Mengingat Lapindo

MengingatLapindo-C2O
Foto oleh Lutfi Amiruddin

Mengingat Lapindo
Diskusi oleh Anton Novenanto (Kandidat doktor pada Institut für Ethnologie, Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg)
Esai foto oleh Lutfi Amiruddin (dosen pada Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang)

☞ Senin, 10 November 2014, pk. 18.30 – 21.00
C2O library & collabtive, Jl. Dr. Cipto 20 Surabaya

Tahun 2016 nanti semburan lumpur Lapindo akan memasuki satu dasawarsa. Sampai saat ini, ratusan ribu warga Porong telah tergusur paksa dari hunian mereka sebagai akibat dari luapan lumpur panas yang tak kunjung berhenti itu. Selain luapan lumpur telah menenggelamkan 800 hektar lahan produktif, dampak ekologis dari gununglumpur sangat determinan bagi penurunan kualitas daya tunjang kehidupan wilayah di sekitarnya. Sementara kita telah menyaksikan kedahsyatan lumpur Lapindo, menurut para geolog semburan akan terus berlangsung secara masif selama 30 tahun dan akan berlanjut untuk menyembur dengan volume yang lebih kecil untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Ini artinya, bila prediksi para geolog itu benar, dampak lumpur Lapindo yang kita saksikan sampai saat ini belumlah sepertiga dari yang mungkin terjadi.

Jika bencana diartikan sebagai kehancuran, maka Mengingat Lapindo merupakan sebuah aktivitas yang ditujukan untuk merekam proses penghancuran yang sedang terjadi. Semburan dan luapan lumpur Lapindo memang membawa pada kehancuran, namun politik bencana lumpur Lapindo adalah bencana yang lebih mengerikan karena dia berbicara tentang penghancuran. Dan yang terjadi di Porong adalah sebuah “penghancuran yang terencana,” begitu kami menyebutnya dan begitu pula seharusnya publik melihat apa yang sedang terjadi di Porong.

Sementara banyak dari kita yang “buta” terhadap fenomena semburan lumpur – yang sebenarnya banyak ditemukan di Jawa -, masih sedikit dari kita yang tahu tentang sejarah Porong yang saat ini sudah dan sedang menjadi, apa yang disebut Foucault sebagai, “heterotopia,” wilayah “alter”. “Porong” merupakan sebuah monumen ekologi-politik yang sangat penting bagi Jawa sejak Zaman Kahuripan. Posisi strategis Porong pun berlanjut di Zaman Kolonial, khususnya paska Undang-Undang Agraria 1870, dan di Zaman Orde Baru. Perubahan drastis terhadap Porong terjadi, tentu saja, paska semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006. Porong yang dulunya adalah wilayah produktif telah menjadi wilayah yang mangkrak, ditinggalkan, tak bernilai. Meskipun telah menjadi heterotopia, pertarungan kuasa terhadap wilayah tersebut bukannya semakin surut melainkan semakin akumulatif.

Mengingat Lapindo adalah serangkaian aktivitas yang ditujukan untuk merekam dan mereproduksi ingatan publik atas Kasus Lapindo dan penghancuran terencana yang sudah, sedang dan akan terjadi atas Porong. Usaha dokumentasi dan reproduksi ingatan-ingatan tersebut diharapkan dapat menjadi sebuah media kampanye untuk menjalin solidaritas publik terhadap kondisi sosial-ekologis yang hancur oleh daya rusak lumpur Lapindo. Di antara pelbagai macam media komemoratif, foto merupakan salah satu yang paling jamak dikenal oleh publik luas. Sebuah foto diambil karena sang fotografer merasa momentum itu layak untuk dikenang. Sebuah foto membawa imajinasi kita tidak berhenti pada momentum yang diambil namun juga konteks sosial-budaya yang melatarbelakangi sebuah momen untuk terjadi. Melalui bingkai foto, kita memproduksi pengetahuan atas suatu momen di masa lalu dan proses produksi pengetahuan adalah selalu proses pertarungan kuasa.

INFO
info@c2o-library.net
Telp/WhatsApp: +62 816 1522 1216
BB Pin: 7581F299

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply