Museum Sejarah Komunitas (3/3)

Selasa 18-Kamis 20 Desember 2012 yang lalu, Andriew, Ari, Bayu, Tinta, dan saya, berkesempatan untuk menghadiri lokakarya Museum Sejarah Komunitas, yang diselenggarakan oleh KUNCI Cultural Studies Center. Berikut adalah reportase hari kedua, dengan pembicara Janet Pillai (Arts-ED Penang), Kuah Li Feng (Living Museum, oleh Georgetown World Heritage Inc.), dan Muhidin M. Dahlan (i:boekoe). Silakan membaca catatan hari pertama (dengan Hersri Setiawan, Ita Fatia, dan Bambang Purwanto) dan kedua (dengan Janet Pillai, Kuah Li Feng, dan Muhidin M. Dahlan).


Antariksa dan Dina menjelaskan projek-projek KUNCI. Foto: Anitha Silvia

Hari terakhir diawali dengan penjelasan oleh KUNCI mengenai filosofi dan landasan berpikir mereka, kenapa sejak beberapa tahun yang lalu mereka memfokuskan pada sejarah. KUNCI memahami bahwa setiap sejarah bergantung pada tujuan sosialnya. KUNCI didirikan dengan pemahaman bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang netral. Kajian budaya, karenanya, sudah seharusnya berpihak.

Pada saat itu—dan mungkin juga hingga sekarang—teman-teman KUNCI merasa kecewa dengan pendidikan sejarah di Indonesia. Sebagai anak muda yang lahir di tahun 1970an, mereka tidak mendapat cukup banyak informasi mengenai sejarah mereka sendiri, apalagi pengetahuan yang berguna dan dapat segera dimanfaatkan mengenai sejarah mereka sendiri.

Ilmu sejarah di Indonesia sangat didominasi oleh sejarah perang/militer. Ada kekecewaan ketika mereka masuk ke kampung, mereka tidak mengerti sejarah makanannya, asal usul kampung, bahasanya, dan sebagainya. Berangkat dari masalah ini lah, mereka mulai memikirkan pemfokusan pada sejarah.

KUNCI melihat bahwa pendekatan sejarah dapat dibagi menjadi tiga:

  1. Sejarah untuk sejarah itu sendiri. Sejarah yang diajarkan di sekolah maupun kampus dirasa kurang berhubungan dengan tafsiran masa kini, yang lebih umum, dan seringkali memaksakan keutamaan teknik, atau penggalian pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, tanpa menawarkan tantangan apapun bagi sistem sosial. Kita dengan cepat mengingat Perang Diponegoro, tapi kita tidak tahu kapan rumah kita dibangun. Fokusnya cenderung pada teknik menyusun sejarah, bagaimana membuktikan kebenaran, verifikasi, dan sebagainya
  2.  Sejarah untuk perebutan kekuasaan: Sejarah digunakan untuk membenarkan penaklukan, perebutan wilayah, dan penguasaan satu kelas/ras pada pihak lain
  3. Sejarah untuk memahami apa yang tetap, apa yang berubah dari kehidupan kita sendiri, dan berkaitan langsung. Mempelajari hal-hal yang praktis misalnya, siapa orang tuaku, kapan kita mengalami banjir, kapan rumah kita dibangun, dan sebagainya.

KUNCI memilih memfokuskan pada pendekatan ketiga, dengan menggunakan metode (1) sejarah lisan dan (2) seni, dengan pendekatan partisipatoris dan kolaboratif. Berikut adalah projek-projek KUNCI yang berkaitan dengan sejarah komunitas:

  •  2002 Sejarah Keluarga
  • 2004-2007 Sejarah Komunitas Juminahan
  • 2006 Projek Seni Gondomanan
  • 2009 SPACE/SCAPE Alun-alun Selatan, kolaborasi dengan 11 seniman Teater Garasi, dan 5 seniman visual
  • 2011-2012 Sejarah Komunitas India
  • 2012 Bon Suwung di Ledok Timoho

SPACE/SCAPE: Alun-alun

http://space.kunci.or.id/category/alun-alun/

SPACE/SCAPE dilakukan di alun-alun karena alun-alun sebagai tempat di belakang istana sultan sudah menjadi hal yang biasa, seolah-olah sudah tidak ada lagi hal baru yang bisa dieksplorasi di sana. Tapi justru karena itu, mereka menyadari bahwa ada banyak relasi kuasa yang berlaku di alun-alun ini yang dapat diungkap. Karena itu, SPACE/SCAPE mencoba untuk:

  1. Memetakan dimensi narasi dan performatif yang ada di Alun-alun Selatan
  2. Mengeksplorasi dan mengenal lebih jauh aktor-aktor yang berperan dalam produksi narasi dan performasi di sana
  3. Memproduksi pengetahuan di sana

Pertanyaannya adalah bagaimana produksi pengetahuan ini dapat didistribusikan kembali ke khalayak publik yang lebih luas. KUNCI ingin menciptakan metode-metode alternatif yang mungkin bisa dicapai untuk menafsirkan apa yang terjadi di alun-alun Selatan. Sebagai lembaga, ada keinginan untuk mengkritisi dan mengembangkan aspek kolaborasi sebagai metode kerja, sekaligus juga mempertanyakan dan memaknai “kolaborasi” itu sendiri.

Sebelum presentasi, dilakukan lokakarya panjang (selama 6 bulan) bersama para partisipan, untuk membahas hal-hal apa saja yang bisa dilakukan di Alun-alun. Dari sini muncul pertanyataan-pertanyaan mengenai kolaborasi dan tujuan. Terutama karena ada dua pihak, peneliti dan seniman, yang sama-sama memiliki posisi kuat untuk berkontribusi dalam projek ini. Apakah kontribusi masing-masing hanyalah untuk memperkuat projek, misalnya dengan peneliti memberi landasan konseptual, sementara seniman yang mengerjakan? Karena sebenarnya untuk projek-projek teater mereka di Garasi pun, teman-teman seniman teater juga mengadakan riset sebagai bahan landasan pembuatan naskah teater mereka.

Keterpakuan pada dua hal ini dirasa membuat kerja menjadi terlalu kaku. Selain itu, bagaimana posisi publik di sini? Ada orang-orang yang lalu lalang di sana: preman, pedagang, aparat negara. Karena itulah, wajah dari presentasi ini dibuat sepublik mungkin, agar dengan demikian semua posisi yang terlibat di sana menjadi rata.

Target pengunjungnya adalah orang-orang yang berada di sana. Eksplorasi ruang dilakukan bersama seniman. Bersama-sama turun ke lapangan, melakukan wawancara, mengumpulkan data, dan melakukan observasi. Peneliti berpartisipasi menganalisis bersama seniman. Proses ini menjadi lebih kaya karena mengimitasi satu sama lain.

Bukan suatu kebetulan juga bahwa KUNCI berkolaborasi dengan Teater Garasi, karena mereka memiliki ketertarikan dan minat yang sama. Selain itu, sudah ada pertemanan yang lama semenjak dari kampus, jadi sudah saling mengetahui bagaimana masing-masing berproses, dan bekerja. Mereka sama-sama memiliki ketertarikan pada ruang dan kota.

Dalam lokakarya 6 bulan ini, setiap 2 minggu sekali mereka bertemu. Lokakarya juga tidak melulu dilakukan di KUNCI, tapi juga ke situs untuk observarsi. Sebagai peneliti dan seniman yang sudah familiar dengan situsnya, mereka mencoba untuk lebih teliti memperhatikan hal-hal yang seringkali kita abaikan. Mereka mencoba mainan-mainan yang ada di sana, mencoba jajan, duduk, mengamati dan merekam interaksi orang.

Dalam tiap pertemuan, setiap orang melaporkan hasil turun ke lapangan mereka, untuk dipresentasikan dan dibahas bersama. Ada dua pertemuan besar di mana mereka mengundang pakar perkotaan (Samuel Indratma), selain juga untuk menanggapi isu-isu yang muncul. Setelah itu baru di tahap-tahap akhir dibahas, apa yang kira-kira sesuai dan cocok untuk dilakukan. Ada ide yang bahkan baru terlontar 1-2 hari sebelum acara dimulai, tapi tetap tanggap dilakukan karena dirasa menarik.

Sejarah Komunitas India di Yogyakarta

http://studindia.kunci.or.id/

Projek ini berawal dari ketertarikan pada Jalan Solo sebagai jalan yang banyak diisi oleh toko kain oleh orang-orang India di Yogyakarta. Projek ini dilakukan dengan mengadakan undangan terbuka. Dda sekitar 15 orang yang mendaftar, dengan latar belakang yang berbeda-beda: penulis, pemilik rumah makan, seniman, dan sebagainya. Pekerjaan dilakukan secara kilat, sekitar dua bulan. Satu bulan terakhir digunakan untuk persiapan presentasi.

Proses kerja dilakukan dengan melakukan wawancara ke keluarga-keluarga keturunan India di Yogyakarta. Setiap minggu mereka bertemu untuk membahas hasil temuan. Ini sebenarnya projek yang agak nekad, karena menurut mereka, komunitas India di Yogyakarta cenderung bersifat agak tertutup, dan ada batasan yang jelas antara keturunan India dan warga Yogyakarta. Satu-satunya outlet mereka menampilkan identitas mereka terungkap di toko. Untungnya ada salah satu orang dari komunitas India itu sendiri, Pascal. Melalui Pascal proses ini dapat bergulir dengan lebih mudah. Setelah mengadakan lokakarya, mereka membahas penentuan topik. Ada satu kelompok yang tertarik pada toko, ada yang aktivitas ekonomi, dan sebagainya. Masing-masing kelompok berjalan sendiri-sendiri mencari kontaknya. Data kemudian disinkronisasi. Presentasi dilakukan di dua tempat, pameran arsip di iCAN sebagai bagian dari Yogya Biennale, dan di Jalan Solo dalam bentuk iklan audio dan tur jalan sutra.

Bon Suwung: Wasteland Twinning Project Ledok Timoho – Nottingham

http://space.kunci.or.id/

Peta Ledok yang dibuat berdasarkan penelitian Bon Suwung

Bon Suwung adalah projek kolaboratif untuk menelusuri potensi “tanah kosong” sebagai arena transformasi bagi hubungan manusia dan ruang kota. Projek ini merupakan bagian dari jaringan Wasteland Twinning, yang membajak dari konsep twin cities, bekerja secara bersamaan melakukan penelitian dan aksi di tanah-tanah kosong di berbagai kota di dunia. Ini juga merupakan upaya untuk mempertanyakan makna “tanah kosong”, yang sebenarnya tidak pernah kosong, tapi berhubungan dengan manusia, lingkungan, kondisi perkotaan serta wacana dan praktik ruang yang lebih luas.

Ledok Timoho sendiri adalah kampung yang menghubungkan Bantul dengan Yogyakarta. Karena kampung ini juga seringkali dijadikan objek penelitian LSM dan mahasiswa, ada kecurigaan dari warga pada pendatang. Proses untuk mendapat kepercayaan menjadi sesuatu yang lebih kompleks.

Projek ini berupaya untuk memetakan dan memahami apa yang ada di tanah kosong. Bagaimana orang-orang membangun kehidupan dan konstruksi fisik dengan bayangan bahwa mereka tidak bisa bertahan hidup lama di sana. Selama ini, data-data tentang komunitas ini belum ada, tapi sebagai kesepakatan bersama, data yang terkumpul adalah untuk penduduk sendiri, tidak untuk pihak luar.

Burn Your Idol

http://burnyouridol.yesnowave.com

Presentasi berikutnya adalah Burn Your Idol yang diinisiasi oleh Wok the Rock. Projek ini dibuat dengan latar belakang gejala yang muncul diakhir 1990an hingga awal 2000an, dengan adanya CD ROM writer, dan kemunculan music files mp3 yang banyak tersebar di Internet. Ini menurut Wok mengubah cara penggemar dan penikmat musik menikmati musik. Orang tidak lagi membeli CD tapi ke warnet untuk mengunduh file-file musik—tidak jarang kita temui di warnet ada folder-folder yang menyimpan mp3. Keintiman, kisah pribadi individu dengan musik inilah yang Wok berusaha ungkapkan.

Target projek ini adalah mencapai 1000 CD dari 1000 orang. Sejauh ini baru terkumpul 700 cerita. Wok menerapkan sistem pengarsipan yang konsisten dan rapi. Pada sampul belakang ada sampul orisinal, disertai testimonial dari pembakar kenapa mereka menyukai album tersebut, dan tentunya daftar lagu. Awalnya untuk mengumpulkan CD Work mewawancarai orang-orang yang dia kenal melalui chatting. Tapi akhirnya dia kemudian membuat website, yang jauh memudahkan orang-orang untuk mengirimkan karyanya.

Setelah melihat ada beberapa topik yang sama dan berulang-ulang dari testimonial (misalnya, album ini telah mengubah hidup saya), maka dia pun mengembangkan pengemasan projek ini.  Dibuatlah boxset Collectors’ Edition seperti 25 Albums that Changed Lives.

Golden Memories

http://thegoldenmemories.tumblr.com/

Selama residensi seni di Melbourne, Australia, Januari – Maret 2012 yang lalu, Work mengerjakan projek The Golden Memories, mengumpulkan cerita dari orang-orang Indonesia yang ada di Australia, mengenai musik yang mengingatkan mereka pada tanah air, beserta tentunya, ingatan itu sendiri. Cerita-cerita ini dikumpulkan melalui wawancara dan sesi mendengar bersama, sementara hasil akhirnya dipresentasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari CD-R, mp3, YouTube, dan kartu pribadi dengan QR Code untuk mengakses memori masing-masing individu. Selain menangkap emosi, projek ini juga menyelidiki pergeseran budaya dan pengalaman serta kaitannya dengan perkembangan media dan teknologi.

Makcik Project

The Three Women Collaboration

http://makcikproject.tumblr.com

Makcik Project adalah perkembangan dari Red District Project karya Lashita Situmorang yang bekerjasama dengan pekerja seks dari Sarkem (Pasar Kembang). Lashita membuat studio di lokasi pekerja seks, dan mengadakan lokakarya terbuka di sana. Tujuannya adalah untuk mendorong para pekerja seks berkomunikasi dan berinteraksi.

Ferial Affif dan Jimmy Ong tertarik mengembangkannya dengan kawan-kawan waria di kawasan Ngebong dekat stasiun Tugu, bekerja sama dengan Grace Samboh sebagai kurator. Melalui proses perkenalan dan nongkrong bersama, mereka berupaya menampilkan representasi waria, transgender, tranvesti, transseksual. Dari sini muncul pertanyaan mengenai identitas, performativitas, yang akhirnya juga membuat mereka memilih istilah makcik yang digunakan sendiri oleh para waria. (Selain berarti bibi dalam bahasa Melayu, ternyata makcik adalah kependekan dari mama banci.) Karya yang dihasilkan bermacam-macam, mulai dari KTPS (KTP Spesial), video performance, sudut make-up, kamus makcik (yang dituliskan di tembok pameran di iCAN, dan bebas ditambahi/dikoreksi). Atas usulan Jimmy Ong, mereka juga mencoba melakukan ritual Hungry Ghosts untuk mendoakan teman-teman waria yang telah meninggal.

Arsitek Komunitas

http://arkom.or.id/

Arsitek Komunitas adalah kumpulan teman-teman arsitek yang memilih cara kerja “ndeso”, tidak di belakang meja dengan komputer, tapi dengan palu, papan, dan sebagainya. Mereka muncul karena melihat kampung miskin seringkali dicap sebagai masalah di kota—kumuh, tidak sehat, dan sebagainya. Solusi-solusi yang diberikan seringkali solusi yang tidak sesuai dan dipaksakan, tanpa dialog dengan orang-orang yang terlibat. Melalui Arkom, teman-teman arsitek mencoba membuat solusi alternatif, terutama di pemukiman-pemukiman yang terkena bencana, dan sangat rentan terhadap isu penggusuran dan relokasi. Pengetahuan-pengetahuan individu dikumpulkan untuk mencari solusi. Bagaimana kita bisa mengumpulkan masalah-masalah untuk menjadi kumpulan masalah bersama teman-teman.

Program-program yang dilakukan Arkom pasti memerlukan waktu yang lama. Proses masuk dan mendengarkan warga itulah yang menjadi fokus dan tantangan utama. Arkom masuk ke kampung untuk dolan bersama, tidur bersama, tanpa sebelumnya mengetahui apa yang ingin merkea lakukan. Proses perkenalan ini tidak cepat, membutuhkan waktu kira-kira 3-6 bulan, dan memerlukan waktu dan kesebaran. Teknologi yang digunakan pun apa adanya dari sekitar. Terkadang, dilakukan pertukaran “arsitek” ataupun “tukang” agar ada pewarisan pengetahuan. Metode yang biasa mereka lakukan adalah:

A. Pemetaan:

  1. Survey dan pemahaman komunitas, dari segi fisik, lingkungan, juga sosial dan budaya
  2. Analisis menyeluruh bersama komunitas
  3. Perencanaan bersama

B. Perencanaan

  1. Proses desain
  2. Community management
  3. Finalisasi desain dan persiapan pembangunan

C. Pelaksanaan

  1. Implementasi dan monitoring bersama
  2. Sharing

Menurut mereka, perlu adanya perantara atau Community Organiser yang menjadi bagian dari komunitas. Proses pemetaan komunitas biasanya melibatkan perempuan karena perempuan lebih paham isu-isu rumah dan lingkungan sekitarnya. Selain itu, menurut Arkom, lebih mudah mengajak perempuan daripada laki-laki dalam kelompok tabungan.

Lokakarya diakhiri dengan pengingat bahwa metode berbasis sejarah (yang bisa eksperimental di luar pakem) ini bukan berarti sekedar mengumpulkan informasi secara lisan (atau dengan cara apapun), tapi bagaimana ini bisa menjalin hubungan baik dan memberdayakan individu dan komunitas. Dari lokakarya ini, kita dapat belajar mengenai berbagai hal yang telah dilakukan teman-teman, mendapat banyak ide, masukan, dan penyegaran (mulai dari metode, teori, etika, hingga semangat). Prosesnya masih panjang. Salah satu hal yang paling menyenangkan dari acara seperti ini, adalah kita punya lebih banyak pertanyaan, bukan jawaban. Yang perlu dijaga adalah keberlanjutannya, agar jaringan yang terbentuk tetap terpelihara dan berkembang.

Kalau ada yang bisa diperbaiki, mungkin di masa depan, untuk meningkatkan interaksi, tatanan tempat duduk bisa dibuat lebih interaktif. Mungkin juga bisa memberi “tugas kelompok” untuk membuat sesuatu (entah media, artikel, atau apa). Gara-gara melihat presentasi Antariksa di lokakarya Bulak Sumur UGM, saya jadi terpikir mungkin kita juga bisa membuat “media bersama”, bisa dalam bentuk cetak seperti buletin, bunga rampai, atau online sebagai Facebook/Google group, group blog, jurnal open access, dan sebagainya. Dan mungkin, perlu ada kerjasama juga dengan pihak sistem informasi. Bukannya terpaku pada hal-hal teknis, tapi saya juga merasa pengelolaan informasi—pengarsipan, penyebaran di media, pembentukan jaringan menjadi semakin penting, dan sebenarnya justru seringkali menjadi kendala utama. Semoga ke depannya ini juga membawa kerjasama antar komunitas yang lebih dinamis! :)

Rangkaian kicauan dari lokakarya hari ketiga dapat dibaca di: http://chirpstory.com/li/40879

Email | Website | More by »

Founding director, c2o library & collabtive. Currently also working in Singapore as a Research Associate at the Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Opinions are hers, and do not represent/reflect her employer(s), institution(s), or anyone else with whom she may be remotely affiliated.

Leave a Reply