sisa makanan, sekaligus mengepak 3 kotak untuk Alfan yang terkunci tidak bisa masuk ke… KUNCI.  Kami bertemu Anang di sana, dan Anang menceritakan bagaimana dia baru saja selesai mengadakan workshop membuat buku, mulai dari proses layouting hingga produksi. Tema workshop yang menarik untuk dilakukan di Surabaya.

Alun-alun Selatan

Kami kembali ke KUNCI, membukakan pintu untuk Alfan, lalu lanjut berkeliling alun-alun Selatan, tempat SPACE/SCAPE dulu dilakukan. Tempatnya memang luas sekali dan ramai kegiatan. Fenomena yang menonjol adalah orang-orang yang berusaha melewati pohon beringin kembar dengan mata tertutup. Konon, jika kamu berhasil melewati beringin kembar itu, keinginanmu akan terkabul. (Apa ya, cuaca mendingin di Surabaya?) Ada banyak odong-odong memutari alun-alun. Odong-odong sebanyak ini semuanya hanya beroperasi di daerah Alun-alun Selatan. Where the elephants used to roam (well, not exactly), odong-odong squeals in tinsels… Kami kemudian menaiki jembatan benteng, melihat dari atas. Mulai dari orang pacaran hingga peti mati ada di sana. Ahay.

Kembali ke KUNCI, mendengarkan Wok memainkan hasil rekaman PUNKASILA bertema bencana yang direkam hanya dalam 7 jam. Saya sangat menantikan tanggal rilisnya…

Sabtu 2 Juni 2012

Greenmap

Jam 7 pagi, Tinta, Erlin, Ari, kat, berjalan kaki ke kawasan Nol Kilometer untuk berpartisipasi dalam Greenmap. Andriew tinggal di KUNCI untuk mengerjakan presentasi. Sambil menunggu kawan-kawan Greenmap, kami minum teh hangat, kemudian berkeliling di kompleks Kauman yang juga dikembangkan sebagai wisata reliji.  Warga di sini sangat ramah, mau diajak berbicara dan selalu—entah terpaksa atau tidak—menyambut pertanyaan-pertanyaan kami yang grudukan.

Satu hal yang terasa, Kampung Kauman ini bersih dan bangga atas identitas mereka. Mereka berulang kali menekankan identitas mereka, dan tercantum dalam lampion-lampion penghias. Berbeda dengan Ampel, Kauman ditinggali oleh ulama dan santri keraton. Jadi teringat paparan-paparan di buku sejarah bahwa Surakarta dan Yogyakarta mempunyai basis kelas menengah pribumi yang kuat dengan basis industri batik…

Kami perlu sedikit lebih memperhatikan flora fauna yang ada karena begitulah tugas Tinta di Greenmap, hehehe. Sedikit catatan:

  1. Ada semanggi di sepanjang jalan yang tumbuh dengan subur. Di Surabaya yang terkenal dengan makanan semanggi saja semanggi makin jarang dijumpai…
  2. Ada tanaman merambat yang menghasilkan biji seperti kapri.
  3. Banyak ayam kate, lucu-lucu! Katanya asalnya dari Jepang.
  4. Di sini jarang kami jumpai anjing, berbeda dengan di Kalicode. (Ya iya lah…)
  5. Ada kelompok bela diri yang aktif

Pada jam kami berkeliling, ada banyak penjaja pasar. Jajanan pasar yang berhasil membuat Tinta luluh dan makan banyak. Tinta, Ari, Erlin mencoba setup jambu (Rp. 500), jenang gempol (Rp. 1000), dan susu kedelai (Rp. 500).

Kami kemudian lanjut ke Taman Sari, makan pagi/siang sebentar Kupat Tahu yang (lagi-lagi) sangat manis. Lanjut keliling sekitar Taman Sari, kemudian kembali ke KUNCI untuk menyusun presentasi bersama Ari dan Andriew. Tinta dan Erlin lanjut jalan-jalan ke Papermoon dan melihat tetangga kami latihan memanah.

Presentasi DIY

Jam 17.00, kami presentasi mengenai Design It Yourself. Dina menjadi MC, Ari moderator, Andriew membuka presentasi untuk memback-up saya yang mudah gugup ini, baru saya melanjutkan. Andriew menjelaskan mengenai latar belakang DIY, kenapa DIY perlu dilakukan di Surabaya. Sementara saya membahas temuan-temuan yang kami dapatkan. Beberapa catatan:

  • Presentasi mungkin terlalu panjang/bertele-tele, orang kehilangan alur dan/atau jenuh. Terlalu banyak yang dibahas sehingga orang bingung apa fokusnya
  • Seharusnya kami lebih mengalokasikan waktu untuk sesi tanya jawab karena ini dimaksudkan untuk mendapatkan feedback
  • Anang bersedia residensi di Surabaya saat DIY
  • tidak apa kalaupun orang yang datang hanya sedikit
  • Mode konsumsi dengan termos hangat dan teh + mug plus snack2 ringan sepertinya bisa digunakan di c2o.
  • Mungkin kami sering terlalu brutal di Surabaya, mengadakan acara jam 18.00 – 21.00, bahkan 23.00, tanpa menyediakan konsumsi. Yah, memang, waktu orang-orang Surabaya masih mengikuti pola kantor 9 to 5, jadi tidak bisa datang sebelum maghrib. Tapi kasihan juga untuk yang tua-tua. Perlu dipertimbangkan penyediaan konsumsi yang mengenyangkan tapi sederhana.

Saya mendapat masukan yang menurut saya berharga: slow down. Coba lebih fokus pada sedikit hal tapi lebih mendalam. Dina mengatakan sedikit kaget dengan pace kami yang buru-buru di Surabaya. Saya kira mode kami yang menyelenggarakan rangkaian acara tematis tiap bulan itu juga menghabiskan energi kami sebagai sekedar EO dan membuat kami tidak sempat melakukan kegiatan lainnya. Dari segi promosi acara pun kurang baik, karena saya melihat pengunjung pun mulai memasuki titik jenuh. Hingga ada beberapa acara menarik yang pengunjung memilih lewatkan karena saking sering dan padatnya kami membuat kegiatan. Yah, kami perlu mengevaluasi ulang agenda C2O.

Indra, Pundi, Muklas, Pak Yus kemudian datang bergabung setelah presentasi kami selesai. Wah, sudah lama tidak bertemu. Saya membawakan Muklas buku Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa: Etnografi Orang Rimba di Jambi yang ditulis oleh senior Muklas, Adi Prasetijo, di bawah pengawasan almarhum Parsudi Suparlan. Kami bergabung dengan kawan-kawan KUNCI di KKF untuk makan malam. Grilled tempe yang seperti burger sepertinya cukup menarik. Harga di KKF ini memang harga expat di Yogyakarta, tapi normal untuk kafe di Surabaya. Biaya hidup, harga sewa tanah, harga makan, tampaknya memang jauh lebih murah di Yogyakarta…

LITERATI

http://perpustakaanliterati.wordpress.com/
http://www.facebook.com/perpusliterati
Perum Bima Kencana No 2, Condongcatur, Yogyakarta, Indonesia 55281

Indra kemudian menawari saya pergi ke LITERATI, tempat dia biasa nongkrong rupanya. Teman lainnya memilih istirahat di KUNCI. LITERATI ini ada di utara, dekat UGM. Saya dibonceng Rangga dari zine Papernoise ke sana. Indra dengan Pak Yus. LITERATI ini cukup nyaman, terletak di lokasi perumahan yang cukup baru, dan menempati rumah dosen yang tidak lagi ditempati. Di sini ada banyak buku-buku film dan koleksi film warisan Elida KINOKI, buku-buku akademik, dan sastra Inggris. LITERATI sendiri dikelola oleh Damar, Anan, Windu, jebolan-jebolan FISIP.

Sama seperti C2O dulu, mereka menghadapi permasalahan yang umum dihadapi: sedikit orang yang datang. Koleksi filmnya memang specialised, tapi mereka juga beberapa kali memutar film “unyu-unyu”. Kata mereka, salah satu pemutaran dengan pengunjung terbanyak mereka adalah Norwegian Wood, yang mendatangkan 50 orang. Hehe, jadi kami tidak usah terlalu gelisah sebenarnya kalau tidak banyak yang datang ya…?  Usia LITERATI baru 1 tahun, tapi memang selalu aktif membuat acara.

Saya kembali ke KUNCI jam 1 pagi, kemudian lanjut mengerjakan pekerjaan yang tertinggal sedikit, meski tidak terlalu berhasil juga (haha). Tidak bisa tidur. Ada begitu banyak hal di Yogyakarta. Saya merasa cupu. Tapi juga semangat. Saya kira c2o perlu menentukan arahnya lebih lanjut dengan lebih fokus.

Minggu 3 Juni 2012

Kali Code

Antariksa mengajak kami berjalan-jalan menelusuri Kali Code. Melewati kampung Juminahan di mana dia dulu Antariksa aka Mas Jenggot bekerja. Kami melewati jalan yang cukup panjang sebelum sampai ke tempatnya, dan salah satunya melewati Gondomanan. Rumah-rumah tertata bersih menghadap ke kali, dan ada jalur-jalur evakuasi dan peta rute evakuasi pula yang tertempel rapi di berbagai tempat. Sangat terawat. Tepi kali ditinggikan dengan semen, sekaligus memberi tempat untuk duduk-duduk.

Kami dibawa ke rusunawa dan bertemu dengan Pak Pathel yang mengelola sanggar. Rusunawa dibuat untuk warga yang tergusur (dengan harga sewa Rp. 5000 per bulan) sementara lantai atas bisa ditempati pendatang dengan harga 150.000 per bulan. Kami ngobrol sebentar dengan Pak Pathel, yang bercerita ada beberapa kegiatan sanggar yang terhenti karena sanggar pindah. Salah satunya adalah tarian karena pengajarnya (yang juga masih SMP) sekarang sedang sekolah.

Kami lanjut berjalan, masih menelusuri Kalicode (dan kebetulan menemukan lagi Taman Baca). Sepanjang kali tampak ada mural-mural di dindingnya, hasil dari lomba mural 17an. Kami melanjutkan berjalan sepanjang Kalicode menuju daerah yang dulu dibuat Romo Mangun, kompleks di pinggir kali yang dindingnya dibuat dari bambu dengan cat warna yang ramai dan cantik. Ini dilakukan untuk meyakinkan warga dan mengubah persepsi bahwa rumah dinding bambu adalah rumah yang tidak layak. Kami melewati acara slamatan yang sedang dilakukan warga, mendapat usus ayam, dan menemukan perpustakaan yang dibuat oleh Rotary Club (sayangnya masih terkunci saat kami datang). Dari sini kami kemudian berkunjung ke salah satu gereja yang didesain oleh Romo Mangun. Menarik bagaimana palang-palangnya bisa dicopot pasang—jadi membantu rumah untuk tetap kuat menghadapi iklim tropis. Kata Antariksa, Romo Mangun menekankan pemahaman bahan pada murid-murid didikannya; bukan sekedar pada tatanan konsep.

Di sepanjang kali kami melihat warga sedang membersihkan tanggul. Di Kalicode ada kegiatan-kegiatan rutin seperti ini yang berhubungan dengan sungai. (Sepanjang sungai juga ada mural yang biasanya dibuat kala tujuh belasan.) Sewaktu workshop 2 minggu lalu di Surabaya, kami tidak menemukanritual-ritual yang berhubungan dengan air di Strenkali meski masyarakat tinggal di pinggir sungai. Sepertinya, konsep masuk dalam air tidak terlalu banyak dilakukan di Surabaya, mungkin saking terpolusinya? Entahlah.

Nasi Jinggo—satu-satunya makanan yang tidak manis

Kami makan siang depot Nasi Jinggo—dan mendapatkan makanan yang sesuai dengan lidah pedas asin Jawa Timur kami. Plecing kangkung, kulit ayam, urap-urap. Enak, asin dan pedas. Hehe, sepertinya memang kalau budaya makan-makan lebih terbangun di Surabaya dan Jawa Timur. Entah kami harus bangga atau malu…

Selesai makan kami kembali ke KUNCI. Erlin, Ari dan Deasy kembali ke Surabaya dengan bis. Saya dan Tinta bergabung dengan rapat Indonesia Netaudio Festival, yang akan dilangsungkan 16-17 November 2012 di Surabaya, tepatnya di c2o dan ORE. Notulennya bisa dibaca di group Indonesian Netlabel Union.

Selesai meeting, Antariksa mengajak kami menonton film-film hasil karya mahasiswa-mahasiswa ISI di iCAN.  Di tengah-tengah film kami menyelipkan diri ke kantor iCAN di mana Antariksa bekerja. Tinta kecapean dan akhirnya tertidur di sofa. Saya mengulik-ngulik koleksi buku di iCAN, dan menemukan katalog pameran arsip sejarah yang menarik, 30 Tahun Gerakan Anak di Indonesia, yang dipamerkan tahun 2010. Bodohnya saya kok bisa melewatkan acara ini!

Katalognya memang tidak terlalu didesain dengan baik, tapi saya sangat tertarik membaca tulisan-tulisan dan isi pamerannya. Di dalamnya, ada beberapa panduan-panduan yang dibuat dengan sederhana tapi mengena. Misalnya, panduan membuat Taman Baca, yang sederhana tapi bisa dilakukan oleh anak-anak. Tidak ribet, dan melibatkan anak-anak itu juga. Kata Antariksa memang LSM-LSM tahun 70an luar biasa dalam mendesain panduan-panduan tersebut.

Dalam katalog itu disebutkan juga sejarah aktivitas mahasiswa yang kemudian membuat kami bertanya-tanya pada Antariksa mengenai pers mahasiswa sekitar reformasi. Antariksa bercerita mengenai bagaimana dulu untuk pembuatan Bulak Sumur di zamannya, mereka menggunakan komputer Packard Bell hibahan, melayout & cross check dengan Corel Ventura, dsb. Di zaman itu, liputan mahasiswa bisa aktif berjejaring hingga ke luar kota. Tampaknya pers mahasiswa di zaman itu memang sedang gila-gilanya. Bahkan ketika 98, ada koran mahasiswa, Gugat, yang terbit sehari sekali.

Bulak Sumur kemudian memenangkan penghargaan ISAI, dan diundang untuk ikut workshop menulis bersama Pantau yang dilakukan oleh Andreas Harsono (sebelum istilah jurnalisme sastrawi berkembang). Dari sini Antariksa menjadi penulis lepas Pantau. Antariksa kemudian juga ditawari untuk menjadi associate editor Latitudes, majalah tentang Indonesia berbahasa Inggris yang diprakarsai oleh Degung Santikarma dan Leslie Dwyer.

Latitudes didirikan untuk menunjukkan Indonesia yang konyol, tidak turistik. Jadi, artikel di dalam majalah ini mengangkat hal-hal kecil yang bisa ditemukan di Indonesia. Artikel-artikelnya mengangkat hacker, hotel sapi (hotel tempat istirahat sapi-sapi di perbatasan untuk memastikan mereka tidak tegang dan dagingnya tetap empuk), dan sebagainya. Latitudes bertahan 5 tahun kalau tidak salah, cukup lama. Sekarang ada latitudes.nu, lebih tentang Asia Tenggara.

Kami pamit dari iCAN sekitar jam 1 malam, setelah menyita banyak waktu Antariksa yang masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya. Di KUNCI, saya mencari-cari dan membacai majalah Bulak Sumur. Wah, memang keren-keren isinya—bisa membahas peredaran narkoba di kampus, perputaran antar jemput, dsb.. Tapi semuanya ditulis dengan perspektif yang investigatif, mendalam, dan tidak menghakimi. Bulak Sumur pun beberapa kali dipersulit penerbitannya. Saya melihat perputaran dewan redaksi, membacai kata pengantar di mana mereka bercerita mengenai kekacauan computer yang terkena bad sector… Dan tentu saja, kolom yang mengeluhkan betapa berbedanya pers mahasiswa sekarang dengan sebelum 90an, hahaha! Sepertinya memang dari generasi ke generasi kita selalu membayangkan keberadaan generasi yang lebih baik.

Sayang sekali koran-koran seperti ini tidak ada lagi di kampus-kampus (setidaknya tidak ada di Surabaya), dan cerita-cerita seperti ini tidak terwariskan. Yah, memang beda tempat maupun zaman. Tapi ada banyak yang bisa dipelajari dari bendel ini. Di KUNCI, ada banyak bendel majalah…. Dulu saya pernah melakukannya tapi sempat lama terbengkalai. Ada baiknya saya mulai melakukannya lagi.

Senin 4 Juni 2012

Bangun jam 8, kembali ke pekerjaan sehari-hari: web design dan menyelesaikan editing jurnal kampus yang akhirnya disetujui permohonan ISSNnya (har, milestone).  Sore Andre dan Tinta pergi dengan Anang untuk melihat-lihat studio Anang. Saya keburu berjanji dengan Antariksa di KUNCI untuk mendapatkan file-file sejarah komunitas, sementara Antariksa baru bisa datang sore dari UGM. Sorenya kawan-kawan KUNCI datang, mempersiapkan diri untuk pertemuan mereka dengan warga di Ledok Timoho sebagai bagian dari projek Bon Suwung. Pk. 18.00 kami—Andre, Tinta, saya—berangkat bersama Anang dan Pitra.

Ledok Timoho sendiri adalah kampung yang cukup baru (baru mulai ditempati sejak 3-4 tahun yang lalu). Pertama-tama ada yang membangun rumah di sana, kemudian orang2 lain turut menyusul, terutama warga-warga yang tergusur karena perluasan UNY. Tapi, meskipun cukup baru, kampung ini cukup tertata dengan baik. Dinding-dindingnya pun sudah menggunakan bambu a la Kalicode—berbeda dengan di Surabaya yang menggunakan tripleks (dan jauh lebih panas—meskipun tentu saja pengamatan kami dibatasi cahaya dan angin malam).

Acara perkenalan dibuka oleh Mas Beng-Beng. Sebelumnya, KUNCI sudah pernah berkunjung ke kampung ini, hanya saja kali ini kunjungan dilakukan dengan skala yang lebih besar (dan direcokin kami dari Surabaya, hehehe…). Dina memperkenalkan diri—apa itu KUNCI, dan apa maksud kedatangannya, dan menunjukkan beberapa slide mengenai apa yang telah mereka lakukan di Kali Code. Kawan-kawan partisipan Bon Suwung kemudian memperkenalkan diri, menguraikan apa yang mereka tertarik lakukan di sini. Ada yang ingin membuat foto warga, video, membuat pelatihan anak (teater) dan sebagainya. Teman-teman memastikan bahwa warga tidak keberatan dan mau dikunjungi sewaktu-waktu, dan mengatur waktu yang nyaman untuk warga kalau mereka mau sekali-sekali berkunjung. Ditemani dengan kue-kue basah, perkenalan kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan warga. Rekaman audionya bisa diunduh di sini.

Acara berlangsung dari pk. 19.00 hingga 21.30—kira-kira 2-3 jam. Teman-teman kemudian berberes, sementara tim Surabaya ikut dengan Anang dan Pitra pergi ke Giwangan untuk pulang ke Surabaya dengan bus Mira. Dengan Mira dari Surabaya kira-kira memerlukan waktu 8 jam. Kami tiba di Surabaya pk. 06.00. Saya dan Andre mengambil bis ke Perak, Tinta lanjut ke Sidoarjo.

Banyak terima kasih terutama untuk kawan-kawan KUNCI: Mas Jenggot aka Antariksa, Dina, Acong, Gita, Wok, Chepas si anjing rebel tukang tidur :D. Anang dan Pitra. IVAA: Farah, Melissa, Yoshi. Pundi, Indra, Muklas, Pak Yus, Rangga Papernoise. Sandy, kawan-kawan iCAN, KKF, dan semua kawan-kawan di Yogyakarta…

Silakan baca reportase seru lainnya oleh Anitha Silvia!
Foto oleh Erlin Goentoro. Lengkapnya bisa dilihat di Facebook.

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply