Detail Cantuman Kembali
Masa Depan Budaya Daerah
Suara Pembaruan Daily 11/7/2006
Maman S Mahayana memang tenang. Saat peserta diskusi tertawa lebar, ia tidak gugup. Tetap tersenyum dan meneruskan ucapannya. Di kampus Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat belum lama ini, tepatnya di salah satu ruang di Gedung IX Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB). Diskusi diselenggarakan kelompok diskusi Simpay (Paguyuban Guar Sunda) yang sebagian penggagasnya berasal dari lingkungan FIB UI.
�Baiklah, dalam diskusi kali ini kita beruntung bisa menghadirkan pak Ajip Rosidi. Silakan peserta diskusi menyimpulkan hasil diskusi santai sore ini,� kata dosen Bahasa Indonesia FIB UI yang menjadi moderator dalam diskusi tersebut.
Sastrawan Ajip Rosidi yang duduk persis di sebelah Maman tersenyum. Peserta diskusi kembali tertawa terbahak bahak. Suasana menyenangkan itu tidak lepas dari tema diskusi yang membahas soal bahasa dan sastra Sunda. Semua peserta diskusi diwajibkan menggunakan bahasa Sunda.
Ajip Rosidi yang tampil sebagai pembicara tunggal jelas mampu menggunakan bahasa Sunda dengan baik. Siapa pula yang tidak tahu produktivitas salah seorang penggagas terbentuknya Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) itu. Menulis puisi, cerita pendek dan artikel dalam bahasa Indonesia dan Sunda sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama.
Lain Ajip lain pula peserta diskusi termasuk moderator diskusi. Hampir sebagian besar kurang dan bahkan ada yang sama sekali tidak mampu berbahasa Sunda. Ironisnya, sebagian besar yang tidak mampu berbahasa Sunda itu mempunyai latar belakang dari keluarga Sunda.
Wartawan Pembaruan yang lahir dari keluarga Sunda, apa boleh buat, mendapat sindiran dan menjadi bahan tertawaan peserta diskusi karena terbukti tidak mampu berbahasa Sunda dengan lancar dan baik dalam diskusi itu.
Agus Aris Munandar, arkeolog dari UI yang semula menggunakan bahasa Sunda saat mengajukan pertanyaan kepada Ajip, terlihat gugup berbicara. Ia akhirnya menyerah. Pertanyaannya mengenai posisi pantun Sunda sebagai sumber penyusunan sejarah terpaksa diteruskan dalam bahasa Indonesia.
Peserta lain yang mengaku orang Sunda mungkin hanya menggunakan satu dan dua kata bahasa Sunda saat menyampaikan pendapatnya. Selebihnya, bahasa Indonesia yang jadi pilihan.
Itulah kenyataannya. Kenyataan buruk itu tampaknya tidak hanya menimpa Bahasa Sunda. Pengguna bahasa daerah lainnya yang lahir dan besar di Indonesia banyak yang sudah tidak mampu berbahasa daerahnya.
Buram
Potret buram bahasa daerah itu pula yang mendorong Yayasan Kebudayaan Rancage dibentuk. Mempertahankan sekaligus mengembangkan bahasa daerah. Semula Yayasan Rancage hanya memberikan Hadiah Sastra Sunda kepada para penulis yang menuliskan karyanya dalam bahasa Sunda.
Belakangan yayasan yang berangggotakan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas dan kawan-kawannya memberikan Hadiah Sastra kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa dan Bali. Mereka menilai proses kepunahan bahasa Jawa dan Bali juga tengah terjadi sama seperti masa depan bahasa Sunda. Indikatornya, semakin sedikit orang yang menggunakan ketiga bahasa daerah itu.
Semakin sedikit pula orang yang mampu menulis dalam ketiga bahasa daerah itu.
�Orang Sunda sekarang lebih banyak berbicara bahasa Indonesia bukan karena rasa kebangsaan. Mereka beranggapan, bahasa Indonesia kelasnya lebih tinggi daripada bahasa daerah. Anggapan demikian tidak hanya terdapat pada orang Sunda. Orang Jawa juga umumnya mempunyai anggapan demikian. Dan seperti pernah saya kemukakan, yang kelasnya lebih tinggi daripada bahasa Indonesia adalah bahasa asing,� kata Ajip dalam artikelnya yang berjudul Bahasa Pengantar dan Bahasa Ibu sebagaimana dimuat dalam buku Korupsi dan Kebudayaan.
Saat ditemui di kediamannya di Pasar Minggu Jakarta Selatan, Minggu (9/7) malam, Ajip menjelaskan, hancurnya bahasa daerah termasuk bahasa Sunda diakibatkan salah paham sebagian orang Sunda terhadap bahasa ibunya sendiri dan kekacauan berpikir pemerintah tentang bahasa daerah.
Orang Sunda yang hanya mau menggunakan bahasa Indonesia bahkan di rumahnya sendiri, sebagian di antaranya menilai bahwa menggunakan bahasa Indonesia merupakan wujud dari nasionalisme. Padahal orang yang menggunakan bahasa Indonesia belum tentu mempunyai kebangsaan yang tebal. Orang yang di rumahnya menggunakan bahasa daerah bukan berarti nasionalismenya tipis.
Lalu bagaimana dengan pemerintah? �Pamaranteh lain wae teu ngarti soal budaya daerah. Pemerentah teu daek ngarti soal pentinna budaya daerah kaasup bahasa daerahna,� katanya dalam bahasa Sunda. Dengan penjelasannya ini Ajip ingin mengatakan bahwa pemerintah bukan hanya tidak mengerti soal budaya termasuk bahasa daerah. Lebih parah dari itu, masih menurut Ajip, pemerintah tidak mau mengerti arti penting bahasa daerah.
Pertimbangan ekonomi, merupakan faktor yang mempercepat hancurnya bahasa Sunda. Kemampuan bahasa asing berkaitan dengan terbukanya kesempatan bekerja di perusahaan asing dengan gaji tinggi. Dengan kemampuan bahasa Indonesia, peluang pekerjaan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan orang yang hanya mampu berbahasa daerah. Dengan bahasa daerah, tidak ada pintu yang terbuka. Mereka yang mempunyai gelar sarjana pendidikan jurusan bahasa daerah sekalipun akan kesulitan mendapatkan pekerjaan karena jumlah sekolah yang mengajarkan bahas daerah terbatas.
�Jika tidak ada keseriusan bersama untuk mengembangkan bahasa daerah, kita harus siap menyaksikan punahnya bahasa daerah termasuk bahasa Sunda. Kita tahu pemerintah sulit diharapkan. Di tangan kita bersama masa depan bahasa daerah berada,� tegas Ajip tampak senang hadir pada diskusi di UI. Ia sekarang tahu, di UI, muncul kesadaran mengenai arti penting pengembangan bahasa daerah. [Pembaruan/Aa Sudirman]
Ajip Rosidi - Personal Name
499.22 ROS Mas
9794193291
Indonesia
Book - Paperback
Pustaka Jaya
2004
136
LOADING LIST...
LOADING LIST...