Catatan diskusi “Kontrak kerja Freelance di industri media dan kreatif”

Bekerja sebagai Pekerja Lepas atau Freelance sudah menjadi tren di era ekonomi digital saat ini. Namun, seringkali para pekerja lepas tersebut menemui kendala seperti upah yang sering telat dibayar, kurang sebanding dengan hasil pekerjaan mereka, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Mereka juga sering bekerja lembur tanpa mengenal batas waktu, tidak ada jaminan sosial, kesehatan, serta perlindungan keselamatan kerja. Hal tersebut terjadi karena belum ada instrumen hukum yang jelas yang mengatur hubungan kerja seperti ini.

Melihat fenomena-fenomena tersebut, SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi) bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Pers merencanakan penyusunan buku panduan kontrak kerja freelance di industri media dan kreatif. Dalam rangka penyusunan buku panduan tersebut, SINDIKASI mengadakan diskusi terbatas bersama para pekerja lepas dari berbagai sektor di Bandung, Surabaya dan Jakarta.

Untuk diskusi yang diadakan di Surabaya, SINDIKASI bekerja sama dengan PERIN+IS | C2O pada hari Sabtu, 13 April 2019, pk.13.00-16.00 di C2O. Diskusi yang dihadiri oleh 17 peserta ini dibuka oleh Kath, pembina C2O dan dilanjutkan oleh Alfa, perwakilan dari SINDIKASI.

Adapun ringkasan hasil diskusi sebagai berikut:

Tentang Kontrak Kerja

Berbagai pengalaman kerja yang berhubungan dengan kontrak kerja yang secara umum para peserta banyak yang tidak memiliki kontrak kerja ketika menyepakati satu kerja, dan menjalin hubungan kerja.

Salah satu pengalaman yang sering muncul adalah tentang perubahan yang terjadi di dalam kontrak kerja yang dilakukan oleh pihak pemberi kerja. Salah satunya adalah pengalaman dari Maya yang dikontrak untuk kerja sosial media, namun pada akhirnya juga melakukan kerja fotografi dan sosial media padahal sebelumnya sudah dikatakan bahwa akan ada orang tersendiri yang melakukan kerja fotografi dan sosial media, namun di Hari H hal itu dianggap bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun tambahan kerja tersebut tidak dibarengi dengan tambahan upah padahal hal ini juga berdampak pada tambahan beban dan waktu kerja. Mengingat tambahan kerja ini dimintakan pada hari H, membuat pihak penerima kerja mau tidak mau tetap melakukannya.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Teguh yang bekerja untuk arsitektur. Kebohongan kontrak ini seperti hal yang umum, di mana klien selalu mencari celah untuk menambah beban kerja. Namun saat ini Teguh merasa harus ‘bandel’ atau cuek untuk tidak menanggapi permintaan tambahan kerja. Selama pekerjaan cukup strategis, maka bandel tersebut tidak memiliki dampak yang cukup berarti. Semua ini dalam artinya patuh pada kontrak kerja, sekalipun tetap bisa didiskusikan sepanjang masih masuk akal.

Nita yang seorang ilustrator lebih banyak bekerja dengan teman agak sulit untuk meminta kontrak kerja karena hubungan pertemanan ini. Namun jika dengan kontrak ia hanya membatasi revisi sebanyak dua kali, dan semua itu tertulis via email. Pengalaman tak menyenangkan ketika hasilnya sudah selesai, yang awalnya sudah ok namun kemudian pemberi kerja tidak suka warnanya dan tidak mau hasil kerjanya. Nita memilih untuk tidak mau melakukan revisi dan melanjutkan kerjanya karena tidak sesuai dengan kesepakatan bersama. Ia tak mempermasalahkan ketika tidak menerima pembayaran penuh karena di depan ia sudah mendapatkan DP untuk kerja tersebut.

Ajeng seorang dekorator dan ilustrator sering mengalami keterlambatan pembayaran upah dari pihak pemberi kerja karena pemberi kerja adalah subcont dari pihak pertama yang juga telat memberikan fee. Ajeng sebagai pekerja yang berada di rantai paling bawah harus menerima beban telat pembayaran upah karena rantai kerja yang berlapis ini telat memberikan pembayaran.

Pengalaman seperti itu membuat Ajeng di kemudian membuat kontrak kerja di awal bahwa dengan pembayaran yang minim dia ingin tidak ada revisi, kecuali revisi yang sifatnya minor, dan harus ada DP juga.

Selama ini kebanyakan dari para pekerja ini melakukan kesepakatan melalui chat, atau email, atau komunikasi langsung karena klien adalah pihak dari teman. Persoalan klien dari teman ini memang menjadi sering problematika yang biasanya buruk dalam hal urusan pembayaran yang lebih murah.

Reno yang menjadi jurnalis lepas juga mengalami hal yang sama dengan hubungan pertemanan yang pembayarannya sangat tidak manusiawi dengan memanfaatkan relasinya. Namun ketika berhubungan dengan industri, ia lebih pada soal keterlambatan pembayaran.

Pada berbagai pengalaman ini kontrak kerja dirasa menjadi penting bagi para peserta mengingat jika menggunakan kontrak kerja saja masih ada masalah, apalagi jika tidak ada.

Upah

Terkait dengan standar upah untuk pekerja freelance para peserta memiliki beragam perhitungan. Misalnya di desain interor seperti ada standar umum yang tidak tertulis untuk fee sebuah project. Semakin besar nilai projectnya makan akan semakin sedikit prosentase feenya, dan sebaliknya. Jumlah fee biasanya antara 1-5% dari nilai project, ini seperti konsensus bersama tak tertulis. Hal ini juga terjadi di dunia kerja arsitektur.

Pada umumnya besaran harga fee untuk menilai diri atau hasil kerja dilihat dari kualitas yang dihasilkan, juga berdasarkan pengalaman, CV, pendidikan yang ditempuh. Namun pengalaman Anita sedikit berbeda karena dia mencoba menilai dirinya dengan cara memperbandingkan dengan orang lain yang dirasanya lebih baik. Dari situ dia akan bisa menilai berapa kira-kira harga yang akan ditawarkannya, termasuk dengan perbandingan harga di Jakarta dan Surabaya.

Seorang desainer lain mengatakan bahwa penilaian harga yang dilakukan berdasarkan waktu kerja yang dia perkirakan untuk bisa menyelesaikan satu project. Untuk pekerjaan yang lumayan sulit dan panjang, dia akan memberikan nilai yang berbeda. Begitu pula dengan klien yang dari luar negeri akan diberikan harga yang berbeda. Ia juga menilai harga dari desainnya dengan menghitung kira-kira berapa besar impact dari hasil kerja yang dilakukannya bagi si klien. Dengan menjabarkan manfaat dari produk yang dibuat, klien akan lebih lunak untuk bisa memberikan harga yang lebih layak. Untuk berbagai lisensi atau aplikasi yang dibutuhkan untuk sebuah kerja, ia meminta klien untuk membelikannya. Dan ketika project sudah selesai, ia masih bisa menggunakannya.

Reno yang berprofesi sebagai jurnalis, untuk kebutuhan yang sifatnya mendasar untuk kebutuhan liputan seperti uang transport, uang makan, komunikasi, penginapan, dll., biasanya sudah dicover oleh pihak pemberi kerja.

Seorang penari di sebuah kelompok teater secara kolektif bersama komunitasnya mengajukan anggaran kepada pemerintah untuk sebuah pertunjukan, lalu setelah didapatkan akan mulai diolah anggarannya. Proses latihan sebelum pertunjukan tidak dihitung sebagai kerja sehingga tidak mendapatkan fee. Terkait nilai biasanya dilihat dari kualitas aktornya, pemeran utama pasti lebih tinggi, sementara pemeran pembantu pasti akan lebih rendah. Untuk alat kerja seperti lampu atau lainnya itu milik komunitas. Selama proses latihan biasanya hanya mendapatkan makan, tanpa uang transport. Bahkan untuk orang-orang baru kadang seperti kerja sosial.

Seperti ada senioritas dan junioritas, yang lebih lama di komunitas seperti lebih berhak menentukan pembagian atau pengelolaan anggaran. Fee baru akan dibagikan setelah pertunjukan selesai. Tapi kita tidak mengetahui seperti apa pengelolaan anggaran.

Pengalaman Anita yang bekerja sebagai manajer musik yang mengelola secara independen dan kolekteif lebih banyak menghindari pembiayaan dari pemerintah karena lebih sedikit pendapatannnya, dan tidak diperbolehkan untuk menjual tiket. Namun untuk penggunaan tempat memang lebih banyak menggunakan gedung pemerintah karena lebih murah, sehingga bisa mendapatkan keuangan yang lebih baik (saving). Memang untuk fee bagi Silam Pukau, band yang dia manajeri telah mengikuti fee standar jakarta untuk saat ini, namun dulunya tidak. Di surabaya bisa dibilang tidak ada industri musik, yang ada hanya pentas seni saja. Saat membuat album pertama memang membuat sosmed, rilis, dan musik yang sudah mencoba mendorong menyamai jakarta.

Klien dari para peserta pekerja freelance tak sedikit yang mendapatkannya dari luar surabaya atau luar negeri. Hal ini dianggap lebih baik ketimbang klien di surabaya. Karena tanpa perlu kehadiran dan tatap muka hanya berkomunikasi via email, akan memudahkan kerja dan sedikit permintaan. Bahkan bagi Nita, dia mendapatkan pengalaman dari klien luar surabaya untuk membuat manajemen. Misalnya dengan mengirimkan invoice, proses pengiriman hasil kerja, dll. Sementara di Surabaya, kecenderungannya adalah kliennya selalu ingin ketemu, untuk hal yang sebetulnya bisa dilakukan via email dan lebih praktis. Sementara untuk ketemu harus keluar, ada biaya transport, konsumsi, dll.

Pengalaman seperti Nita ini tak hanya dialaminya, beberapa peserta juga merasakan seperti hal tersebut. Ketika mendapatkan klien dari luar ngeri atau luar surabaya justru kerap mendapatkan arahan kerja atau hubungan kerja yang lebih baik. Misalnya membuat proposal terlebih dahulu, invoice, dll. Adapun nilai fee dari luar negeri tentunya juga dirasa lebih baik.

Waktu Kerja

Di teater atau EO ini cukup banyak pengalaman waktu jam kerja yang lebih dari delapan jam. Terlebih sehari sebelum acara mulai, maka jumlah waktu kerja akan sangat banyak. Ini problematis ketika si pihak EO tidak memposisikan pekerja sebagai mitra yang setara. Pengaturan jam kerja dari pemberi kerja, sementara bagi EO kolektif kita yang mengatur jam kerja. Namun sejauh ini Riza yang bekerja di EO ini mencoba mengatur waktu tim, karena ini berhubungan dengan kesehatan. Jika diforsir dalam satu hari maka akan sangat berdampak pasca acara. Jika memang waktu kerja butuh lebih banyak kerja menjelang acara akan membuat sistem kerja shift, atau lembur yang menyediakan berbagai kebutuhan makan, rokok, dll.

Maya sebagai sosial media strategist kerap kali diminta untuk membuat postingan pagi di luar jam kerja. Banyak sekali request tambahan dari klien. Banyak klien yang tidak mempedulikan jumlah jam kerja, dan cara sejauh ini yang dilakukan oleh Maya adalah dengan sedikit mengeyel kepada klien.

Teguh sejak awal mengatakan kepada klien deal di depan sebelum menerima sebuah project, dan mematok waktu kerja selama empat jam sehari karena ia juga masih kerja tetap. Ini terjadi hari ini setelah kerja cukup lama, di mana sebelumnya ia tidak pernah mempedulikan soal jam kerja, jaminan sosial, dll., dalam arti tidak mempedulikan diri.

Pengalaman Teguh juga dirasa cukup unik karena ketika dahulu benar-benar bekerja freelance, ia merasa lebih malas untuk bekerja di rumah. Sehingga ia memilih bekerja di luar, walau harus mengeluarkan biaya untuk transportasi dan konsumsi jika bekerja di cafe.

Namun baginya, klien harus juga merasa perlu lebih memahami bahwa kerja freelance itu tidak seperti pekerja biasa kantoran. Jam kerja delapan jam itu tidak serta merta bisa diterapkan di freelancer. Salah satu pemecut kerja bagi Nita adalah ketika tidak kerja maka kita akan bokek.

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

Anitha yang memulai freelance sejak 2012 dan bekerja sebagai konsultan pemerintah, lalu sebagai EO besar di surabaya. Saat itu kerja gila-gilaan dan sampai merasa sakit. Lalu memutuskan tahun 2018 bekerja di EO lain. Sakit ini menjadi titik balik untuk mulai mengelola waktu kerja.

Seorang peserta yang desainer bekerja di sebuah EO itu seperti bekerja 24 jam. Misalnya brief dari jam 3 siang, dan jam 6 sore sudah ada berapa item, lalu ada revisi sampai malam. Namun setelah dikirim pagi, langsung direvisi dan maunya saat itu juga maunya langsung dikerjain. Badan mulai menolak, dan dari situ mulai belajar untuk mengatur waktu. Dan standar revisi itu tidak ada. Bahkan kadang ada yang meminta revisi karena tidak suka saja, dan harus mengganti semuanya.

Ajeng pernah mendekor untuk sebuah EO bisa dari pagi hari, merangkai, dan sampai menunggu acara selesai dan membereskannya. Itu bisa sampai 12-16 jam, dan bahkan makan hanya dapat sekali saja. Tak ada kontrak, dan tak ada jam kerja, tak ada fee, dan transport juga tidak dibayar. Ini terjadi di EO weding.

Untung para pekerja freelance yang sakit, biaya pengobatan ini ditanggung sendiri oleh para pekerja. Ini yang membedakan dengan pekerja tetap yang dicover oleh kantor baik asuransi atau BPJS.

Pengalaman Advokasi

Dari berbagai pengalaman tidak baik dalam hubungan kerja, para peserta memiliki keragaman advokasi diri. Seperti dengan mengirimkan email untuk menagih fee, telp, dll. Belum ada yang melakukan advokasi yang lebih jauh seperti advokasi hukum atau lainnya. Hal lain yang dilakukan adalah dengan curhat melalui media sosial.

Anitha merasa suka tidak enak untuk melakukan advokasi dirinya karena relasi kerjanya banyak dilakukan dengan teman, sehingga itu menjadi seperti ‘kontrol diri’ untuk tidak berbuat lebih dalam kasus-kasus hak pekerja.

? pekerja freelance desain yang projectnya di tengah jalan dicancel, dan katanya semuanya akan dibayar. Setelah setengah tahun berjalan ia menanyakan kembali apa yang pernah dijanjikan, namun klien menjawab uangnya tidak ada. Sementara si klien itu hanyalah pihak perantara dari klien pertama yang lokasinya ada di jakarta.

Kadang kala problem untuk menggugat secara hukum terbentur dengan biaya untuk beracara yang cukup besar, atau makan waktu yang cukup lama. Bisa jadi nilai nominal yang digugat itu lebih kecil daripada biaya untuk hukum.

Pengetahuan tentang hak kerja ini terlihat banyak yang belum dimiliki oleh para pekerja, sehingga berbagai persoalan yang dihadapi seperti dibiarkan begitu saja. Bahkan seperti dinormalisasi oleh para pekerja.

Advokasi ini juga tidak dilakukan karena ada ketakutan akan kehilangan klien atau tidak mendapatkan pekerjaan lagi.

Hak Perempuan

Terkait berbagai hak pekerja untuk perempuan banyak peserta yang tidak tereksplor. Misalkan hak cuti haid kadang kala agak sulit untuk diungkapkan dan tidak lumrah untuk disampaikan bagi pekerja freelance kepada klien.

Anitha yang bekerja di EO dengan dominan laki-laki, haid itu seperti dianggap bukan sakit, sehingga tidak ada pengaruhnya menyampaikan hal itu.

Terkait dengan perbedaan upah antara perempuan dan laki-laki sepertinya tidak terlihat, namun lebih pada ke akses. Untuk kerja di EO bagi pekerja perempuan tidak ditempatkan di kerja-kerja fisik seperti perlengkapan, dll.

Adapun untuk kasus kekerasan seksual di dunia seksual juga tidak terlihat keluar dari peserta.

Pengetahuan Tentang Hak Pekerja

Banyak peserta mendapatkan pengetahuan soal ketenagarkerjaan mendapatkannya dari forum-forum di internet, atau youtube orang yang berbagi pengalaman. Ada pula yang mendapatkannya dari teman-teman dekat. Ada juga yang mendapatkan dari asosiasi profesi yang memberikan pengetahuan tentang kontrak kerja, seminar, dan juga hak kekayaan intelektual. Dalam hal HAKI ini penting karena banyak sekali kasus pencurian ide yang dialami pekerja freelance, dan ini menyangkut dengan perlindungan dari karya para pekerja.

Bagi yang belum ada asosiasi profesi, sharing dengan pekerja di bidang yang sama itu memang cukup sangat membantu. Hal ini juga membantu untuk tidak saling mematikan harga dari para pekerja freelance.

Ajeng sendiri mengaku mendapatkan pengetahuan pekerja dari akun SINDIKASI, atau dalam arti lain mendapatkan informasi dari dunia online.

Para peserta secara umum merasa bahwa forum seperti ini cukup penting untuk secara rutin bisa dilakukan. Diskusi ditutup dengan makan bersama, menu sop merah yang segar dari dapur C2O racikan Edo.

Email | Website | More by »

An independent library and a coworking community space. Aims to create a shared, nurturing space, along with the tools and resources for humans (and non-humans) for learning, working, and connecting with diverse communities and surrounding environment—for emancipatory, sustainable future. More info, visit: https://c2o-library.net/about/ or email info@c2o-library.net

Leave a Reply