Detail Cantuman Kembali

XML

Konservasi Budaya Panji


Editor : Henri Nurcahyo





Penerbit : Dewan Kesenian Jawa Timur





Tebal : xii + 216 halaman





Cetakan : Cetakan I, November 2009





Peresensi : Risang Anom Pujayanto

















Indonesia telah dikenal oleh masyarakat dunia sebagai salah satu pemilik dan penyumbang sektor terbaik kesenian dan kebudayaan dunia. Determinasi yang kuat ini sejatinya memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai penanda (ikon) bangsa, sekaligus sebagai pengimbang beberapa sentra bidang disiplin kita yang telah tertinggal jauh dari negara lain. Artinya, manakala bangsa ini tekun mengadopsi perkembangan luar seperti ilmu pengetahuan, teknologi, olahraga, life style, tetapi tidak demikian dalam perkembangan seni. Pasalnya, justru seni kita merupakan rujukan tetap yang kerap diserap bangsa lain. Ignas Kleden (1995) mengatakan, memang sudah sejak lama karya-karya seniman Indonesia selalu mendapat perhatian khusus dari dunia internasional. Nama-nama mereka pun telah dikenal luas oleh para pemerhati kesenian dunia.





Level Indonesia yang diakui di dunia ini tidak lepas dari kekayaan seni budaya yang telah mengakar dan menjadi cerminan kehidupan rakyat sehari-hari. Sayangnya, kesadaran masyarakat akan kedahsyatan kualitas tersebut masih sangat minim. Akibatnya, beberapa seni budaya adiluhung hampir punah, banyak tradisi rakyat yang tetap berstatus oral tidak terdokumentasi secara baik dan arahnya semakin lama kian jauh. Dan ironisnya, beberapa seni budaya tersebut justru terlestarikan di ruang di mana tak bernama Indonesia. Sedikit melebar, apakah keadaan seperti ini bisa disebut ironis? Mungkin saja tidak; setidaknya tidak bagi yang tidak peduli.





Oleh sebab itu, sebelum terlambat, penerbitan buku Konservasi Budaya Panji oleh Dewan Kesenian Jawa Timur dijadikan pijakan awal dalam menangkal dampak buruk tersebut. Untuk mendapatkan hasil sempurna, sebelum dan sesudah penerbitan buku juga disertai serangkaian seruan, serta secara berkala tetap berupaya mewacanakan �budaya Panji� khas Jawa Timuran dalam setiap program diskusi-diskusi kebudayaan. Komitmen yang benar-benar tidak setengah-setengah. Sudah barang tentu, pasca proses dialogis tersebut, keyakinan pakar budaya pun meningkat. Tak pelak pengoptimalan output merupakan sasaran yang tak terelakkan. Bahkan (Alm) R. M. Yunani Prawiranegara pernah melontarkan obsesi terbesarnya menyangkut hal ini ialah, eksistensi Panji diharapkan bukan hanya menjadi ikon Jatim saja, melainkan ikon nusantara.





Serat Panji tertua ditemukan di bekas Kerajaan Palembang berupa serat Panji Anggreni. Disadur (dari naskah babon aselinya periode Kediri 1080-1222) dalam sengkalan tarikh guna paksa kasuwareng rat (1723 Saka atau 1801 M). Artinya, cerita yang dikemas dalam sastra kidung ini disinyalir lahir dan populer di Jatim periode akhir Kediri. Bahkan, beberapa pendapat lain mangatakan cerita Panji terlahir pada masa Majapahit.





Kendati dalam riwayat sejarah zaman Mataram, Kediri, dan Majapahit; kata �Panji� merupakan partikel yang dilekatkan pada seluruh golongan bangsawan Jawa, tetapi cerita Panji yang dimaksud ialah cerita yang berkaitan dengan Panji Asmarabangun dan Putri Galuh Candrakirana (Dewi Sekartaji).





Induk cerita ini kemudian memunculkan beberapa macam versi yang tak kalah populer; di antaranya Ande-Ande Lumut, Panji Angreni, Kethek Ogleng, Keong Mas, Timun Mas, dan puluhan varian lain. Kisah tersebut hadir dalam bentuk folklor; naskah-naskah kuno; terpahat pada relief candi, dan jejak produk kesenian lain seperti nyanyian, tarian dan gamelan.





Poin-poin khas Jawa Timuran yang bersumber pada cerita Panji, sejatinya selalu terekspresikan dalam setiap kegiatan kebudayaan di Jatim. Namun permasalahannya, sebagian besar pelaku kebudayaan; khususnya generasi muda, kurang menyadari bahwasannya kegiatan yang sedang dilakukan sebenarnya merupakan produk asli Jatim. Kemungkinan besar, ini dikarenakan adanya penemuan perkembangan yang serupa di berbagai daerah Indonesia (Bali, Sunda, Lombok, Kalimantan, Palembang, Melayu) hingga mancanegara (daratan Asia tenggara, Inggris, Balanda). Karena itu patut apabila harta karun terpendam yang dimiliki Jatim ini wajib dibekukan dalam buku Konservasi Budaya Panji. Dwi Cahyono pernah menuliskan; pada zaman kolonial, cerita panji ini sempat menghilang.





Cerita Panji bisa disejajarkan dengan Mahabarata dan Ramayana, Serat Centhini, yaitu sumber yang tak pernah kering, bagaikan ensiklopedi, dan mengandung aspek simbolik, religi bahkan juga kemiliteran. Tidak hanya bicara soal lingkungan keraton. Bahkan cerita dapat menjadi mediator masyarakat keraton dengan luar keraton dengan tradisi lakunya. Cerita Panji masih memiliki peluang untuk dikembangkan lagi, diekspresikan dalam susastra, seni pertunjukkan dan multiekspresi.





Beberapa kesenian tradisional yang selama ini menggunakan cerita Panji yakni Wayang Beber (Malang), Wayang Topeng (Pacitan), Wayang Golek (Kediri), Wayang Thengul (Bojonegoro), Wayang Krucil (Nganjuk), Legong Keraton (Ngasem), Lutung Kesarung (Jabar) dan banyak kesenian di Bali, Kalimantan, Kamboja dan sebagainya. Sementara yang berupa fisik terpahat dalam relief di beberapa candi.





Peranan sosok Panji yang memesona terhadap kebudayaan layak ditauladani oleh seluruh masyarakat sampai kapanpun. Atas peranannnya sebagai pengayom dan pengembang kebudayaan di masa silam, maka pantaslah apabila pada tahun 1959, Wilem Hubert Rasser memberi predikat Panji sebagai Pahlawan Kebudayaan (Culture Hero) atau sang maecenas (pelindung) kebudayaan masa lalu.





Karakteristik Panji menurut beberapa sumber sastra, babad maupun data arkeologis yakni kesatria berwajah tampan, pendiam, berjiwa lemah lembut, gemar menuntut ilmu, seniman gamben dan mumpuni di berbagai cabang seni, jujur, taat pada orang tua, menyayangi binatang, sopan, menghormati istri, simpatik dan menarik, pandai menulis di kertas lontar, pahlawan perang, piawai menari dan bermain gamelan, serta piawai mendalang wayang.





Sementara untuk mengetahui sepak terjang Panji selengkapnya telah dituliskan secara menyeluruh dalam�Menelusuri Cerita Panji dari Aspek Sejarah dan budaya Masa Kadiri� (Drs Sumarno M Hum), �Folklore tentang Panji sebagai Bukti Kejayaan Kediri Kuno� (Bambang Tetuko), �Nilai-Nilai Edukatif Ceritera Panji dalam Prespektif Budaya Nusantara� (Aminuddin Kasdi), �Keteladanan Panji dalam Pengembangan Lingkungan� (Drs M Dwi Cahyono Mum), �Panji di Gunung Penanggungan� (Lydia Kieven), �Sang Panji Pahlawan Kebudayaan� (R M Yunani Prawiranegara), �Tokoh Panji dalam Tradisi Tari dan Pertunjukkan Topeng di Jawa� (R Djoko Prakosa), �Aktualisasi Wayang Beber Pacitan ke dalam Komik dan Film Animasi� (Narsen Afatara), �Upaya Kabupaten Jombang dalam Merawat Budaya Panji� (Nasrul Ilahi), dan �Estetika Sastra Pascamitos, Menambang Tenaga Gaib� (S Jai).





Terlepas kebenaran Panji sebagai tokoh sejarah atau mitos belaka�sejarah yang didongengkan atau dongeng yang disejarahkan�keberadaan Panji dipastikan bakal bisa menumbuhkan etos warga Jatim. Dengan catatan, kearifan lokal tersebut dipegang teguh dan dikelola seiring dengan perkembangan zaman. Bangsa-bangsa yang hingga kini masih menghormati kebudayaan sendiri bisa dijadikan contohnya. Ambil saja contohnya; Jepang. Hingga detik ini Jepang memang masih menghormati nilai-nilai kesatria yang terangkum di masa silam.





Dengan mengacu hal itu, jika nilai-nilai positif Panji ini disadari secara bersama oleh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Jatim, maka nusantara akan kembali menjadi kekuatan besar yang memiliki identitas jelas ketika menatap ke depan. Atau tidak perlu berlebihan, setidaknya dengan membaca Konservasi Budaya Panji, pembaca memahami akar sejarah tradisi besar yang telah hidup dan berkembang di Jawa Timur. Itu saja dan selamat menyelami. (nga)
Dari DK Jatim
Henri Nur Cahyo - Personal Name
899.22109 CAH Kon
9789791879378
Indonesia
Book - Paperback
Dewan Kesenian Jawa Timur
2010
216
LOADING LIST...
LOADING LIST...