Detail Cantuman Kembali

XML

Negara Teater


JAGAD antropologi Indonesia sudah tak asing lagi dengan nama Clifford Geertz. Dialah penulis karya monumental, The Religion of Java, yang menggolong-golongkan masyarakat Jawa menjadi priyayi, santri dan abangan. Karya itu dalam edisi Indonesianya telah diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Jakarta.





Pendapat Clifford Geertz tersebut, dalam tahap perkembangannya diperselisihkan banyak pihak. Karena ia menganggap agama orang Jawa sesungguhnya bukan Islam yang seperti di Timur Tengah, tetapi lebih merupakan sinkretisme dari agama-agama nenek moyangnya dulu, yakni animisme dan dinamisme.





Geertz juga menulis buku lainnya berjudul Negara, The Theatre State in Ninteenth-Century Bali, yang belum begitu banyak menjadi perdebatan para antropolog Indonesia. Buku yang aslinya diterbitkan oleh Princeton University Press tahun 1980 itu, dalam edisi Indonesianya, Negara Teater, diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta bekerja sama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation.





Rupanya Geertz tertarik pada Bali karena menjadi 'suaka terakhir budaya Hindu di Nusantara, dalam memahami periode Hindu di Indonesia.' Ia mengecam pendapat Thomas Raffles (Gubernur Jenderal di Indonesia pada zaman penjajahan Inggris) yang menyatakan bahwa Bali modern adalah 'museum' yang melestarikan budaya pedalaman Indonesia prakolonial. Tak ada alasan untuk mengatakan bahwa Bali tak berubah selama 350 tahun (zaman penjajahan) setelah Majapahit runtuh, kata Geertz (hlm 12).





Ia menyatakan, adanya suatu praktik atau bentuk budaya tertentu di Jawa masa silam bukan didasarkan pada bukti dari Bali yang sekarang, melainkan dari Jawa sendiri atau Kamboja, atau tempat lain (hlm 13).





Dalam buku itu digambarkan keadaan di Bali abad ke-19 tentang bagaimana hubungan agama dengan negara, para ksatria dengan pemuka agama, dan penguasa dengan para pedagang. Geertz menggunakan istilah perklienan untuk melukiskan hubungan para penguasa/ksatria dengan pemuka agama maupun pedagang. Sedangkan untuk hubungan antardadia (dadia adalah kelompok masyarakat semacam marga, terutama dengan tujuan politis) digunakan istilah aliansi.





'Bali adalah negara teater yang di dalamnya raja-raja dan para pangeran adalah impresario-impresario, para pendetanya sutradara, dan para petaninya aktor pendukung, penata panggung, dan penonton.' Begitulah ia mengibaratkan 'skema' kemasyarakatan di Bali.





Dengan pendekatan etnografi yang kental, Geertz menguraikan secara apik tentang seperangkat nilai, budaya, bahkan mitos terhadap (ke)kuasa(an) yang berlangsung pada kerajaan-kerajaan di Bali ketika itu. Kekuasaan, dalam kaitan study kerajaan di Bali ini, ia didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan yang mengikat orang lain, dengan pemaksaan sebagai ekspresinya, kekerasan sebagai fondasinya, dan dominasi sebagai tujuannya.





Geertz mengungkap sejarah bahwa raja di Bali yang berasal dari Jawa, paling awal adalah Ida Dalam Ktut Kresna Kepakisan. Raja ini cucu seorang brahmana di Jawa. Ia menjadi raja di Bali mulai tahun 1352, pada zaman Gadjah Mada menjadi patih di Majapahit. Penaklukan Bali oleh Majapahit itu, menurut Geertz (hlm 25), dianggap sebagai perubahan besar dalam sejarah Bali karena memutus babarisme.





Kepakisan bukan lagi brahmana setelah berada di Bali menjadi raja di Gelgel. Ia mengubah gelarnya menjadi 'dalem'. Sedangkan pengiringnya dari Jawa, kemudian menjadi raja-raja regional, yang 'sekunder'. Lalu muncul semacam raja-raja kecil 'tersier', yang oleh Geertz disebutkan sebagai pemisahan dari raja sekunder. Dan di Bali pun terdapat banyak kerajaan-kerajaan kecil.





***





TELAH menjadi argumen sentral Geertz dalam buku ini, yang ditampilkan dalam pembagian-pembagian isi melalui keseluruhan pemaparannya, bahwa kehidupan yang berkisar sekitar para punggawa, perbekel, puri, dan jero di Bali klasik merupakan suatu konsepsi alternatif. Seperti apa dan untuk apa perpolitikan dan kekuasaan itu. Sebagai suatu struktur tindakan, yang kadang-kadang berdarah, dan kali lain seremonial, negara adalah suatu struktur pikiran. Menjelaskan negara, berarti menjelaskan suatu konstelasi gagasan-gagasan yang disakralkan.





Negara (nagara, nagari, negeri), sebuah kata Sansekerta yang tadinya berarti 'kota', dipakai dalam bahasa Indonesia selain berarti 'negara' juga berarti 'istana', 'ibu kota', 'negara', 'wilayah kekuasaan', dan lagi 'kota'. Dalam artinya yang lebih luas, kata itu dipakai untuk menunjuk suatu peradaban (klasik) dunia Kota tradisional, dunia budaya tinggi yang berkembang di kota itu, dan sistem wewenang politik tinggi yang berpusat di situ.





Kata lawannya adalah 'desa'-juga kata sanskerta-berarti juga dengan acuan yang luwes, 'daerah pedalaman', 'daerah', 'mukim', 'tempat', dan kadang-kadang 'daerah momongan' atau 'daerah yang diperintah'. Dalam artinya yang luas, 'desa' adalah pengertian yang berkaitan dengan berbagai jenis organisasinya di permukiman pedalaman, dunia petani, penyewa tanah, kawula, 'rakyat'.





Antara kedua kutub ini, negara dan desa, terdapat perbedaan besar pada politik klasik yang berkembang di dalamnya dan memperoleh bentuknya yang berbeda, atau khas, dalam konteks kosmologi yang dipinjam dari India. (hlm 5).





Memahami negara adalah memahami emosi-emosi pelakunya dan menafsirkan tindakan-tindakan itu; memperjelas suatu seni kekuasaan bukan mekaniknya. Idiom derajat bukan saja membentuk konteks yang di dalamnya hubungan-hubungan praktis dari aktor-aktor politis yang utama-punggawa, perbekel, kawula dan perekan-memperoleh bentuknya dan memiliki makna.





Akan tetapi, idiom itu juga meresapi drama-drama yang secara bersama mereka selenggarakan, dicor theatreal, serta tujuan-tujuan lebih besar yang ingin mereka capai dengan penyelenggarakan drama-drama tersebut. Negara memperoleh kekuatannya, yang memang nyata, dari energi-energi imajinatif, kepastian semiotiknya untuk menjadikan ketidaksamaan status.





Yang perlu diketahui, ungkap Geertz, Negara Bali adalah suatu representasi dari bagaimana realitas itu ditata; sebuah sosok yang sangat besar tempat di mana benda-benda seperti keris, bangunan-bangunan (seperti istana), praktik-praktik seperti kremasi, gagasan-gagasan (seperti dalem), dan perbuatan (seperti bunuh diri dinastik), mendapatkan kekuatan seperti yang mereka miliki itu.





Akhirnya bisa kita pahami, bahwa negara bukanlah suatu tirani, bukan pula suatu birokrasi hidrolik, dan bahkan bukan pula suatu pemerintahan. Melainkan sebuah pertunjukkan (teater) yang diorganisir. Suatu negara teater yang dipakai untuk mendaramatisir obsesi-obsesi klas yang berkuasa atas budaya Bali: ketimpangan sosial, dan kebanggaan status. Dan negara teater ini paling jelas tergambar dalam diri citra induk dari kehidupan politis, yaitu dalam diri raja.





***





DARI buku Negara Teater kita tahu bahwa di Bali upacara adalah bagian hidup masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun dan terutama dipelihara oleh penguasa sebagai alat peraga untuk 'menampakkan diri'. Makin hebat upacara yang diselenggarakan, pada zaman kerajaan-kerajaan abad ke-19 itu, kian memberi kesan bahwa penguasanya besar wibawanya.





Cara 'menampakkan diri' si penguasa dengan menggunakan berbagai upcara tersebut, sampai kini masih bisa ditemukan di mana pun.





Dengan menyimak buku tersebut, kita akan memperoleh pemahaman bahwa segala upacara demikian tadi sebenarnya tertuju untuk penguasa atau penggede, bukan untuk menghargai rakyat. Sedangkan lainnya, yang bukan kelompok penguasa, tak bukan hanyalah sekadar pendukung atau 'alat' upacara.





Bahkan Geertz jelas-jelas mengatakan, kasta 'brahmana' pun dalam upacara-upacara hanya berfungsi untuk memperbesar wibawa penguasa. Makin banyak brahmana yang datang, kalau bisa juga dari negara lain, semakin memperlihatkan besarnya pengaruh sang penguasa.





( Arief Fauzi M, mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta )
Includes index.
Clifford Geertz - Personal Name
959.83 GEE Neg
691007780
Indonesia
Book - Paperback
Indonesian
Bentang
1980
295
LOADING LIST...
LOADING LIST...