Secangkir Cerita Manis dari Papermoon Puppet Theater

Papermoon01

Jumat 1 November 2013. Sekitar pukul 18.00 sore saya menginjakkan kaki dari Dinoyo menuju C2O Library untuk menghadiri bincang-bincang manis bersama Maria Tri Sulistyani atau yang biasa disapa Kak Ria, pendiri Papermoon Puppet Theater. Seperti biasa, ada nuansa romansa sore hari yang selalu berhasil diciptakan oleh C2O ketika mengadakan acara di halaman belakang.

Papermoon Puppet Theatre adalah teater boneka yang didirikan pada tanggal 2 April 2006. Berawal dari kegelisahan Ria melihat dunia pendidikan seni di Indonesia, di mana anak-anak diajari untuk meniru, tidak untuk bereksperimen dan berani mencoba hal-hal baru.

“Mungkin dari Sabang sampai Merauke gambaran anak kecil itu sama—dua gunung, matahari di tengah, sawah,” ungkapnya gemes.

Awalnya, di tahun 2006, Papermoon adalah sebuah sanggar anak-anak dengan perpustakaan kecil yang terkadang melakukan pentas boneka. Namun ketika gempa terjadi, jumlah anggota Papermoon menurun drastis. Akhirnya, dari sebuah sanggar anak-anak dengan banyak sukarelawan, Papermoon terpangkas menjadi hanya Ria dan Iwan Effendi, pacar yang kemudian menjadi suami Ria.

Selama ini, pentas boneka identik dengan anak-anak. Ria mengaku mendapatkan perspektif yang berbeda ketika melihat pentas teater boneka yang dibawakan di Goethe Jakarta. Mereka melihat bahwa teater boneka bisa membawakan isu-isu dewasa. Papermoon kemudian mengembangkan media teater boneka sebagai salah satu bentuk penyampaian pesan yang dapat diterima oleh semua publik, tidak hanya anak-anak.

Papermoon02

Ada beberapa pentas seni yang dianggap oleh Ria paling berkesan selama napak tilasnya di Papermoon, yaitu Noda Lelaki di Dada Mona (2008), Mau Apa? (2009-2010), Mwathirika (2010-2013), Secangkir Kopi dari Playa (2011), dan Laki-Laki Laut (2013).

Noda Lelaki di Dada Mona adalah karya Papermoon yang pertama kalinya di tujukan untuk kalangan dewasa. Bercerita mengenai seorang gadis bernama Mona pemilik laundry baju dan dirinya jatuh cinta dengan pelanggan. Mona adalah yatim piatu dan diasuh oleh seorang pensiunan tentara di masa 30 Septermber 1965, dengan begitu kita dapat menyimpulkan bahwa setting cerita ini mengambil tema tahun 65’. Pada posternya, mereka pasang tanda 18+. Dan ternyata, hanya beberapa jam, langsung pemesanan tiket habis. Ini membuktikan bahwa mencoba audience baru di luar target teater boneka biasanya bisa dilakukan. Ya dengan mentargetkan orang-orang 18+ itu, hehehe…

Kemudian “Mau Apa?” adalah pentas Papermoon yang paling menarik menurut saya, karena bentuk pentas yang mereka lakukan adalah berbentuk interaktif, melibatkan para penonton untuk turut ambil peran dalam pentas tersebut. Ini meninggalkan pengalaman baru bagi audience yang menonton, di mana mereka menjadi salah satu aktor pentas pula. Penonton bisa memilih mengambil tema yang mereka inginkan dan menceritakannya. Mulai dari cinta, kekuatan, kesehatan, kehidupan, uang, hingga pergi ke mekkah. Di pentas “Mau Apa?”, Papermoon berkolaborasi dengan Anna Loewendahl (Director of Transvision Art, Australia). Pentas ini dilakukan di beberapa tempat yang berbeda yaitu pasar tradisional, pasar minggu UGM, hingga di New York. Tema yang disediakan pun berbeda sesuai dengan penontonnya.

Pentas selanjutnya ada pada tahun 2010-2013 yaitu Mwathirika yang sekali lagi berbicara mengenai tahun 65’an. “Mwathirika merupakan salah satu karya favorit saya, karena untuk pertama kalinya Papermoon pentas tanpa menggunakan naskah dialog. Kita lebih menonjolkan beberapa suara untuk membangkitkan rasa emosional, dan menggunakan sistem storytelling.”, celoteh Ria. Mwathirika telah tampil di “Asean Puppetry Festival” di Singapura dan di U.S Department of State Bureau of Educational and Cultural Affairs dengan tour di beberapa kota di Amerika.

Pada tahun 2011 Papermoon menampilkan “Secangkir Kopi Playa”. Mengambil tema 65’an, “Secangkir Kopi Playa” diolah dari kejadian sebenarnya, mengenai seorang pria yang menyimpan janjinya ketika dia tak bisa pulang hingga sampai saat ini hidup di Cuba. Pria ini menyimpan janjinya untuk tidak menikah dengan siapapun kecuali dengan kekasih masa lampaunya.

“Lokasi tempat dari pentas Secangkir Kopi Playa ini kami cari di luar gedung pentas biasanya. Kita mengadakannya di sebuah toko barang antik di Yogyakarta. Kemudian Secangkir Kopi Playa di pentaskan kembali pada awal Oktober. Itupun juga dilakukan di lokasi yang unik yaitu disebuah rumah tahun 30’an. Tapi kalau boleh jujur nih ya, C2O Library cocok nih kalau dibuat pentas Papermoon hehe”, ujar Ria. Menurutnya, Papermoon juga sangat menghargai pengalaman penonton ketika melihat pentas mereka. Tidak hanya sekedar antri tiket, menonton, dan pulang, tapi dengan memberikan sebuah stategi meeting point yaitu para penonton tersebut akan dipertemukan di sebuah tempat, kemudian akan disediakan bus untuk menuju tempat rahasia dari tempat pentas tersebut. Ria berharap dengan strategi meeting point tersebut orang-orang akan menemukan tempat baru yang mereka sebelumnya tidak tahu, dan meninggalkan kesan tersendiri ketika melihat Papermoon.

Pentas yang terakhir adalah “Laki-Laki Laut” (2013) diadakan di ARTJOG 2013. Papermoon mulai menyadari bahwa mereka merasa “ketagihan” dengan naskah pentas yang dilakukan dengan berdasarkan penelitian mendalam. Ini adalah format pertama pentas Papermoon yang berkolaborasi dengan koreografer tari. “Laki-Laki Laut” bercerita mengenai kumpulan cerita dari para penjelajah maritim dari berbagai mancanegara yang berusaha menemukan Nusantara.

“Proses riset untuk Laki-Laki Laut ini saya lakukan di daerah Lasem dan Rembang karena di abad ke-15 daerah tersebut adalah bandar yang ramai dan sukses disinggahi oleh berbagai pelayar mancanegara. Namun saat ini daerah tersebut terbengkalai, jauh dari kesuksesan dahulu,” cerita Ria.

“Nah, biasanya kalian pasti cuma lihat Papermoon kuwi pentas melulu toh, tapi jangan salah kita punya beberapa program lain yang rutin kita lakukan juga”, ujar Kak Ria. Program tersebut berbentuk workshop yang digunakan untuk mengenalkan dan menyebarkan “virus” puppetshow ke masyarakat luas, kemudian instalasi visual art, hosting residency program, dan mengadakan Biennal contemporary puppet festival.

“Awal mulanya, residency adalah program non-profit. Kita hanya menyediakan sebuah surat rekomendasi untuk mencari sponsor dan studio untuk mereka bekerja. Kemudian selesai berkarya, ada 2 pilihan yang harus dipilih oleh mereka apakah akan ikut produksi bersama Papermoon atau mereka membuat karya sendiri kemudian kolaborasi bersama Papermoon”, ujar Ria. Untuk program hosting residency, Ria menetapkan beberapa syarat untuk memberikan proposal, lalu di dalam proposal tersebut di cantumkan darimana mereka mengetahui Papermoon, kemudian klasifikasi mengenai karya mereka, dan alasan tertarik untuk belajar bersama Papermoon. Ini semua dimasudkan untuk membangun chemistry antar seniman.

Jika biasanya kita terpukau dengan meriahnya pentas mereka, tanpa disadari man behind the show dari Papermoon tersebut hanya terdiri dari 6 tim inti. “Saya yakin, semua orang sebenarnya bisa push the limit kok. Asalkan mereka niat aja”, ujar Ria. Tim inti tersebut adalah Ria, Iwan Effendi, Anton Fajri, Beni Sanjaya. Octo Cornelius, dan Wulang Suni. Dengan semangat dan kecintaan yang tinggi pada seni pertunjukan, seni visual dan dunia pendidikan, Papermoon Puppet Theater berhasil membawa atmosfer yang berbeda di ranah seni di Indonesia khususnya kota Yogyakarta.

Percakapan mulai bertambah seru ketika Ria bersedia membocorkan program baru dari Papermoon. “Tahun depan ada program baru yaitu Puppa yang memiliki tujuan untuk memberikan hibah pembibitan bagi mereka yang ingin belajar menjadi seniman teater boneka. Bagaimana caranya? Kita akan memberikan modal untuk belajar membuat boneka, dan juga Papermoon akan mengikuti proses perkembangan sejauh mana mereka telah belajar. Kemudian hasil dari pembelajaran mereka akan ditampilkan di Festival berbarengan dengan Internasioanal Puppet Company”, ujar Ria.

Gema Swaragita salah satu anggota Laring Projects mengajukan beberapa pertanyaan yang sedikit membuat saya tergelitik: pertama, pertanyaan mengenai proses pemilihan seni puppet; kedua, tentang idealisme seorang seniman kontemporer, dan ketiga, pembagian job desc dengan Papermoon yang hanya terdiri dari 6 tim inti.

“Papermoon Puppet Show pada awalnya hanya Papermoon saja. Nah, puppet show adalah bentuk kegelisahan saya mengenai dunia pendidikan seni karena tidak dapat dipungkiri hingga saat ini anak kecil masih diajarkan untuk melakukan imitasi. Mereka tidak pernah diajarkan untuk bebas membuat apa yang mereka inginkan sebenarnya. Kemudian alasan kedua adalah karena selama 4 tahun dahulu saya bermain teater namun tidak menemukan chemistry yang ‘klek’ dengan teater manusia, maka dari itu saya memilih Puppet show.”

“Mengenai sponsor, marketing, dan tetek bengek di dalam Papermoon ya? Hmm sebenernya nih, kalau boleh jujur yo Papermoon kuwi jarang dibayar mbak hehe. Tapi kita punya investasi besar yang harus kita jaga, yaitu audience. Caranya? Jika kita sudah memiliki publik, ya harus kita jaga toh. Kita adalah anak kandung dari sosial media, gunakan hal tersebut sebagai media edukasi publik contohnya nih kita share beberapa sneak peak project kita deh! Jangan hanya jualan saja—pasti kita akan ditinggal kalau kita tidak berinteraksi dengan audience.”

“Untuk segi dana Papermoon, yah gitu buk bisa dapat dari subsidi silang hehe”, ungkap Ria kepada Gema. Contoh subsidi silang yang berdampak besar bagi Papermoon adalah crowdfunding yang di adakan di Jakarta, Surabaya, dan Online. Crowdfunding dibuat dengan sistem paket ticketing yaitu 50.000 s/d 3.000.000 keatas. Contohnya, pada paket 50.000 akan mendapatkan ucapan terima kasih, dan foto dengan Papermoon. Paket 100.000 bisa mendapatkan tambahan postcard Papermoon. Yang menakjubkan adalah untuk paket 3.000.000 kita bisa mendapatkan boneka Papermoon Puppet. Smart strategy, right?. Dan terbukti bahwa 70% dari budget Papermoon didapatkan dari Crowdfunding.

Menjawab mengenai issue idealisme yang terjadi di dalam seniman kontemporer, Ria mengatakan bahwa di dalam Papermoon kita mendorong kawan-kawan tim inti untuk selalu dapat berdiri di atas kakinya sendiri. “Tidak hanya di Papermoon saja mereka dapat berkarya, lebih bagus lagi jika mereka dapat berkembang di luar Papermoon. Namun untuk saat ini untungnya ‘anak-anak’ masih menyadari bahwa Papermoon adalah aset masa depan mereka. So, intinya kita saling membantu satu sama lain untuk menjadi person yang berkembang. Contohnya saja seperti Octo yang baru saja pulang pameran tunggalnya di Singapura, disini saya juga ikutan support dia dengan bantu bikin konsep, dan proposal”, ujar Ria. Ria juga mendukung mencarikan teman untuk memberi kursus bahasa Inggris pada timnya. Ada kebanggaan yang tersirat ketika Ria bercerita bagaiamana timnya yang di awal pertemuannya bekerja sebagai tukang batu, dapat dengan percaya diri ke luar negeri menunjukkan karya mereka.

Pertanyaan menarik datang dari Mudha, “Di Kota Surabaya ini, yang namanya hiburan itu masih dipandang sebelah mata nggak kayak di Yogyakarta. Khususnya hiburan yang dapat dikatakan sidestream, di Surabaya masih kurang dominan. Aku merasa publik di Surabaya berbeda dengan di Yogya karena perbedaan kultur, disini kita seperti tidak publik mbak”.

Dengan cekatan Kak Ria menjawab, “Saya belajar seperti ini itu dari Teater 1 Lampung. Disana tidak ada publik sama sekali, tapi aku sing ngopeni anak-anak Lampung, ora peduli karo wong dewasa yang katanya pinter itu haha. Lah dalah, sama saja sebenarnya mas kalau di setiap kota. Di Yogya, dulu aku selalu dikatain sama orang-orang kalau aku kurang kerjaan, wong kardus kok dike’i moto wae haha!. Kalau Mas tidak punya publik di Surabaya, kita bikin publik itu sendiri Mas. Jangan apatis dulu! Maka dari itu bergerombolah dengan orang yang membuat kita produktip, dan bisa bikin kita maju.”

Serunya, permasalahan mengenai publik Kota Surabaya juga ditanggapi oleh Denan Bagus yang menyatakan bahwa orang Surabaya adalah masyarakat yang kurang konsisten. “Jika kita mau fokus di bidang A ya ditekuni, kalau konsisten itu kita bisa cenderung lebih fokus dan lebih tercapai keinginannya”, celetuk Denan. Ria mengatakan bahwa konsisten adalah salah satu kunci sukses dari Papermoon, karena menurut Ria lebih baik mengadakan sebuah pentas tapi konsisten rutin di lakukan ketimbang melakukan pentas besar tapi jeda waktunya berbeda jauh.

Papermoon04

Dan pertanyaan terakhir datang dari Andrew Budiman, “Mbak Ria, bisakah memberi kita tips bagaimana caranya menjalin hubungan kerja sama antar lintas disipliner yang ‘adem ayem’ dan dibarengi dengan cara mempelajari sesuatu hal dengan otodidak?”

Menjawab pertanyaan Andrew, Ria berceloteh riang, “Aku selalu penasaran dengan hal-hal baru Mas, dengan hal yang penasaran tersebut kita akan secara otomatis ikutan cari tahu apa sih itu. Lalu, saya merubah sikap saya yang selalu mengkritik ketika melihat karya orang lain dengan cara memberikan imbuhan yang positif. Daripada mengkritik atau menjelek-jelekkan, saya mencoba lebih memberi masukan konstruktif, bagaimana asyiknya jika mengadakan kolaborasi bareng dengan seniman tersebut. Kolaborasi nggak usah mikir gede mas, mikir yang sederhana aja tapi cocok.”

Di akhir sesi sharing tanya jawab, Ria sedikit berbagi dan mengenalkan boneka yang ia bawa. Lagi-lagi, Ria berhasil membuat audience terpukau dengan lucunya boneka Papermoon. “Ini namanya Cik Mei Mei, dia yang berhasil membuat saya mengenal banyak orang baru ketika riset di Lasem dan Rembang. Dari awalnya orang-orang dewasa mengacuhkan kami, melihat Cik Mei-mei langsung heboh dan ramah,” kata Ria.

“Jadi sepertinya, kita itu memang butuh perantara berkomunikasi, dan boneka itu medium yang tepat sekali,” ungkap Ria mengakhiri sesi berbagi yang sangat inspiratif malam itu.

Foto oleh Erlin Goentoro.

Email | Website | More by »

Salah satu tim Joy Division C2O. Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi di Universitas Widya Mandala Surabaya. Sangat senang menulis sajak, esai, dan berbagai macam tulisan. Pecinta fotografi, yang telah memainkan biola klasik sejak kelas 4 SD hingga sekarang.

Leave a Reply