Japanscope 06: Connecting the Dots from Local to Global with New Media

Ai Goto Araki Memperkenalkan Japan Foundation Jakarta

Setelah acara pembukaan Warung Hati berakhir, di hari yang sama, Sabtu 14 Januari 2017 C2O Library juga menjadi tempat untuk acara Japanscope. Sambil duduk santai dengan segelas smoothies yang belum habis saya memerhatikan sudah ada beberapa anak muda sedang duduk dan menunggu, terlihat tak sabar untuk segera masuk ke acara Japanscope. Sekilas yang saya tahu, Japanscope adalah acara diskusi yang di selenggarakan Japan Foundation. Jarang sekali saya mengikuti diskusi berunsur lintas negara seperti ini, maka dari itu untuk menghabiskan siang ini, saya sekalian ikut bergabung dengan peserta lainnya untuk mengintip acara Japanscope.

Acara dimulai tepat jam 13.30. C2O Library di Jl.Dr Cipto 22 Surabaya, sudah di ramaikan dengan beberapa anak muda yang antri untuk registrasi acara Japanscope. Aku mengambil duduk bergabung dengan beberapa peserta. Awal pembukaan, MC bercerita sedikit tentang Japanscope. Japanscope memang sebuah ruang diskusi yang mengaitkan issue yang terjadi di Jepang dan di Indonesia. Ini adalah pertama kalinya acara Japanscope bertempat di luar kota. Biasanya, Japanscope diadakan hanya di Jakarta. Beruntung, Surabaya adalah kota pertama yang mendapatkan forum diskusi Japanscope. Ini adalah acara Japanscope yang ke 06. Untuk Japanscope yang ke 1 sampai 5 tentunya dilaksanakan di Jakarta. Kali ini tema Japanscope adalah ‘Connecting the Dots from Local to Global with New Media’. Makna dari tema tersebut adalah mengangkat hal-hal yang bermula dari sekitar kita (lokal) untuk di kenal lebih luas melalui media yang baru.

Uniknya, acara ini tidak memiliki moderator, namun moderator di ganti dengan seorang navigator. Navigator untuk Japanscope adalah bapak Fadjar. Presenter Japanscope 06 adalah Hendy Reginald, Ari Kurniawan, dan Bonni Rambatan. Tentunya kali ini ada tamu spesial yaitu Ai Goto Araki, assistant director di Japan Foundation Jakarta. Ai Goto Araki datang untuk memperkenalkan Japan Foundation yang ada di Jakarta. Setelah Ai Goto memperkenalakan Japan Foundation, para peserta diskusi dipersilahkan bisa sambil menikmati snack dan minuman yang disediakan panitia.

Setiap presenter memiliki topiknya masing-masing. Presenter pertama, Hendy, memiliki topik : Pembelajaran Bahasa Jepang Berbasis Online Learning. Peserta diskusi banyak yang merupakan peminat bahasa atau budaya Jepang—beberapa mempelajari bahasanya. Di sini Hendy berbagi tentang online learning yang biasa ia lakukan menggunakan aplikasi Zoom. Aplikasi Zoom ini hampir sama dengan Skype, tapi jika menggunakan aplikasi Zoom terdapat keuntungan yang berlebih, seperti : mouse control, paralel class, share screen. Hendy juga mempunyai online class untuk belajar bahasa Jepang. Ia berbagi tentang buku Marugoto yang sangat memudahkan untuk belajar bahasa Jepang.

Presenter kedua adalah Ari Kurniawan, yang juga merupakan bagian dari tim C2O sebagai koordinator sukarelawan dan peneliti. C2O juga mengelola website lokal untuk kota Surabaya yaitu, Ayorek! Ari terpilih sebagai salah satu peserta program Young Intellectuals in Southeast Asia 2015 lalu, dan saat itu, Ari berkunjung ke kota Noto. Di sana, Ari melihat kegiatan-kegiatan warga sekitar di perkotaan dan di pedesaan yang yang ada di kota Noto.

“Sekarang ini, informasi yang membludak membuat kita tertelan arus. Sehingga kita malah sulit, atau lupa, memahami pengetahuan lokal sekitar kita.”

Begitulah kira-kira ucapan Ari yang saya ingat. Ia berkata seperti itu, karena ia melihat warga di Noto mampu hidup dengan memahami dan mengolah banyak hal yang ada di sekitar mereka. Seperti bahan-bahan makanan untuk dimasak, yang diolah dan dipanen dari perkebunan di sekitarnya. Yang dilakukan adalah pemanfaatan tumbuhan, dan kegiatan ini terekam dalam website lokalnya. Sesekali warga Noto berkeliling ke kota-kota lain untuk memasak dan makan bersama dengan kota tetangga, menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitarnya.

Hal tersebut, membuat kita lebih peka dengan pemaknaan dan pemanfaatan lingkungan di sekitar. Ini mirip dan juga memberi inspirasi untuk projek yang dikerjakan C2O di Ayorek di mana Ari juga terlibat: upaya untuk mengamati, mencatat, memahami, dan mengembangkan perkembangan kota Surabaya, seperti tempat umum, acara,komunitas, dan lain-lain.

Presenter terakhir adalah Bonni Rambatan, tentang observasinya saat ia berada di Jepang. Bonni mengamati usaha Jepang mempopulerkan karya-karyanya. Sehingga, jika kita melihat suatu karya dan langsung dapat menebak, “Wah, ini dari jepang nih”. Bonni bercerita, Jepang telah melakukan beberapa usaha untuk mempopulerkan karya-karyanya. Dengan menonjolkan karakter, seperti Pokemon, Jepang mempromosikan Pokemon melalui apa saja. Menggunakan game, souvenir, makanan dan lain-lain. Ketika Bonni kembali ke Indonesia, ia membuat website yang bertema Interactive Comics That Shape The Next Generation di www.naobunproject.id. Di website ini, dipaparkan games, komik, dan issue sehari-sehari di sekitar kita.

Setelah seluruh presenter selesai memberikan materi, ada sesi tanya jawab yang mengalir menjadi forum diskusi yang menyenangkan. Japanscope cukup menarik buat saya, karena ada perbandingan antara negara yang sudah maju seperti Jepang, dengan negara berkembang seperti Indonesia. Selain itu, kita juga dapat merefleksikan diri dan memperluas wawasan tentang bagaimana negara-negara maju bisa menonjolkan karya yang mudah dikenali orang-orang. Buat saya, masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki karya dengan gayanya masing-masing. Namun terkadang ketika kita membuat karya, kita kurang memberikan taste atau rasa untuk terus mempertahankan keunikan setiap karya kita. Tentunya jika kita tidak bisa mempertahankan taste pada karya tersebut makan kita tidak akan tuntas untuk menjadikannya sebagai identitas.

Leave a Reply