Reportase: Etnografi & Dunia Virtual

Public talk with Prof. Tom Boellstorff, 2013
Public talk with Prof. Tom Boellstorff, 2013

Rabu, 26 September 2012, pk. 18.00. C2O Library & Collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya 60264.

Bersama: Tom Boellstorff

  • Profesor Antropologi, University of California, Irvine
  • Editor-in-Chief, American Anthropologist, 2007-2012
  • Faculty Participant, Intel Science & Technology for Social Computing

Yap! Entah kenapa judul acara kali ini teramat sangat sayang untuk dilewatkan dan hasrat keingintahuan pun membawaku kesana. Terlebih lagi yang menjadi pembicara dalam diskusi ini adalah seorang Antropolog kawakan dari Amerika, Prof Tom Boellstorff. Kalau yangmbaurekso dateng, bisa hampir dipastikan bakal banyak kejutan dan ilmu yang didapat. Diskusi kali ini mengenai Etnografi –well, lebih khusus how to conduct an etnography research in Internet and what’s the results.

Seperti yang uda kita tau, etnografi itu adalah salah satu metode untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan kebudayaan seseorang, kelompok, dsb. Etnografi merupakan metode yang kerap digunakan oleh para antropolog. Tapi, kita sebagai orang komunikasi juga bisa kok meneliti dengan menggunakan metode etnografi. Buktinya, ada metode etnografi audiens. Seperti apa metodenya? Silakan baca buku-buku etnografi ya sebab tulisan ini tidak akan menjelaskan panjang lebar apa dan bagaimana melakukan penelitian etnografi. Tapi yang jelas, hasil akhir dari penelitian dengan menggunakan metode ini akan memberikan sebuah thick description mengenai budaya dari sebuah individu, komunitas,indigenous people, kelompok, dan sebagainya.

 

Prof. Tom Boellstorff memulai penelitian etnografi dalam dunia virtual ‘melalui’ game Second Life. Second life adalah game RPG-single player yang hampir mirip dengan The Sims. Kita dapat menjadi siapa pun yang kita mau dalam game ini. Kita bisa mengubah identitas nyata kita menjadi superman, ratu kodok, ras kulit hitam, atau mengubah jenis kelamin. Kita bisa memulai hidup baru kita melalui game ini. Asik bukan? Tunggu, ada yang lebih asik! Kalau kita memiliki uang banyak dalam game ini, uang ‘virtual’ yang kita dapatkan bisa ditukarkan dengan real dollar! Itu lah salah dua faktor yang membuat orang semakin banyak memainkan permainan ini.

Second Life bisa kusebut sebagai dunia yang menawarkan kesempatan kedua bagi siapa saja yang ingin memperbaiki hidupnya atau bahkan, ingin merusak hidup. Second Life ada karena jaringan nirkabel tercanggih masa kini: internet. Second Life berada dalam dunia yang tidak asing lagi, yaitu dunia virtual. Second Life ada dalam dimensi lain. Dimensi yang memiliki waktu dan wilayah tak terbatas, dunia yang tak akan pernah mati walau kita tertidur (kecuali jarangan Internet dunia rusak dan hancur into pieces).

Tom Boellstorff menjelaskan bahwa orang yang bermain second life, dapat benar-benar berubah menjadi orang yang ia inginkan atau tidak. Berdasarkan hasil wawancara dan FGD dengan beberapa pemain, Tom menemukan beberapa alasan yang bisa dikatakan tidak biasa. Contohnya, ada seseorang janda yang memainkan second life hanya untuk menjadi sosok suaminya yang telah meninggal. Dalam game itu, dia bertingkah laku layaknya suaminya. Ada pula yang memainkan second life untuk mendapat jodoh dan yah, pemainsecond life tersebut akhirnya menikah di dunia virtual dan nyata. Ada juga yang ingin menyalurkan hasrat identitasnya melalui second life –seorang pria yang menginginkan dirinya menjadi seorang perempuan. Dia ‘berlatih’, dia menjadikan identitasnya 180o berbeda saat ia memasuki dunia virtual, second life.

Tom dapat mengambil salah satu benang merah dari apa yang ia temukan: mayoritas pemain second life, yang menjadi informan, memandang game ini sebagai dunia virtual yang benar-benar dapat mengalihkan segala frustasi yang ia dapatkan di dunia. Pemainsecond life cenderung menggunakan game ini sebagai pelarian. Apakah itu sesuatu yang buruk? *Kuharap teman-teman tidak menganggap hal itu sebagai sebuah absurditas atau kebodohan atau kemalasan. Justru itu lah yang harus kita observasi. If people find that life in ‘the other’ world is interesting and convenient, why should they live in the “real” one? Logically, there must be something wrong with the world we live in physically. Then, that’s what I call reality, dear!

Oke, kembali ke second life, etnografi, dan tentu saja dunia virtual..

Dunia virtual awalnya diperkenalkan melalui game. Game-game sederhana seperti Habitat (1985) atau game-game nitendo semacam mario bross. Lambat laun, perkembangan teknologi, terutama internet pun menggila. Melalui game-game seperti Dota War Craft, Final Fantasy, Ragnarok Online, Second Life, hingga Farm Frenzy, dunia virtual pun semakin ‘nyata’ adanya. Menurut Tom, virtual berarti dunia yang tetap ada walau koneksi ke dunia itu mati. Contohnya game Second Life ini. Saat kita goes online, otomatis kita masuk ke dalam dunia virtual second life. Kita pun bahkan bisa memasuki ruang-ruang milik pemain lain yang sedang offline. Hal yang sama terjadi saat kita stay offline disaat orang-orang lainonline dan berinteraksi dengan avatar kita dalam second life.

Karena menggunakan metode etnografi, Tom pun mengharuskan dirinya untuk turut memainkan game ini. Ia pun mengenal orang-orang yang kemudian beberapa diantara mereka menjadi informan dalam penelitiannya. Hasil penelitiannya bisa teman-teman baca selengkap-lengkapnya dalam bukunya Tom yang judulnya Coming Of Age In Second Life. Menarik kok! ;)

Tom dapat menemukan beberapa hal menarik terkait dengan dunia virtual:

1. Konsep tentang waktu dan tempat

Seperti yang uda kita tau, if we enter the virtual world, we’re gonna totally cross the boundaries. Sudah gak ada lagi yang namanya batasan waktu dan tempat. Kita sekarang tinggal di dunia yang sepenuhnya dapat kita kontrol –semau gue! Kita mau buat sebuah negara virtual kayak komunitas hammerskin yang anti kulit berwarna lain selain kulit putih? Silakan! Bahkan Tom menemukan sebuah ide untuk membangun sebuah pulau di second lifeuntuk Palestina dan Israel agar mereka hidup berdampingan! Yet, it’s not been done.

2. Konsep tentang selfhood –proteous effect

Kalian tau, kau tidak harus menjadi dirimu dalam dunia virtual. Kalian kini bebas menjadi individu yang kalian inginkan. Kalian pengen jadi naga seperti Tom di Second Lifenya? Silakan! Kalian ingin menjadi transgender? Silakan! God won’t be mad at you loh.. tapi kalau ingin menggunakan identitas asli? Gak masalah! Selain itu, jika kita memiliki avatar dan memainkan kehidupan virtual, itu dapat berdampak ke kesehatan baik fisik maupun mental. Tom menyebutkan bahwa ada informannya yang terkena gejala parkinsons yang perlahan dapat menggerakkan tubuhnya karena sering bermain second life. Ada juga informan Tom yang menjadi tidak fobia terhadap ketinggian semenjak ia membiasakan diri untuk keluar masuk ruangan, menatap kebawah dari ketinggian di mall dalam second life. Entah ya, menurutku apa sistem syaraf kita emang udah terhubung dengan avatar di dunia virtual? Atau kah self fulfilling prophecy theory works out in these case? Atau alam bawah sadar kita yang tergerak? Apapun itu, penelitian psikoanalisis kayaknya bakal bisa menjelaskan fenomena ini deh (*panggil mas Firman kom08 hehe)

3. Community

Jelas! Bagi orang-orang yang ingin bisa berbagi dengan bebas apa yang ia rasakan dengan orang lain, orang dengan identitas lain, dunia virtual mungkin bisa menjadi pilihan mereka. Komunitas virtual ini bisa kita temukan dimana-mana di dunia virtual kok.

4. Economics

Yah ini juga pasti. Game-game online besar kebanyakan dimiliki oleh korporasi besar. Kalau game yang dipasarkan melejit di pasar, seperti second life atau dota, jelas korporasi mendapatkan untungnya. Bahkan, pemain game pun dapat mendapatkan uang dari permainan tersebut. Currency dalam second life itu memiliki nilai yang sama dengan nilai dollar. Kalau kau punya uang di second life dan ingin kau tukarkan dalam bentuk dollar, well.. itu bisa saja.

Dalam diskusi, dosen kita tercinta, Mbak Kandi, menanyakan beberapa hal terkait dengan identitas dan dominasi. Mbak Kandi menceritakan pengalamannya saat memasukkan first name yang ke-indonesia-an dalam second life, tapi last name yang kemudian muncul adalah nama-nama dengan citarasa kebarat-baratan. Anggap saja mbak Kandi mengetikan kata “Sri” pada kolom first name. Di kolom last name, yang muncul malah seperti ini “william”, “jones”, yah soso lah.. Mbak Kandi pun menyadari bahwa masih ada suatu bentuk dominasi dari suatu identitas tertentu. Siapa lagi kalau bukan identitas dari barat. Jika dunia virtual menawarkan kebebasan dalam beridentitas, mengapa masih saja dibatasi oleh dominasi identitas tertentu.

Tapi menurutku, hal tersebut juga belum bisa dikatakan sebagai dominasi sih. Simply,karena mungkin pembuatnya belum tau identitas khas (dalam hal ini nama) Indonesia atau identitas lain. Penggunaan format nama first name dan last name pun juga bukan khas Indonesia banget kan? Well, sekali lagi, mungkin pembuatnya gak pernah tau Indonesia. who knows loh.. kan kita belum tanya (ntar lama-lama kasus ini bisa dianalisis pake metode wacana-site of production.. haha)

Anyway, Tom berkata mengenai dua hal yang menarik seputar dunia virtual..

Pertama mengenai internet di masa terdahulu dan sekarang. Dulu, di tahun 1996 situs McD pertama kali diluncurkan dengan sangat sederhana! Sekarang, jejaring sosial ada dimana-mana. Twitter, misalnya. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa ya di tahun 1996 Twitter kok gak ada? Padahal secara pembuatan (koding2 gitu), twitter, menurut Tom, lebih mudah dibuat dan dikelola. Dan jawaban cerdik dari Tom adalah, hanya pada imajinasi. Pada tahun 1996, belum ada orang yang memikirkan lebih jauh akan dibuat seperti apakah situs di internet. Dengan kata lain, belum ada ide, belum ada bayangan untuk menciptakan hal itu. Kalau bisa kukatakan, lagi-lagi inovasi lah yang dapat mengguncang dunia –bahkan, stabilitas dunia. Dan tiba-tiba teringat omongannya mas Prima, “kalo gak mau ada perubahan ya jangan ciptakan inovasi” (gitu ya mas Prim?)

Dan kali ini Tom memutarkan film pendek garapan Bruce Branit tentang teknologi dan inovasi berjudul World Builder.

Kedua, jika berbicara mengenai internet, jangan hanya dilihat dampak positif atau negatifnya bagi diri sendiri. Coba pikirkan ekosistem teknologi masa depan (internet) dan dampaknya bagi hak asasi manusia! HAM bisa dikatakan merupakan hal mendasar yang turut mempengaruhi bagaimana orang berinteraksi dengan dunia virtual.

Tom berharap akan ada penelitian-penelitian lebih dalam mengenai dunia virtual dan internet.. so, who’s in? Hehe

Enw, aku tadi kasih rekomen film buat Tom Boellstorff yang temanya Virtual Life – Gaming. Kalo temen-temen tertarik, silakan aja cari film Spanyol yang judulnya Black Heaven (2010). Nih link trailernya http://www.youtube.com/watch?v=TDlwhZZq9jg

Makasih!

Foto oleh Erlin Goentoro.


C2O mengucapkan banyak terima kasih kepada semua teman yang telah hadir dan membantu pelaksanaan acara ini. Terutama bagi Tom yang telah dengan sangat baik hati berbagi pengetahuannya, dan memberi kami oleh-oleh yang sangat berharga: setumpuk buku tulisannya, The Gay Archipelago, Coming of Age in Second Life, Ethnography & Virtual Worlds, dan A Coincidence of Desires. Buku-buku ini akan segera bisa dibaca di C2O.

Email | Website | More by »

Mahasiswi jurusan komunikasi FISIP Unair, juga anggota KOMPAS MuDA.

3 Replies to “Reportase: Etnografi & Dunia Virtual”

  1. Tentang mengapa pada tahun 1996 Twitter belum ada. Menurut sejarah, perkembangan tekonologi pada saat itu belum memungkinkan. Bahasa pemrograman masih terbatas, infrastruktur (katakanlah, server) pun masih terbatas. Apalagi kalo bicara manajemennya, karena infrastruktur yang masih minim, tentu manajemen masih susah!

    Kala itu bahasa pemrograman sekelas PHP atau Ruby atau Java untuk pengembangan web yang interaktif dan WOW semacam Twitter belum ada. Kalau pun sudah ada, masih ecek2 belum seperti sekarang. Apalagi teknologi browser untuk saat itu masih sangat jauh jika dibandingkan dengan sekarang.

    Dan menurut saya, pembuatan Twitter dan berbagai macam jejaring sosial lainnya itu tidak bisa dibilang mudah. Kodingnya gak semudah yang diucapkan!

    1. Terima kasih masukannya Rizky. Tapi mungkin tidak lebih mudah daripada situs McD, cuma apa tidak lebih “mudah” daripada World of Warcraft atau Second Life, yang jauh lebih berat? Mohon pencerahannya :)

Leave a Reply