Kota-kota Imajiner

kotakotaimajiner

What is it between real and surreal, but perspective –

Novel yang sulit, jika tidak mau disebut menyesatkan, bukan dalam arti negatif tentu saja. Yang pertama, saya ingin menyampaikan rasa salut saya pada penerjemahnya. Silahkan googling tentang review dari Kota-kota Imajiner atau dalam bahasa Inggrisnya The Invisible Cities. Disitu anda akan menemukan betapa bahasa yang digunakan oleh penulisnya yaitu Italo Calvino, adalah kombinasi dari prosa dan puisi. Imajinasi tingkat tinggi dipadu dengan kefasihan bahasa, jadinya adalah Kota-Kota Imajiner. Tidak mudah menerjemahkan sebuah paragraf yang penuh dengan metafora dan simbol-simbol yang membuat saya harus mendorong otak saya untuk memvisualisasikan setiap kota dalam novel ini. Hasilnya, tentu saja gagal. Imajinasi saya tidak pernah utuh, hanya sepotong-sepotong. Calvino memberikan lapisan yang cukup banyak dalam setiap kalimatnya, sehingga bagi saya, setiap kata dan kalimat bisa jadi sebuah pesan, atau anagram, atau piktograf yang memiliki makna ganda, bahkan lebih. Sangat kompleks sekaligus cantik.

Deretan nama kota yang asing seperti Anastasia, Cecilia, Tamara, Theodora, Zoe, Melania, Oktavia, Dorothea, dan nama-nama lain membuat saya membayangkan kota-kota di film Lord of the Ring. Kota purba yang megah dan mulia. Calvino mendeskripsikan masing-masing kota seperti ia mendeskripsikan manusia. Apakah kota dan manusia memang saling terkait? Kotakah yang membentuk manusia? atau manusia kah yang membuat kota sebagai representasi diri mereka? Calvino membuat sebuah kota terasa begitu manusia. Kelahiran, kehancuran, kenangan, dan hasrat manusia lah yang menentukan sebuah rupa kota.

Tuanku, selagi kota-kota unik nan abadi itu membangun dinding-dinding bajanya, hamba mengumpulkan abu dari kota-kota lainnnya yang lenyap untuk memberi ruang kepadanya, kota-kota yang tidak pernah bisa diingat atau dibangun kembali (hal-68)

Hampir semua kota dideskripsikan dengan meletakkan elemen-elemen berlawanan. Keindahan dan kematian. kemegahan dan kebobrokan. kemuliaan dan kebusukan. Sebuah cerminan tentang kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan, keabadian dalam kehilangan. Calvino menceritakannya seperti sebuah dongeng, atau ode untuk mereka yang berjarak jutaan tahun cahaya. Ini masuk akal jika melihat pada awal karirnya, Calvino adalah seorang pengepul dongeng. Semacam Grimm Bersaudara dari Italia. Ia mengumpulkan dongeng dari seluruh penjuru Italia dan menerjemahkan dongeng-dongeng dalam 200 dialek yang berbeda ke dalam bahasa Italia. Tak heran jika dalam Kota-kota Imajiner, aroma dongeng dan cerita rakyat sangatlah kental, disamping penggunaan bahasa yang lebih mirip bahasa puisi dibanding prosa.

Sebagai motif munculnya kisah kota-kota imajiner, Calvino mengambil sebuah peristiwa sejarah, yaitu saat Kubilai Khan bertemu dengan Marco Polo sang penjelajah dunia. lewat Polo, mengalirlah kisah-kisah yang berada nun jauh di sana.

Sebagai seorang kutu buku, saya merasa bahwa novel ini cukup rumit, entah karena proses penterjemahannya, atau memang muatan novelnya yang berat sekaligus ‘melayang’, saya tak bisa simpulkan. Namun di setiap akhir deskripsi, saya selalu dibuat merenung, dan kembali menyelami kata demi kata yang baru saya saya tamatkan bacanya. Mencari celah celah yang saya lewatkan, dan walaupun sudah menemukan, saya tetap tak bisa merangkai satu kota secara utuh.

Email | Website | More by »

A Literature Enthusiast. A book worm. Cold-brew lover.

Leave a Reply