Kehidupan Rahasia Pembaca (3/3)

Foto (cc) Mshades

Artikel ini merupakan bagian dari seri eksplorasi mengenai makna dan pengalaman membaca. Artikel kali ini diterjemahkan dari tulisan Jennifer Howard, “Secret Lives of Readers,” The Chronicle of Higher Education, 17 Desember 2012:  http://chronicle.com/article/Secret-Reading-Lives-Revealed/136261/ Karena artikel asli ini cukup panjang, untuk memudahkan pembacaan, artikel ini dipecah menjadi tiga bagian. Ini adalah bagian ketiga, silakan membaca bagian pertama dan kedua. Semoga menikmati!


Seiring dengan teks yang bersikulasi, mereka memicu ketegangan kelas dan sosial. Majikan kelas atas merasa khawatir jika dia menyentuh buku yang telah disentuh pembantunya, dia akan terkena implikasi (apapun) dari kontak tersebut. “Ada banyak perantara di antara tubuh majikan dan tubuh pembantu,” jelas Price. Bayangkan saja ritual mengantarkan surat di atas baki.

Setelah 1850, kemunculan perpustakaan umum membawa—memaksa?—pembaca dari berbagai kelas yang berbeda untuk bertemu dalam kontak yang lebih dekat. Ini menimbulkan perdebatan mengenai materi bacaan seperti apa yang cocok untuk umum, kata Price. Beberapa perpustakaan melarang halaman lomba berkuda untuk mengurangi perjudian, sebagai contoh.

Orang-orang Victoria juga khawatir mengenai buku sebagai sumber penyakit—“ada pertanyaan mengenai buku ini sudah ke mana saja,” kata Price. Proposal bermunculan agar mesin disinfektan buku untuk dipasang di perpustakaan. “Kebanyakan alat pengasap,” katanya. “Tapi ada banyak prototipe yang didesain.”

Akses yang lebih mudah ke materi bacaan juga menciptakaan ketegangan lain yang berhubungan dengan kelas, meski bukan seperti yang disangka Price. “Saya awalnya menyangka, bahwa laki-laki kelas menengah akan mengkhawatirkan pembantunya membaca materi-materi politis,” katanya. Tapi yang dia temukan adalah mereka lebih khawatir mengenai pencurian waktu. Jam yang dihabiskan untuk membaca, bahkan untuk Alkitab, adalah jam yang dihabiskan tidak bebersih atau melakukan tugas lainnya. Buku panduan untuk perempuan dewasa dan anak-anak pun, mewanti-wanti pembaca untuk tidak membiarkan buku mendistraksi perempuan dari tugas mereka.

Terkadang majikan memaksa memberikan materi bacaan kepada pembantunya. Majikan perempuan dapat memberi materi relijius pada pembantunya. “Ini adalah tawaran yang tidak dapat kamu tolak,” kata Price. “Salah satu yang mengejutkan saya mengenai jenis hubungan manusia yang diperantarai oleh buku pada periode ini adalah Anda melihat pergeseran yang dramatis dari awal abad ke-19.” Awalnya, ada perasaan bahwa buku adalah komoditas berharga. Menjelang akhir abad, ada perasaan bahwa “buku adalah sesuatu yang dibawakan atau dipaksakan ke inferior oleh superior.”

Teks dapat menjadi undangan untuk hubungan yang tak diinginkan, ata penanda untuk mendefinisikan batasan rumah tangga. Dalam hubungan romantis, buku dapat memainkan peran perantara, tapi juga pemecah. “Di satu sisi, buku digunakan untuk pendekatan—laki-laki memberikan satu eksemplar buku yang dia belikan khusus pada seorang perempuan, mungkin dengan beberapa baris digarisbawahi untuk mendapatkan perhatiannya,” kata Price. “Tapi di sisi lain, Anda punya buku sebagai batas—suami dan istri yang mengacuhkan satu sama lain di meja makan,” satu sibuk membaca novelnya, satu koran.

Dalam novel Anthony Trollope The Small House at Allington, Price menemukan salah satu contoh keras pembentukan jarak domestik. Di tengah bulan madu, pasangan yang tidak cocok dalam kereta, merasa lebih nyaman dengan materi bacaan mereka daripada dengan orang lain.

Trollope mendeskripsikan adegannya: “Si laki-laki merindukan Times-nya, tapi memutuskan bahwa dia tidak akan membaca kecuali pasangan perempuannya membaca dulu. Pasangan perempuannya juga mengingat novelnya; tapi pada dasarnya dia lebih sabar daripada si laki-laki, dan dia mengira dalam perjalanan seperti ini membaca dalam bentuk apapun terasa kurang sopan.”

Orang-orang Victoria juga menggunakan teks untuk memberi jarak dalam ruang non-romantis. Dengan persebaran transportasi umum, “koran tumbuh bersama jalur komuter sebagai cara untuk menghindari kontak mata,” kata Price. Seperti pengendara subway atau bis modern yang saat ini menenggelamkan diri mereka dalam telpon genggam, komuter di abad ke-19 dapat melarikan diri mereka secara virtual dari jejalan kepadatan sekitar dengan memasang tembok kertas antara mereka dan orang lain. “Orang-orang Victoria menggunakan buku sebagaimana kita menggunakan smartphones,” sebagai semacam tanda “Jangan Ganggu (Do Not Disturb)”, kata Price.

Untuk setiap bibliophile yang memuja bentuk fisik buku sebagai objet d’art, ada seseorang yang menunggu untuk merubahnya untuk tujuan yang berbeda, tujuan non-tekstual. Price menunjuk pada berbagai penggunaan ulang buku yang muncul di situs seperti Etsy, dengan berbagai pengrajin merubah buku menjadi dompet dan objek lainnya yang tidak berhubungan dengan buku. Gambar: Playing with Books oleh Jason Thompson.

Seiring dengan berjalannya abad, kertas juga bergeser menjadi sesuatu yang dihindari. “Jika seseorang berdiri di ujung jalan membagi-bagikan pamflet, Anda tidak akan mengambilnya,” sementara di awal dasawarsa Anda akan menerima kertas apapun, kata Price. Dia menunjukkan bahwa, seiring dengan bergesernya pembuatan kertas berbasis kain ke kayu, perubahan pada sistem perpajakan Inggris membuat kertas menjadi jauh lebih murah. Ini membuat makin ekonomis penerbit buku, koran dan pamflet untuk mencetak dan menyebarkan barangnya.

Perubahan dalam sistem pos di pertengahan abad juga membuat lebih murah distribusi kertas yang lebih  banyak ini. Para pengubah sistem pos “ingin mendemokratisasikan pengetahuan,” katanya. Tapi mereka “tidak melihat bahwa sistem baru postal ini akan digunakan terutama untuk mendistribusikan katalog” dan hal-hal lainnya. Sebagaimana dikatakan Price, orang-orang Victoria “sebenarnya menciptakan apa yang sekarang kita sebut sebagai spam.”

Bayang-bayang pergeseran sikap Victoria ini juga terbawa dalam era membaca digital. Abad ke-19 memiliki kertas murah; kita memiliki konten elektronis yang melimpah. Sebagaimana terjadi dengan orang-orang Victoria, limpahan ini merubah bagaimana kita sebagai suatu budaya memperlakukan buku fisik. Untuk setiap bibliophile yang memuja bentuk fisik buku sebagai objet d’art, ada seseorang yang menunggu untuk merubahnya untuk tujuan yang berbeda, tujuan non-tekstual. Price menunjuk pada berbagai penggunaan ulang buku yang muncul di situs seperti Etsy, dengan berbagai pengrajin merubah buku menjadi dompet dan objek lainnya yang tidak berhubungan dengan buku.

“Ada kesadaran yang sangat meningkat saat ini mengenai penggunaan nontekstual buku,” katanya. “Sekarang dengan makna tekstual buku berpindah online, yang tertinggal sekarang adalah cangkang kosong.” Dulu seperti juga sekarang, menghilangkan nilai objek terkadang menciptakan penekanan pada isi. “Melihat ke sejarah abad ke-19 membuat Anda sadar bahwa fenomenon yang cenderung kita tuduh pada digitalisasi sebenarnya terjadi seabad sebelumnya,” kata Price. “Ketika kamu membuangnya, nilai buku menjadi berada dalam kata-kata di dalamnya dan bukannya potensi penggunaan ulangnya.”

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply