Site icon C2O library & collabtive

Lokakarya Penelitian Komunitas, Semarang 5-8 Januari

Tulisan ini adalah catatan Anitha Silvia mengenai pengalamannya mengikuti Lokakarya Penelitian Komunitas di Hysteria, Jl Stonen 29 Semarang, selama 5 – 8 Januari 2013. Versi ini adalah versi yang sudah disingkat. Silakan membaca versi lengkapnya di blog Tinta.

Sabtu, 5 Januari 2013

Semarang secara geografis adalah unik, secara sederhana terbagi dua Semarang Bawah dan Semarang Atas. Semarang Bawah menuju pelabuhan Tanjung Mas, Semarang Atas meliputi UNES dan UNDIP. Menuju Hysteria yang berada di areal perbukitan adalah menyenangkan, tumpukan rumah di bukit, udara yang cukup sejuk, dan minibus melewati papan petunjuk arah Sampangan di depan rumah sakit Karyadi, wah kenapa saya gak turun sini aja yah kan mau ke Sampangan, karena masih bertahan pada petunjuk dari Adin, tapi ngerasa saya akan keburu nyampe terminal Banyumanik, akhirnya saya tanya ke kondektur, eh saya disuruh turun di PLN karena seharusnya turun di Karyadi, huhu. Turun di PLN, nyebrang ke sisi jalan lainnya, kembali ke Karyadi naek bis damri, lalu oper angkot ke Sampangan, turun di Jalan Kelud, lumayan masih inget jalan ke Hysteria, terakhir saya kesana awal tahun 2011, ini ketiga kalinya saya berkunjung ke Hysteria. TIba di Hysteria disambut Adin dan Purna, workshop belum dimulai.

Semarang adalah kota ketiga dalam projek Urban Knowledge Development (UKD) yang dicetuskan oleh Rujak Center for Urban Studies yang bertujuan mengumpulkan pengetahuan perkotaan dan menyebarkannya. UKD di Kota Makassar bertajuk Makassar Nol Kilometer, Surabaya bertajuk Ayorek, Semarang bertajuk UGDsmg. Hari pertama workshop penelitian komunitas diasuh oleh Antariksa–pendiri KUNCI Cultural Studies, dengan materi Sejarah Kampung, dengan peserta workshop : Anastasia Dwirahmi (UGDsmg), Adin (UGDsmg), Openk (UGDsmg), Purna (Hysteria), Hasyim (warga Kampung Tugurejo), Noviaji (Asosiasi Design Grafis Semarang), Ashar (warga Kampung  Bustaman), Naka (Teater Ikat), (Ibrahim Lembah Kelelawar), dan saya sebagai perwakilan Ayorek, sayang perwakilan Makassar Nol Kilometer tidak bisa hadir karena Makassar dilanda banjir.

Antariksa mulai menggelar paparan mengenai Sejarah Komunitas berdasarkan sejumlah proyek yang dikerjakan oleh KUNCI Cultural Studies Center seperti Sejarah Keluarga, Sejarah Kampung Juminahan, dan Studi India. Sejarah Komunitas adalah sejarah yang dekat dengan komunitas tersebut, bukan narasi besar seperti Perang Diponegoro, melainkan sejarah yang berkaitan langsung dengan komunitas tersebut seperti sejarah nama kampung, sejarah minuman dan makanan lokal, jadi narasi yang dibuat adalah tentang kita, tentang keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita, relevan dengan kehidupan kita. Hal penting lainnya adalah sejarah tidak menciptakan kebenaran tunggal tapi untuk mencari berbagai versi kebenaran, kebenaran yang majemuk. Pengetahuan (sejarah) tidak hanya berasal dari pemerintah, kampus, tapi juga dari warga sendiri, karena warga bukan orang yang bodoh, mereka punya pengetahuan (dan sejarahnya sendiri). Antariksa berbagi cerita mengenai Kampung Juminahan yang berusaha membalikkan citra “sumber masalah” (karena yang tinggal disana adalah copet, PSK, anak jalanan.) Dengan Sejarah Komunitas bermaksud menunjukkan kekayaan berupa pengetahuan dan ketrampilan warga Kampung Juminahan. Pengumpulan kekayaan ini penting karena warga bisa membangun kebanggaan, menghargai diri sendiri, dan bisa mengubah kebijakan secara bertahap.

Kenapa memilih sejarah? KUNCI punya minat yang besar terhadap sejarah. Yang sering terjadi adalah ketika kita—kelas menengah—terjun ke kampung, kita membawa persoalan yang bias kelas, jadi penting untuk mengubah cara pandang kita. Ada kesenjangan antara pendidikan di kampus yang berjarak dengan realitas. Jadi karena itu, perlu membangun pemahaman yang dimulai dari sejarah situs dan aktivitas warga. Anak-anak Kampung Juminahan belajar sejarah Indonesia yang melulu perang, bagi mereka sejarah tidak menarik dan tidak berguna (secara langsung) bagi mereka, sejarah jadi tidak ada konteksnya di kampung, maka kita buat sejarah tentang kampung kita sendiri. Penerapan metode Sejarah Komunitas bersifat partisipatoris dan kolaboratif. Diperlukan adanya observasi pendahuluan, wawancara, pemetaan masalah dan pengetahuan maka agar terjadi pertukaran pengetahuan dan ketrampilan.

Sejarah dibuat menarik dan lebih dekat dengan warga. Pengetahuan sejarah tidak harus dalam bentuk teks, tapi bisa dengan pertunjukkan seni, video, foto, ilustrasi. Metode Sejarah Komunitas nyaris bisa dilakukan tanpa biaya karena dilakukan oleh warga sendiri, tapi memang butuh banyak waktu. Kita memamfaatkan apa yang ada dan meyakinkan warga bahwa ini adalah kegiatan yang penting bagi mereka. Program bisa berupa pertukaran antar-kampung, pelatihan menulis, menggambar, mencukil, video, fotografi, dan pengarsipan. Bagaimana posisi kita sebagai peneliti, bagaimana menyesuaikan jadwal kita dengan warga, kita bisa memamfaatkan pertemuan rutin warga seperti pertemuan PKK, pengajian, arisan. Kuncinya adalah jaringan dan kolaborasi, jadi kita tidak bekerja sendiri. Untuk komunitas yang tidak memiliki pertemuan rutin seperti Komunitas India di Yogyakarta, KUNCI mendatangi tiap klan.

UGDsmg akan dilakukan di Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo (dengan output buku dan website) dengan waktu kerja 3 bulan. Dengan waktu yang singkat, menurut Antariksa metode yang visible yaitu dengan wawancara, observasi, dan studi literatur. Metode yang bisa dilakukan : studi literatur juga bisa memamfaatkan studi statistik dari institusi formal, kliping koran, wawancara warga tentang isu yang dipilih, dan kompilasi data dari beragam sumber. Antariksa menganjurkan untuk membuat suatu program yang bisa mendorong warga membuat inisiatif baru saat peluncuran buku dengan mengundang sebanyak banyaknya pihak, sekaligus menjadi kesempatan untuk membahas apa yang bisa dilakukan bersama sama dalam jangka panjang. Hari pertama workshop berakhir dengan memberikan kami sejumlah pilihan yang menarik dan bisa dilakukan dalam waktu yang pendek.

Cerita lainnya adalah ketertarikan Garna atas sejumlah rumah/bangunan kolonial yang ada di Semarang, rumah kuno tersebut tidak hanya menarik secara arsitektur dan interiornya, tapi pasti memiliki sejumlah cerita mengenai penghuninya. Di Semarang, ada sebuah hotel kolonial yang sudah tidak berfungsi lagi namun ditempati oleh sejumlah orang, tapi sayang Garna belum memiliki akses untuk masuk kesana karena memang sengaja tidak bisa dimasuki oleh orang luar selain penghuni “gelap”. Terbayang bagaimana gilanya tinggal di kamar hotel bintang lima di masanya, bagaimana nasib properti dan arsitektur yang ciamik setelah ditinggali oleh sejumlah penghuni “gelap”. Saya pun berbagi cerita yang serupa, sejumlah bangunan kolonial yang tidak “bertuan” di Kota Lama Surabaya ditempati secara “ilegal” oleh sejumlah keluarga Madura, sayang mereka tidak terlalu merawat bangunan kolonial tersebut, maka kesan kumuh yang tampak. Oh saya mulai suka dan penasaran dengan kota ini, Semarang seperti Surabaya, kota kolonial (dan kota pelabuhan) yang sekarang ditinggal jauh oleh Jakarta, tapi kedua kota ini menyimpan banyak kejutan yang belum banyak diketahui oleh banyak orang.

Minggu, 6 Januari 2013

Saya suka kawasan di sekitar Hysteria yang masuk Kecamatan Gajahmungkur, disini berbukit bukit, ini salah satu kelebihan Kota Semarang, rumah rumah terlihat menumpuk di sejumlah bukit, di puncak puncak bukit masih banyak pohon, lumayan berasa olahraga sih karena mendaki menuju Taman Sudirman. Melewati sejumlah rumah kolonial yang terawat dan yang terbengkalai, lalu tiba di Taman Sudirman yang berada di atas bukit, lumayan cantik jika menghabiskan pagi dan sore disini, sayang tidak ada kegiatan warga disini, di Surabaya hampir seluruh taman kota dipenuhi warga siang-malam. Di sekitar Taman Sudirman terdapat sejumlah rumah dengan arsitektur yang memukai, mulai dari kolonial tropis sampai yang bergaya Inggris dengan bata merah dan cerobong asap serta kotak pos merah, yang paling menarik di Jalan Taman Sudirman adalah keberadaan Ereveld Candi. Ereveld adalah makam prajurit Belanda yang dibangun tahun 1946, nisan putih berbentuk salib berbaris rapih diatas bukit, sebuah pemandangan yang tidak seram, di Surabaya juga ada Ereveld tapi posisinya cukup tertutup dengan makam Kembang Kuning.

Ami datang bersama Antariksa, jam 10 dijadwalkan workshop mengenai CrowdMap, saya yang masih bengong sambil online harus segera mengantri mandi, dan workshop dimulai setlah saya selesai mandi, maap yah antrian mandinya panjang. Sambil menunggu giliran mandi, membaca timeline, Kampung Buku kebanjiran, buku dan penghuninya mengungsi ke sebelah, teringat 6 Februari 2011 sekretariat Hysteria yang terletak di Jalan Stonen 29, tergenang air dan lumpur karena bukit di depan Hysteria longsor akibat hujan deras dan pembangunan sejumlah rumah tanpa AMDAL, saat itu banyak dokumen dan barang Hysteria tidak terselamatkan.

Tiap peserta workshop berbekal komputer jinjing siap ber-crowdmap. Antariksa memulai dengan sejarah Crowdmap (http://crowdmap.com) yang dipopulerkan oleh platform Ushahidi http://www.ushahidi.com/ yang dibangun sebagai alat bagi siapapun untuk menjalankan crowdsourcing site, platform ini gratis, terbukti dengan mengagregasi suara warga telah memberikan informasi yang mengejutkan. Crowdmap memetakan informasi tematik dalam suatu kawasan, informasi didapatkan dari informan lokal yang kemudian bisa diverifikasi dengan melakukan survei lapangan. Antariksa memberikan sejumlah contoh Crowdmap yang ada di Indonesia : http://klikjkt.co.id; http://petakreatifsolo.crowdmap.com. Antariksa langsung memberikan petunjuk membuat Crowdmap, masing masing peserta memilih tema, Adin memilih tema aktivitas kreatif di Semarang, Ami memilih tema museum di Semarang, Ashar  memilih tema gulai kambing di Kampung Bustaman, saya memilih tema Netaudio di Indonesia. Dalam waktu singkat kami berhasil ber-crowdmap lalu saling memberikan report mengenai tema yang dibuat oleh sejumlah peserta. Saya menyukai media ini, bisa diterapkan untuk tema apa saja, dan mudah digunakan oleh saya yang gaptek.

Sesi CrowdMap berakhir dengan gembira karena kawan kawan Hysteria sebelumnya telah membuat Peta Lingkar Cinta yang mengajak anak muda Semarang memberikan informasi titik titik tempat favorit mereka di Semarang secara manual, Peta Lingkar Cinta ini bisa dilanjutkan memakai Crowdmap. Antariksa meninggalkan kami, kembali ke Yogyakarta. Kami bersiap untuk narasumber selanjutnya yaitu kawan kawan dari ARKOM Yogyakarta. ARKOM (Arsitek Komunitas http://arkom.or.id/ ) sudah kami kenal dengan sejumlah projeknya yang memang tidak biasa. Rombongan ARKOM dipimpin oleh Lilik yang membawa serta Imam Yudhi–warga kampung bantaran kali di Yogyakarta, saya lupa nama kalinya, pastinya bukan Kali Code. Iman memimpin Paguyuban Kali Jawi yang mengurus kebutuhan utama warga yaitu tanah, karena mereka tinggal di tanah milik negara, tentu saja memperbaiki rumah warga secara gotong royong dan memanfaatkan pengetahuan dan sumber daya lokal, dibantu oleh ARKOM dengan prinsip : menghormati tradisi, budaya, pengetahuan, dan keahlihan rakyat dalam hal rancang bangun, yang percaya dan melaksanakan metode partisipatif. Berkat kerjasama yang berdasarkan kepercayaan maka projek di Kampung Kali Jawi bisa dibilang berhasil, sesuai dengan kebutuhan warga dan dilirik oleh pemerintah. Satu kalimat sakti adalah : mendengarkan warga!

Senin, 7 Januari 2013

Jadwal hari ini adalah kunjungan ke Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo, saya sudah yakin hari ini pasti penuh kejutan. Setelah membeli sarapan roti bantal dan bekal makan siang nasi campur, dengan menumpang mobil Ami, saya, Ashar, Andi meluncur ke Kampung Bustaman yang berada di salah satu gang Jalan MT Haryono–sentra perdagangan di Kota Semarang. Saya mengutip paragraf yang ditulis oleh Budi N.D. Dharmawan dalam “Pioner di Celah Dua Loka” dalam National Geographic Indonesia, Mei 2012 :

“Nama Kampung Bustaman di bagian utara Kota Semarang, Jawa Tengah, diambil dari Kyai Bustam–pembantu bupati Semarang pada pertengahan abad ke-18. Banyak keturunan Bustam kemudian menjadi penguasa lokal di daerah pesisir utara Jawa. Ayah dan ibu Raden Saleh, juga pamannya yakni Bupati Semarang Surahadimanggala V, merupakan cucu Kyai Bustam. Kampung Bustaman kini merupakan satu dari dua pusat pemotongan kambing di Semarang.”

Sebelum saya menjejak Kampung Bustaman, sudah terbayang kekayaan sejarah di kampung tersebut, begitu melewati gapura Kampung Bustaman di gang berukuran dua meter, semerbak aroma rempah rempah menyapa kami, dua ibu yang sedang memisahkan lemak dari daging kambing turut menyapa kami yang memang terlihat sebagai turis, berhenti sejenak mendengarkan penjelasan dua ibu mengenai aktivitas hariannya, mereka sedang mempersiapkan rambak kambing yang hanya disajikan saat lebaran, jadi mereka sedang menyicil pesanan. Kami diltunjukkan 3 jenis rambak kambing : rambak sure, rambak kencet, rambak tapawulung, dibedakan berdasarkan posisi otot/lemak yang diambil, menurut mereka rambak kambing lebih enak daripada rambak sapi, harganya juga lebih mahal. Seorang bapak yang bernama Haji Yusuf salah satu kolega mereka dengan baik hati menjelaskan tentang kampungnya, dia keturunan India, salah satu jurugan kambing, kami juga cerita bahwa kami ke kampung ini untuk membuat buku mengenai Kampung Bustaman. Saya diberi dua bungkus bumbu kering untuk gulai dan tongseng yang biasanya dijual 500rupiah per bungkus.

Pak Ashar menghampiri kami untuk menjadi guide keliling kampung, kami pun berjalan menyusuri gang yang hanya terdiri dari 2 RT, sekitar 80 kepala keluarga yang tinggal disini, cukup kecil dan bisa dijangkau dengan waktu penelitian yang cukup singkat. Sepanjang gang, para wanita memasak bumbu galian (kelapa parut yang disangrai kemudian diperas untuk diambil minyaknya) yang menjadi kunci dari bumbu gulai kambing. Saya membeli satu bungkus kecil galian seharag 2500rupiah, diberi bonus bumbu dapur oleh sang ibu yang membuat galian dari jam 9 pagi sampai jam 12 siang. “Ini New York”, saya terkejut saat seorang ibu memberi kalimat sambutan saat kami melewati rumah kecilnya yang penuh dengan barang bertumpuk. Kenapa New York? Sang ibu bercerita, kampung ini hidup selama 24 jam nonstop, mulai dari jagal kambing sampai jual gulai kambing, banyak orang luar kota yang langsung datang dan membeli bumbu gulai ke kami, seperti New York kan, selalu ramai, saya hanya mengangguk karena belum pernah ke New York. Kalau Pak Ashar memberitahu kepanjangan dari Bustaman = Tembus tapi aman, yah Kampung Bustaman menjadi gang tembusan ke Pekojan–Kampung Arab di Semarang.

Pak Ashar mengajak kami ke Rumah Pemotongan Hewan (RTH) milik salah satu juragan kambing, menempati gudang yang sebelumnya digunakan oleh orang Tionghoa, ada patung kepala kambing menancap di dinding atap. Tentu saja bau kambing yang kami nikmati, aktivitas penjagalan dimulai tengah malam hingga jam 3 pagi, sekitar 60 kambing per harinya, warga sudah berusaha mengolah limbah, tapi saya lupa bagaimana pengolahannya, terpaku oleh properti RTH. Selanjutnya kami mengunjungi sudut pemotongan daging untuk sate kambing, sejumlah pekerja pria yang adalah warga sekitar kebanyakan berasal dari Kudus, menjadi buruh potong dan sunduk sate kambing. Ini pengalaman pertama saya, melihat siklus kambing hidup menjadi gulai kambing, semuanya di satu kampung : Bustaman. Hal lain yang jadi kebanggaan warga adalah MCK Umum hasil program Sanimas yang masih difungsikan oleh warga, lantai dasar MCK, lantai atas dipakai untuk ruang belajar anak anak, kami istirahat sejenak disana, cukup nyaman dan bersih disini, memang ini jadi salah satu tempat kumpul warga. Oleh warga, kami diberi donat kentang yang baru matang dan mencicip rujak sayur–sayur dikasih bumbu rujak, enak nan segar.

Kami masuk ke rumah Ibu Srihartati, rumah kolonial yang tidak besar, di kampung ini terdapat sejumlah rumah kolonial dan rumah jengki. Pak Ashar memperkenalkan Ibu Srihartati yang berusia 60 tahunan sebagai keturunan dari Kyai Bustam. Saya pun mengajukan banyak pertanyaan ke beliau karena beliau ramah dan pastinya banyak punya cerita. Srihartati tidak mengenal Raden Saleh, belaiu mengenal setelah diberitahu oleh koleganya bahwa Raden Saleh seorang pelukis yang terkenal adalah keturunan Kyai Bustam, beliau hanya tahu lukisan Raden Saleh yang ada di keraton Yogyakarta adalah tiga dimensi, jadi bisa mengikuti mata yang melihat lukisan tersebut. Sepertinya saya tidak bisa banyak tanya mengenai Raden Saleh, pertanyaan beralih ke kehidupan pribadi Srihartati, sebagai anak semata wayang, dia sangat disayang oleh orangtuanya, saat tentara Gurkha datang menyusur Kampung Bustaman, Srihartati yang saat itu masih bayi dan sedang dalam gendongan sang bapak, bermaksud diambil oleh tentara Gurkha, sang bapak memohon sangat untuk tidak mengambil bayinya, peristiwa itu dilihat oleh seorang juragan kambing, sang juragan dengan beraninya meminta sang tentara untuk meninggalkan Kampung Bustaman dan tidak mengambil sang bayi, sang tentara dijanjikan oleh sang juragan akan dikirimi kambing, sang tentara langsung melenggang pergi, wah kisah yang menarik.

Kami tidak bisa berlama lama menggali cerita karena ada jadwal kunjungan selanjutnya ke Kampung Tugurejo, kawan kawan UGD tentu akan kembali ke kampung ini untuk menggali sejarah Kampung Bustaman. Dengan mobil kami menuju Kampung Tugurejo di Kecamatan Tugu. Ami mengajak saya ke toko buku bekas impor bertajuk BOKBOS (sebenernya saya bingung membaca palang nama toko ini), menempati bangunan kolonial yang cukup terawat, kami disambut deretan buku bekas yang dijual mulai harga 25.000 – 150.000rupiah, saya betah lama lama di rak buku anak anak, meskipun kebanyakan terbitan Disney, yah lumayan lah. Koleksinya cukup banyak dan beragam, mulai dari science, politic, craft, novel. Ada sejumlah kursi yang empuk, jadi kami cukup betah keliling dan membaca punggung buku. Saya membeli The Rivers of the Mandala : Journey Into the Heart of Buddhism, sebuah buku travel dengan 400 lebih ilustrasi, terlihat menyenangkan. Kami meluncur ke Kampung Tugurejo, melewati kawasan Tanah Mas yang sekarang dikenal sebagai daerah rawan banjir, padahal ada perumahan mewah disana. Terjebak kemacetan selama satu jam di perempatan Kali Banteng, tumpukan truk dan pembangunan flyover menjadi penyebabnya, untung kami bawa bekal makan siang, jadinya makan siang di mobil, sambil mengutuk kemacetan.

Hujan turun dengan deras, Ami menyetir dengan pelan pelan biar aman, kami mulai masuk Kampung Tugurejo, jalanan mulai mendaki, ternyata kampung ada di areal perbukitan, lalu tiba dengan selamat di rumah Hasyim–aktivis Kampung Tugurejo, disambut dengan beragam camilan dan teh hangat serta keluarga kecil Hasyim. Adin juga baru sampai, dia basah kehujanan karena naik sepeda motor, sambil menunggu Openk dan geng ARKOM, kami menghabiskan makanan yang disajikan, kami lumayan kedinginan dan kelaparan. Hujan masih deras sampai sore hampir habis, saat tinggal gerimis kami lalu ke atas rumah Hasyim, disambut pemandangan yang indah nan ganjil, indah dengan bukit bukit hijau, ganjil dengan keberadaan 5 pabrik besar dengan cerobong asapnya yang mengirim racun ke bumi. Kami bisa melihat situs penting yang berada di atas bukit : Watu Tugu yang adalah batas kerajaan Majapahit dengan kerajaan Pajajaran, di sebelah Watu Tugu berdiri semacam candi yang dibangun tahun 80-an oleh pemerintah kota Semarang. Kampung Tugurejo diapit oleh industri, tentu saja isu lingkungan menjadi permasalahan di kampung ini.

Hujan gerimis menemani kami berjalan kaki menuju outlet pabrik yang diketahui oleh warga telah mencemari kali yang melintas di kampung mereka, ternyata kami harus melalui ladang jagung dan sawah, tentu saja jadinya semacam becek becekan sambil hujan hujanan, seru. Yang tidak seru adalah melihat limbah pabrik yang mencemari kali. Sore semakin habis, kami sempat mampir ke taman kanak kanak yang memiliki kebun sayur dan sejumlah rusa yang dipelihara, sangat menarik tapi sayang anak anak menghirup polusi, sepanjang jalan kami mencium bau bumbu mie instan, memang ada pabrik Indomie disana. Kami tidak ke Watu Tugu karena malam segera datang, kami kembali ke Hysteria lewat tol dalam kota, hari ini kenyang sekali dengan fenomena.

Selasa, 8 Januari 2013

Ami sudah tiba di Hysteria jam 7 pagi, saya terbangun dan ikutan sarapan roti bantal, lalu mandi. Karena Ami bertugas sebagai keuangan untuk projek UGD, maka saya sharing mengenai cara kerja saya sebagai keuangan untuk projek Ayorek. Untuk Ayorek kami bekerja memakai Google Drive, memang mudah untuk siapa saja yang bisa menggunakan Internet. Amo tertarik dengan cara kerja kami, jadi Ami juga menggunakan Google Drive untuk membuat laporan keuangan, cara yang efektif untuk kerja kolektif, kita bisa berbagi informasi dengan cepat dan efektif. Hari ini adalah hari terakhir workshop, hari ini akan membahas rencana kerja untuk projek Kampung Bustaman dan Kampung Tugurejo yang menjadi pilot project UGD untuk selanjutnya diterapkan di 8 komunitas lainnnya.

Sambil makan siang, mereka membahas rencana kerja dan lingkup penelitian. Karena hanya 3 bulan maka untuk Kampung Tugurejo dipilih lingkup yang lebih kecil yaitu Kampung Kapling. Mulai dijadwalkan sejumlah tahapan mulai dari workshop fasilitator, pelatihan warga, forum warga, studi literatur, pencarian data, peluncuran web, forum diskusi, penyuntingan naskah, pembuatan buku, festival kampung.

Exit mobile version