Detail Cantuman Kembali
Menyusuri Lorong-lorong Dunia
Judul : Menyusuri Lorong-Lorong Dunia - jilid 2
Penulis : Sigit Susanto
Penyunting : Puthut EA
Penerbit : Insist Press
Cetakan : Maret, 2008
Tebal : xvi + 477 halaman, Peta FotoJudul : Menyusuri Lorong-lorong Dunia
Penulis : Sigit Susanto
Penerbit : Insist, Jogjakarta
Cetakan : I, Maret 2006
Tebal : XXX- 232 Halaman
Melancong ke negeri seberang menjadi impian banyak orang. Apalagi jika perjalanan itu melulu untuk kepentingan wisata. Lain, jika seseorang ke negeri seberang untuk mencari sesuap nasi, dengan pengalaman pahit getir kehidupan. Kalaupun ada pengalaman manis tentu itu hanya sebagai 'pemanis' pengalaman. Salah satu orang yang punya pengalaman menyenangkan itu adalah Sigit Susanto, 43, penulis buku Menyusuri Lorong Lorong Dunia ini.
Buku ini berisi kisah perjalanan Sigit Susanto di berbagai negara. Serangkaian perjalanan panjangnya dikemas dalam tulisan berbentuk esai populer, kemudian disatukan menjadi buku yang memuat 16 kisah perjalanannya.
Sigit Susanto adalah pemuda asal Kendal, Jawa Tengah, yang kini menetap di Swiss. Sebelumnya, ia berprofesi sebagai pemandu wisata (guide) di Bali selama tujuh tahun. Perkenalannya dengan perempuan Swiss, Claudia Beck, mengantarkan dirinya hingga bisa tinggal di Swiss.
Pasangan Sigit dan Beck termasuk gemar melancong, terutama pada tiap musim liburan. Dalam berbagai pengalaman pelancongannya itulah yang kemudian dituangkan dalam tulisan. Dia banyak memotret kebudayaan masyarakat di negara yang disinggahinya. Esai-esai di bawah ini membuktikan kuatnya bobot penulisan Sigit dalam memotret kebudayaan negeri-negeri Eropa melalui cara pandang ke-Indonesiaan-nya.
Simak ceritanya tentang 'Pertama Kali ke Eropa', 'Danau Zug', 'Bersepeda Keliling Amsterdam', 'Pulau Ischia', 'Ziarah ke Makam Kafka', 'Hotel Trotoar', 'Membelah Bulgaria', 'Goethe dan Strasbourg', 'Vanesia Surga Sastrawan Dunia', 'Jalan-Jalan ke Roma', 'Dari Leningrad ke Moskow', 'Makam Mbah Marx', dan 'Shakespeare & Co di Paris'.
Karya-karyanya tidak hanya memuat pengalaman personal Sigit, melainkan memberikan satu pemahaman yang baik tentang Eropa. Melalui kerja penulisan jurnalisme investigatif, Sigit menyajikan ulasan data, fakta, dan sumber informasi yang akurat dan berimbang. Lain dari itu, pandangan kritis Sigit tentang modernitas di Eropa membuat kita mengenal lebih arif kebudayaan orang lain. Kalau selama ini kita memandang Eropa sebagai puncak kemajuan dan surga modernitas, Sigit berupaya menunjukkan Eropa dari sisi yang wajar dan berimbang. Alhasil tulisan ini tidak sekadar pamer perjalanan indah tentang gegap-gempitanya negeri orang, tetapi juga banyak memberikan 'mata pelajaran' yang baik tentang kebudayaan, sastra, politik, dan gaya hidup masyarakat yang disinggahi Sigit.
Kisahnya tentang'Makam Mbah Marx', misalnya. Cukup banyak informasi baru yang belum banyak diketahui orang Indonesia. Tulisan ini membuka pemahaman yang lebih mendalam dan kritis tentang sisi gelap kehidupan Karl Marx dan Federick Engels, termasuk tentang ajaran komunime dan marxisme. Tak lupa Sigit juga menggambarkan sisi kepribadian humanis Karl Marx dalam esainya ini.
Di Benua Amerika Latin Sigit sempat mengunjungi Kuba (6-21 Maret 2000), dan Meksiko (15- 30 November 2003). Tulisan naratif tentang kehidupan masyarakat Kuba dalam 'Che Masih Hidup di Kuba' (hlm. 38-36) banyak membuka pemahaman kita tentang budaya negeri komunis tersebut. Reportase Sigit juga memberikan kesaksian riil tentang kondisi ekonomi, pendidikan, relasi sosial, dan politik masyarakat Kuba. Kisah ini seolah-olah menjadi wacana tanding tentang anggapan orang-orang kiri Indonesia yang sampai sekarang masih percaya bahwa Kuba adalah negeri ideal komunisme.
Di Kuba, tulis Sigit, bukanlah masyarakat tanpa kelas yang terwujud, melainkan kemelaratan. Kecuali pejabat negara, rakyat Kuba dalam kondisi kemiskinan ekonomi dan kemiskinan perspektif. Tak ada kebebasan di bawah kekuasaan Fidel Castro. Upaya menciptakan kehidupan tanpa globalisasi membuat Kuba terperosok dalam krisis multidimensi yang akut. Singkatnya, dari Kuba yang lebih tampak sebenarnya bukan pelajaran kesuksesan komunisme, melainkan justru tentang kegagalan paham ideologi itu.
Di Meksiko, Sigit melihat fenomena negara dunia ketiga yang banyak berbeda dengan negara-negara Asia. Dalam hal agama, misalnya, orang Meksiko tergolong religius seperti Indonesia. Bedanya, pemerintah Meksiko tidak ikut campur-tangan dalam urusan agama warganya.
Kesan Sigit terhadap orang Meksiko adalah, 'mereka bukan tipe orang kagetan dan kagum pada pendatang atau pelancong asing. Tidak seperti orang Asia yang sering kagum dengan pelancong Eropa. Mungkin karena pelancong Eropa rata-rata punya postur jangkung, berhidung mancung, berkulit putih, serta berambut pirang' (hlm. 256).
Di Afrika, Sigit merekam kebudayaaan, perilaku, dan kondisi negara Tunisia secara mendalam. Di negeri padang pasir ini Sigit menjelaskan banyak hal tentang ke-Islaman orang Tunisia. Sekalipun Tunisia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, banyak hal yang berbeda dengan kondisi di Indonesia. Tulisan ini sangat berharga untuk mengenal pluralisme dan sikap keberagamaan orang Tunisia yang tidak dogmatis dalam menyerap ajaran agama (Islam).
Kehadiran buku ini tampaknya perlu diapresiasi lebih mendalam. Apalagi di Indonesia buku-buku mengenai sejarah, kebudayaan, dan tradisi kehidupan negeri asing sangat jarang dijumpai. Kalaupun ada, isinya kurang lengkap. Nah, buku ini bisa menjawab kekuranglengkapan itu. *NoorHany Pramuditta, Mahasiswa UNIKA Sugiopranoto Semarang.
(Sumber: Jawapos. Minggu, 11 Juni 2006)
'�aku ingin memboyong seluruh lorong kota atau negara yang sedang aku kunjungi untuk dibawa pulang ke negeri sendiri. Jangan ada satu jejakku yang lepas dari catatan, ketika aku berada di kota atau negeri asing itu'. (hal 11)
* Sigit Susanto, Menyusuri Lorong-Lorong Dunia- jilid 2
Demikian tekad Sigit Susanto, seorang petualang sejati dan penyuka sastra yang hingga tulisan ini dibuat telah mengunjungi sebanyak 27 negara bersama istri tercintanya, Claudia Beck. Dari Swiss dimana ia tinggal dan bekerja, ia memulai petualangannya menyusuri lorong-lorong dunia. Ia rela menyisihkan sebagian penghasilan sebagai buruh pabrik elektronik hingga juru masak hamburger, yang penting ia masih punya waktu dan uang untuk bepergian dan belajar sastra.
Ketekunannya yang luar biasa untuk mencatat semua kisah perjalanannya kini telah berbuahkan dua buah buku catatan perjalanan. Tahun 2005 terbit buku catatan perjalanannya yang berjudul Menyusuri Lorong-lorong Dunia (Insist Press). Dan kini, terbitlah sekuel dari buku pertamanya. Masih dengan judul yang sama hanya diberi imbuhan �jilid 2�, mengisyaratkan bakal ada jilid-jilid selanjutnya selama Sigit masih berkelana dan mencatat semua kisah perjalanannya.
Buku pertamanya sukses di pasaran, resensinya muncul di lebih dari 5 media cetak lokal dan nasional. Semuanya bernada positif dan memuji apa yang dicatat oleh Sigit Susanto dalam bukunya. Dan kesemua resensi tersebut sepakat bahwa apa yang ditulis oleh Sigit Susanto menawarkan sesuatu yang �lain� dibanding buku-buku kisah perjalanan lainnya.
Dibanding buku pertamanya, dibuku keduanya ini jumlah negara yang dikunjunginya menyusut hampir setengahnya. Jika dibuku pertamanya Sigit mencatat perjalanannya di 13 negara, kini ia hanya mencatat sebanyak 7 negara saja (Swiss, Irlandia, Hongaria, Potugal, Maroko, China, dan Vietnam). Alih-alih memperbanyak jumlah negara yang dikunjunginya, di buku keduanya ini Sigit mencatat kisah perjalanannya dengan begitu detail sehingga dari segi ketebalan buku, buku ini tampak lebih gemuk dibanding yang pertama.
Selalu ada Sastra
Tampaknya dunia sastra sudah mendarah daging dalam jiwa Sigit. Ketika penulis kisah-kisah perjalanan lainnya berasyik-asyik menulis keeksotisan panorama alam yang dilihatnya dan mencerecap nikmatnya keragaman kuliner yang memabukkan raga, Sigit malah mengurai dunia sastra yang ia sesuaikan dengan konteks negara yang dikunjunginya.
Buku ini dibuka dengan bab 'Ullyses Dibaca selama Tiga Tahun'. Dari judulnya saja sudah sangat jauh dari kesan sebuah tulisan mengenai catatan perjalanan pada umumnya. Di bab ini Sigit menceritakan pengalamannya mengikuti reading groups Ullyses di kota Zurich, Swiss.
Di dua bab berikutnya, Sigit masih keasikan menulis hal-hal seputar James Joyce. Ia tumpahkan semua informasi yang dimilikinya tentang Joyce dan karya-karyanya. Mulai dari perayaan Bloomsday, hingga menyusuri Dublin untuk menapaktilasi kehidupan Joyce di sana.
Tulisannya tentang Joyce bisa dikatakan cukup komprehensif, selain mengunjungi rumah-rumah yang pernah ditempati Joyce dan museum James Joyce, Sigit juga mengurai biografi Joyce beserta ulasannya mengenai proses kreatif dibalik pembuatan Ullyses. Tak hanya itu di bab ini disertakan juga teks satu halaman pertama Ullyses dalam bahasa inggris. Singkat kata, ketiga bab pertama dalam buku ini bisa dijadikan pengantar yang sangat baik bagi mereka yang ingin mendalami dunia Joyce.
Jika di Dublin kita diajak berkenalan dengan Joyce, maka di Budapest-Hongaria ada Imre Kertesz, peraih nobel sastra 2002, Erno Szep, penyair dan wartawan. Di Portugal ada Vasco da Gama, Fernando Antonio Pessoa (1888-1935), Jose Saramago, dll. Di Maroko ada Fatima Mernissi, penulis feminis, di China kita akan bertemu Mao yang juga seorang penyair dan Lu Xun yang berkata, 'Semua sastra adalah propaganda, tapi tidak semua propaganda itu sastra '( hal 303). Sedangkan di Vietnam ada Bao Ninh dan Le Thi Deim Thuy, penulis lokal yang menulis novel tentang perang Vietnam. Selain itu ada juga Candi Sastra, sekolah pertama dan tertua di Vietnam.
Kesemua nama sastrawan diatas, walau tak sedetail Joyce ditulis dengan informatif beserta karya-karya terkemukanya. Selain bicara soal sastrawan dan karya-karyanya, beberapa kalimat yang nyastra juga ikut menghiasi buku ini, tanpa berlebihan Sigit menyelipkan sejumlah metafora dalam kalimat-kalimatnya, seperti :
'Stasiun Desa Oberwil masih tidur. Tidak ada kereta di pagi itu yang bisa membawa kami ke bandara',
'Masih ada tiga jam lagi untuk mencumbui sudut-sudut kota yang alpa kami singgahi',
'Cahaya pagi matahari sontak tumpah di kamar. Kami terbangun agak malas.'
Pilihan kalimat-kalimat nyastra di atas tentu saja membuat buku ini semakin enak dibaca. Sigit memang dikenal dengan penutur yang baik. Membaca tulisan-tulisannya yang, deskriptif, renyah, dan enak dibaca membuat seolah kita sendiri yang sedang berkelana menyusuri lorong-lorong dunia.
Realita Budaya dan Politik.
Tak hanya mencatat soal tempat dan sastra, Sigit juga senantiasa menyinggung realita budaya dan politik di tiap negara yang dikunjunginya. Terlebih ketika ia mengunjungi tiga negara sosialis (Hongaria, Vietnam dan China). Di tiga negara ini tampaknya Sigit antusias sekali mencari tahu pandangan masyarakat kecil mengenai kondisi sosial politik di negara-negara tersebut dan membandingkannya dengan kondisi di Indonesia.
Untuk usahanya itu ia tak segan-segan menyelinap dari rombongan tournya dan mewawancarai tiap orang yang ditemuinya untuk memperoleh informasi. Jika dirasa masih juga belum lengkap, ia akan melengkapinya dengan sejumlah buku-buku yang yang dibacanya sebelum dan setelah ia mengunjungi negara tersebut. Karenanya tak heran buku ini menjadi sangat informatif.
Untuk memperkaya catatan perjalanannya ini, Sigit mengunyah lebih dari 100 buku yang dilahapnya dengan rakus. Semua buku yang dibacanya dan dijadikan sumber acuan tulisannya, tertera dalam daftar pustaka di lembar terakhir buku ini.
Ketika menulis realita sosial di setiap negara yang dikunjunginya, akan terungkap bahwa Sigit adalah seorang yang lembut hatinya, berkali-kali ia merasa gelisah manakala melihat ketimpangan dan ketidakadilan yang menimpa orang-orang kecil di negara yang ia kunjugi. Ketika berada di China, hatinya trenyuh melihat bagaimana tukang perahu harus turun ke sungai untuk mendorong perahu manakala sampai di sungai yang dangkal sementara para turis masih asik berada diatas perahu.
Sisi kemanusiaannya tergugah ketika melihat kuli-kuli di China berjalan sempoyongan mengangkut kopor-kopor milik wisatawan. Hatinya membatin resah karena beberapa wisatawan mengabadikan para kuli tersebut dalam kamera foto mereka. 'Akankah mereka menjual kemiskinan China yang jarang diberitakan media ? Ataukah para wisatawan itu akan membuktikan, semaju-majunya China, di Barat, dunia mereka, tidak ada kuli seperti di China' (hal 318)
Peta dan Foto-foto
Selain dilengkapi dengan peta rute perjalanan, buku ini juga menyertakan sejumlah foto. Tak seperti di buku pertamanya yang menyajikan foto hitam putih tak jelas, kini foto-fotonya berwarna dan terlihat �kinclong� karena dicetak secara khusus diatas kertas glossy. Sayang semua fotonya ditempatkan di akhir tiap bab, andai saja dapat diletakkan di sebelah halaman yang membahas tempat atau peristiwa dalam foto tersebut, tentunya pembaca akan lebih dimudahkan lagi dalam mengikuti petualangan penulisnya.
Sama seperti tulisannya yang tak mengumbar keeksotisan suatu tempat, beberapa foto dalam buku inipun menyajikan foto-foto bertema sosial. Di Dublin tersaji foto seorang pemabuk duduk di tengah patung Oscar Wilde dan Eduard Vilde, di Maroko ditampilkan foto tukang cerita yang sedang beraksi, lalu ada pula foto pengemis buta yang berderet-deret.
Di China, alih-alih menyajikan foto Tembok Besar dan kemegahan patung tentara Terra Cotta, Sigit malah menyajikan foto barisan orang sedang mengantri untuk menuju mouseleum Mao di Tianamen, selain itu ada pula foto seorang ibu yang menggendong anaknya di dalam keranjang bambu.
Foto penulisnya sendiri tampak dua kali mejeng di buku ini, pertama foto Sigit yang sedang membaca Ullyses dengan latar Martello Tower, Dublin. Kedua foto Sigit di depan monumen kapal ekspedisi Vasco da Gama, Lisabon. Sayang tak ada satupun foto penulis bersama istrinya. Padahal Sigit dan Claudia Beck selalu bersama dalam menyusuri lorong-lorong dunia. Dan lagi bukankah hampir di tiap bab, aktifitas sang istri juga turut mewarnai kisah perjalanan penulisnya?.
Catatan Perjalanan Plus Plus !
Akhirnya, setelah melahap habis buku ini dan buku pertamanya, tak berlebihan jika saya katakan bahwa apa yang ditulis Sigit dalam dua bukunya ini bukan sekadar catatan perjalanan biasa. Buku ini merupakan Kumpulan Catatan Perjalanan Plus Plus !. Plus pertama adalah muatan sastranya, plus kedua adalah muatan sosial budaya dan politiknya. Kedua �plus� inilah yang membuat buku ini menjadi begitu informatif, kaya materi, dan yang pasti akan menambah wawasan kita akan negara-negara yang dikunjungi penulisnya.
Namun harus disadari tak semua pembaca catatan perjalanan suka akan kedua plus diatas. Detailnya Sigit mengungkap sastra dan politik akan menjadi hal yang paling membosankan bagi mereka yang tak menyukai kedua bidang tersebut. Karenanya diperlukan positioning yang jelas bagi siapa buku ini diperuntukkan. Jika sekedar diperuntukkan bagi mereka penyuka traveling saja, tentunya ini bukan buku yang tepat. Namun jika diperuntukkan bagi para petualangan sejati yang juga menggemari sastra dan politik, buku inilah yang wajib dibaca dan dimiliki!
Apa yang kurang dalam buku ini?
Anwar Holid, pengamat buku yang juga menjadi pembahas ketika buku ini diluncurkan di TB Ultimis Bandung mengungkap bahwa meski buku ini telah dieditori oleh Puthut EA yang dikenal sebagai �penulis yang kuat�, buku ini dari segi editing masih menyisakan berbagai kelemahan. Peta yang buruk, salah eja, inkonsistensi format, dan kekeliruan pencantuman indeks membuat hal-hal tersebut mesti segera diperbaiki bila nanti cetak ulang., demikian ungkap Anwar Holid.
Namun terlepas dari berbagai kekurangan di atas, buku ini tetap bisa saya nikmati dengan baik. Bagi saya yang tak pernah menjejakkan kaki ke luar negeri, membaca buku ini yang ditulis dengan renyah, mengalir, enak dibaca, dan kaya akan informasi sastra, membuat saya seolah ikut menyusuri lorong-lorong dunia sambil menekuni dunia sastra lewat halaman-halaman buku.
Sigit masih terus mencatat
Sesuai dengan tekadnya yang saya kutip di awal tulisan ini, Sigit masih akan terus mencatat semua kisah perjalanannya. Di pertengahan tahun 2008 ini saja sudah terjadwal kunjungannya ke 4 negara lagi. Tampaknya tak ada yang bisa menghentikan langkah kaki dan guratan penanya selama ia masih bekerja dan tinggal di Eropa.
Sigit masih terus berkelana dan mencatat kisah-kisahnya, akankah kembali dibukukan ? Apakah penerbit memiliki komitmen untuk menerbitkan jilid-jilid selanjutnya? Jika jawabannya 'Ya', maka seri Menyusuri Lorong Lorong Dunia akan menjadi buku seri catatan perjalanan yang kedua yang terbit secara konsisten setelah era legenda traveling Prof. HOK Tanzil yang pernah merajai tulisan catatan perjalanan di era 80an.
@h_tanzil
Sigit Susanto - Personal Name
935 SUS M-1
9793457989
Indonesia
Book - Paperback
Insist Press
2006
232
LOADING LIST...
LOADING LIST...