Detail Cantuman Kembali

XML

Indonesia Dalem Api dan Bara


resensinya(kuambil dari sittusnya Koran Sinar Harapan):


judul Buku : Indonesia dalem Api dan Bara


Pengarang : Tjamboek Berdoeri


Pengantar : Bennedict ORG Anderson,


Arief W Djati, Stanley


Penerbit : Elkasa, Jakarta, Juni 2004


Tebal : xiii + 398 halaman





Oleh Rafiuddin Munis Tamar





Dalam khazanah sejarah perjuangan bangsa Indonesia, tak mudah mendapatkan dokumen yang mungungkapkan peristiwa-peristiwa pada masa peralihan secara detail dan apa adanya. Kelangkaan inilah yang dimiliki buku berjudul Indonesia dalem Api dan Bara. Isinya menggambarkan dinamika sosial politik masyarakat Malang, Jawa Timur, pada masa peralihan berikut ironi-ironi yang menyertainya.


Buku ini ditulis oleh seorang Tionghoa peranakan yang menamakan dirinya Tjamboek Berdoeri. Dengan bahasa Melayu-Tionghoa pasaran berbumbu Belanda dan Jawa, Tjamboek Berdoeri membeberkan berbagai peristiwa yang dialaminya sejak tahun 1941 sampai 1947 secara gamblang, lincah, kocak, dan nakal.


Kisah dimulai dengan situasi mencekam menjelang masuknya balatentara Jepang ke bumi Nusantara. Pemerintah Hindia Belanda yang merasa terancam segera membentuk stadwacht (paramiliter penjaga kota). Tjamboek Berdoeri termasuk salah seorang yang dengan suka rela melibatkan diri dalam keanggotaan stadwacht hingga menempati posisi sersan.


Kebanggaan Tjamboek sebagai anggota stadwacht mulai luntur ketika mendapati seorang officer Belanda mendadak panik saat menyaksikan pesawat tempur Jepang memamerkan kegagahannya. Lebih kecewa lagi ketika ia bersama pasukannya sudah siap menghalau tentara Jepang ternyata tentara Belanda tidak melakukan perlawanan apa-apa. Sikap ini bertolak belakang dengan sesumbar Belanda sendiri kala mendoktrin stadwacht dengan semboyan: �lebih baik mati berdiri daripada hidup terus sembari berlutut!�.


Kekecewaan Tjamboek juga ditujukan kepada segelintir pemuka Tionghoa yang dinilainya oportunis. Beberapa tokoh Tionghoa pada awalnya memang turut mengampanyekan pentingnya peranan stadwacht hingga ada yang memasang foto dengan seragam prajurit di koran-koran. Tetapi, ketika latihan stadwacht berlangsung mereka tidak menampakkan diri. Lebih ironis lagi, saat belatentara Jepang masuk ke Indonesia sebagian dari mereka malah berada di pihak Jepang. Padahal, menurut Tjamboek, masuknya Jepang ke tanah Jawa membawa petaka besar bagi golobgan Tionghoa. Di mana-mana tentara Jepang membongkari toko-toko milik etnis Tionghoa untuk dijarah kaum Pribumi yang oleh Tjamboek disebut sebagai golongan Jamino dan Joliteng.


Tjamboek yang sangat meminati literatur Jawa menegaskan bahwa masuknya Jepang merupakan pengejawantahan dari ramalan pujangga Ronggo Warsito. Menurutnya, masa pendudukan tentara Jepang merupakan masa yang disebut oleh sang pujangga sebagai jaman edan. Semua tata nilai berjungkir balik di bawah kekuasaan Jepang yang identik dengan Petruk dados ratu. Strata sosial berdasarkan ras dan jabatan yang telah sekian lama dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda tiba-tiba menjadi kabur. Seorang dokter yang dihormati di Pasuruan tak dapat berbuat apa-apa ketika mobilnya dirampas oleh prajurit Jepang. Penghinaan serupa dialami seorang Bupati di Jawa Tengah yang dihajar tentara Jepang di muka umum hingga babak belur.


Lebih celaka lagi para officer Belanda dan Sekutu. Tenaga mereka dipergunakan sebagai mesin penarik gerobak bermuatan kayu bakar dan barang-barang berat lainnya. Sementara orang-orang Belanda sipil dipekerjakan di perkebunan teh Kesilir, Besuki. Sedangkan kaum perempuan berikut anak-anaknya dikumpulkan di sebuah kamp konsentrasi.


Para tawanan yang bisa bertahan hidup baru bisa berkumpul lagi dengan keluarganya setelah Sekutu mengultimatum Jepang untuk segera hengkang dari Indonesia. Tetapi sebenarnya efek dari ultimatum tersebut tidak begitu signifikan bagi aktifitas kemiliteran Jepang di Malang. Serdadu Kenpeitai masih melakukan patroli sekalipun tidak berjalan kaki seperti sebelumnya. Bahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945, di saat bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, serdadu Kenpeitai dengan gampang membubarkan pawai orang-orang Indonesia bersenjata. �Djepang benar masih ada; mala berhoeboeng sama pernjata�an (Indonesia merdeka) terseboet, fihaknya Gunseikanbu maloemken, bahoea Pamerentah Balatentara Dai Nippon masih tetap berkoeasa di Indonesia, sampe datengnja tentara Sekoetoe. Bila bitjara pasal pengoveran kekoeasa�an, kekoeasa�an itoe meloeloe aken dibriken pada fihak Sekoetoe, bukan pada bangsa Indonesia� (hal. 278).


Rupanya Sekutu terlambat merespon maklumat Gunseikanbu. Selagi Sekutu belum melakukan apa-apa, di Indonesia sudah bermunculan kelompok-kelompok bersenjata yang terus menerus mendesak Jepang untuk mengalihkan kekuasaannya. Kelompok-kelompok bersenjata itulah yang dengan sengit melakukan perlawanan ketika tentara Sekutu benar-benar datang. Di Kota Malang sendiri, kelompok-kelompok bersenjata itu melakukan perlawanan dengan segala cara, mulai dari pemboikotan bahan makanan bagi perkampungan Belanda, penawanan orang-orang Belanda sipil, hingga pembumihangusan seluruh kota.


Aksi kelompok-kelompok bersenjata yang tidak terkoordinir itu tentu saja merepotkan Tjamboek sebagai ketua RT di lingkungan yang mayoritas berpenduduk Belanda. Terlebih pada tanggal 31 Juli 1947 dini hari yang menjadi puncak dari siasat bumi hangus. Kelompok Jamino dan Joliteng dengan kalap menjarah dan membakari rumah-rumah penduduk Belanda dan Tionghoa.


Sebagai ketua RT, Tjamboek sempat bangga dengan keberhasilannya menggagalkan upaya kelompok Jamino dan Joliteng yang ingin membakar perkampungannya. Tetapi ia tak bisa menahan rasa sedihnya tatkala mendapati kampung Pecinan di mana sanak kerabatnya tinggal telah hangus dilantak si jago merah. Lebih sedih lagi ketika ia mendengar bahwa seluruh penghuni Pecinan diangkut oleh para pemuda ke daerah Mergosono dan Gadang. Sebagian dari mereka dibantai karena dicurigai menjadi mata-mata musuh. �...itoe malem sama sekali ada doewa poeloeh satoe orang Tionghoa, di antara siapa ada doewa prempoean moeda dan satoe prempoean toewa, disembeleh, diperkosa, disoedjenni sama bamboe roentjing, dikorek bidji matanja, digorok lehernja dan achirnja dibakar semua!� (hal. 331).


Tragedi kemanusiaan itu menjadi kulminasi catatan Tjamboek. Catatan yang mengungkap ironi dari sebuah revolusi.





Misteri Tjamboek Berdoeri


Tatapi, siapakah itu Tjamboek Berdoeri? Konon, pertanyaan ini selalu mengusik ketenangan Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Amerika, sejak menemukan artefak sejarah ini di sebuah kios barang antik di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat pada tahun 1963. Maklum, buku yang terbit pertama kali di kota Malang pada tahun 1947 ini tidak memperkenalkan nama asli pengarang maupun penerbitnya. Satu-satunya nama yang tercantum adalah Kwee Thiam Tjing yang memberi kata pengantar buku ini. Dalam pengantarnya, Kwee mengaku disuruh oleh si pengarang untuk menerbitkan buku ini sebagai catatan peringatan bagi generasi mendatang.


Misteri Tjamboek Berdoeri baru tersingkap pada tahun 2001 ketika tim peneliti yang dikerahkan Anderson berhasil menemui seorang sahabat lama Kwee Thiam Tjing di Malang. Menurutnya, Tjamboek Berdoeri adalah Kwee Thiam Tjing itu sendiri. Sementara keberadaan Kwee Thiam Tjing baru terlacak pada tahun 2002 ketika Anderson secara kebetulan bertemu seseorang yang mengenal keluarga Kwee Thiam Tjing di Jakarta.


Setelah memperoleh informasi yang cukup, Ben Anderson menerbitkan kembali buku Indonesia dalem Api dan Bara dengan tetap mempertahankan keaslian bahasa dan ejaannya. Penerbitan kali ini disertai konteks sejarah kota Malang, dokumen foto-foto pendukung, dan riwayat hidup Kwee Thiam Tjing.


Kwee Thiam Tjing yang lahir di Pasuruan pada tanggal 9 Februari 1900 pernah tercatat sebagai wartawan koran Lay Po (1920), Pewarta Soerabaia (1921), Sin Jit Po (1929), dan Pembrita Djember (1933). Sebagai wartawan, Kwee pernah tersangkut delik pers dengan tuduhan menghina pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya, ia harus mendekam selama 10 bulan di penjara Kalisosok, Surabaya dan Cipinang, Jakarta pada tahun 1925.


Tiga tahun setelah menulis buku Indonesia dalem Api dan Bara, Kwee Thiam Tjing pindah ke Malaysia. Ia baru pulang kembali ke Indonesia pada tahun 1970 dengan memilih tempat tinggal di Jakarta. Di masa tuanya Kwee kerap menulis artikel untuk koran Indonesia Raya yang dipimpin Mochtar Lubis. Sekitar lima bulan setelah Indonesia Raya dibredel, persisnya pada tanggal 28 Mei 1974, Kwee meninggal dunia. Tak satupun media massa menyiarkan kematiannya.





Penulis adalah


Staf PP LAKPESDAM, NU
Tjamboek berdoeri - Personal Name
959.8035 BER Ind
9799836719
Indonesia
Book - Paperback
English
ELKASA
2004
398
LOADING LIST...
LOADING LIST...