Detail Cantuman Kembali

XML

Membuka Pintu bagi Masa Depan


Sejarawan Sartono Kartodirdjo hari Kamis (15/2/2007) genap berusia 86


tahun. Kondisi kesehatannya kian menurun. Sartono tidak saja memberi


contoh di wilayah publik sebagai Bapak Sejarah Indonesia, tetapi juga


memberi teladan dan inspirasi sosok pribadinya. Ia memilih hidup


asketis.





Mengapa memilih hidup asketis? Nilai-nilai apa yang mendasarinya?


Bagaimana pergulatan hidup asketisnya?





Dilahirkan tengah malam di Wonogiri, 15 Februari 1921, dari pasangan


Tjitrosarojo dan Sutiya, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara


kandung, Sartono dibesarkan dalam ruang sosial budaya abangan.


Sebagai manusia Jawa, ruang inilah yang paling awal membentuk


pandangan dunianya. Salah satu medium dalam proses pembentukan adalah


dunia pewayangan. Melalui wayang, ia menyerap psikologi tokoh Arjuna,


Krisna, Rama, dan tokoh-tokoh Pandawa. Dengan kata lain, dunia


pewayangan merupakan bagian kosmologi Sartono.





Dalam pendidikan formal?HIS, MULO, HIK? Sartono menyerap budaya


Barat. Di HIK Muntilan, selain menyerap budaya Barat secara lebih


intensif, Sartono juga menyerap nilai-nilai dan ajaran Kristiani.


Ketika di MULO, ia membaca buku karya Thomas A Kempis, De Imitatione


Christio (Meniru Kristus), yang diakui amat memesona kepribadiannya.


Buku ini amat kuno dan bisa dianggap 'buku babon' bagi umat


Kristiani, berisi doa-doa yang semula ditulis oleh Kempis untuk


sesamanya, rahib.





Di HIK, nilai Kristiani membentuk kepribadian Sartono karena ia


mendapat pendidikan khusus sebagai (calon) bruder. Meski akhirnya


memilih karier guru, nilai-nilai yang diserap selama di HIK tetap


menjadi pemandu dalam perjalanan hidupnya.





Sebagai sejarawan





Karier sebagai sejarawan dimulainya ketika tahun 1950 memilih studi


di Jurusan Sejarah UI dan menyelesaikannya enam tahun kemudian, 1956.


Sepuluh tahun kemudian, 1966, ia meraih doktor di Universitas


Amsterdam dengan disertasi, The Peasants' Revolt of Banten in 1888,


It's Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Sosial Movements


in Indonesia menjadi batu loncatan dalam studi sejarah Indonesia.





Petani atau orang kecil yang dalam sejarah konvensional menjadi non-


faktor, dalam karya Sartono menjadi aktor sejarah. Ini merupakan


akibat pendekatan baru dalam kelompok New History, yaitu penganut


aliran yang dikenal dengan istilah social scientific approach.


Pendekatan ini memberi cahaya dalam jalur perkembangan dan arah


historiografi Indonesiasentris.





Prof Dr WF Wertheim, promotor Sartono, mengatakan bahwa disertasi


tersebut berharga tidak hanya terletak dalam memunculkan secara rinci


peristiwa sejarah dengan bagus dan jelas, tetapi juga keluasan dan


kedalaman dalam menempatkan sejarah pada ranah ilmu sosial secara


umum. Karya Sartono itu menjadi buku babon historiografi Indonesia.





Dari segi intelektual?mengutip Kuntowijoyo?perkembangan pemikiran


Sartono dapat dibagi menjadi tiga periode.





Pada dasawarsa pertama, ia disibukkan pemikiran substansi sejarah.


Pada Seminar Sejarah Nasional tahun 1957 di Yogyakarta ia


mengemukakan pikirannya tentang periodisasi sejarah. Ia menolak


periodisasi berdasarkan politik sebab periodisasi demikian berarti


pengurangan terhadap cita-cita integrasi. Sartono melihat pendekatan


politik sebagai kekurangan, dan mengusulkan pendekatan sosiokultural


dan ekonomi dalam periodisasi.





Dalam dasawarsa kedua, pemikirannya ditujukan pada metodologi


sejarah. Didorong keinginannya untuk memperbaiki perkuliahan guna


menyiapkan calon-calon sejarawan, sejak kembali Indonesia, 1967, ia


memperbarui metodologi sejarah. Dua kata kunci yang selalu keluar


ialah sejarah multidimensional dan sejarah struktural. Pembaruan


metodologi ini dipengaruhi perkembangan historiografi di AS dan


Eropa, saat orang mencoba mendekatkan sejarah dengan ilmu sosial.





Pada dasawarsa ketiga, mutakhir, ia disibukkan pemikiran tentang


pendekatan interdisipliner ilmu-ilmu sosial. Kedudukannya sebagai


Kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM (1973-


1982) berpengaruh pada perkembangan pemikirannya. Pendekatan


interdisipliner inilah yang membuat sekali perluasan pemikiran


historiografi dan ilmu sosial Sartono mengalami perkembangan baru.


Tema-tema baru muncul dalam tulisan-tulisannya.





Pada periode ini, ia juga banyak menulis masalah sosial dan budaya,


terutama yang terkait pembangunan, yaitu tema-tema sosial kemiskinan,


modernisasi, migrasi, tukang becak, sistem gotong royong, keresahan,


dan masalah pembangunan lainnya. Tema yang selalu disorot adalah soal


kelembagaan, kepemimpinan, partisipasi, pembangunan dari bawah,


pembangunan manusia, teknologi manusiawi. Tampaknya, ia amat


dipengaruhi konsep perubahan dan transformasi sosial dari pemikir non-


Marxis, seperti Weber dan Durkheim.





Usia bukan halangan





Sebagian besar manusia Indonesia menjadikan disertasinya sebagai


karya puncak dan terakhir. Kalaupun kemudian menulis, yang ditulis


hanya repetisi dari yang sudah ditulisnya. Sartono tidak demikian.


Pada ulang tahunnya yang ke-80, 2001, ia masih menerbitkan buku


berjudul Indonesian Historiography.





Apa yang ingin diperlihatkan oleh Sartono adalah usia bukan alasan


untuk berhenti berkarya. Kerja seorang ilmuwan adalah kerja tanda


henti. Dalam setiap kesempatan, ia selalu mengingatkan siapa pun,


khususnya murid-muridnya, ilmuwan 'jangan seperti pohon pisang, yang


hanya berbuah sekali lalu mati.'





Apa yang telah dihasilkan Sartono adalah buah ketekunan dalam


belajar, kesungguhan mengerjakan tugas keilmuan; baik sebagai


pengajar, peneliti, maupun sebagai penulis yang dibalut kedisiplinan


yang tinggi. Integritas intelektualnya amat luar biasa. Ia tidak mau


melakukan kompromi dengan kejujuran intelektualnya. Demi menjaga


kekritisannya, ia mengambil jarak dengan kekuasaan dan memilih hidup


asketis. Pilihan ini mendapat pijakan dari nilai-nilai yang telah


membentuk dan membangun kepribadiannya: Jawa, Barat, dan Kristiani.





Sebagai manusia biasa, ia pernah mengalami berbagai keraguan dan


kebimbangan dalam hidupnya, baik saat merintis karier maupun


mempertahankan integritasnya sebagai sejarawan. Dalam kondisi


demikian, menurut Sartono, dibutuhkan ketetapan hati berdasar


keyakinan, 'setiap usaha membawa pahalanya sendiri'. Pada titik-titik


kisar seperti itu, peran istrinya, Sri Kadaryati, yang dinikahinya


hampir 50 tahun silam, memiliki peran besar.





Bagi Sartono, dalam pembangunan bangsa, sejarawan memberi sumbangan


dalam merekonstruksi sejarah nasional sebagai lambang identitas


nasional. Fungsionalisasi pelajaran sejarah dapat merevitalisasi


nasionalisme pada generasi muda sehingga dapat dijiwai lagi etos


nasionalismenya. Dengan demikian, generasi baru dengan spirit baru


dapat menghadapi masa depan dengan menengok ke belakang sesuai


semboyan, melupakan sejarah berarti menutup pintu bagi masa depan.


Hidup dan karya Prof A Sartono Kartodirdjo telah diabdikan


untuk 'membuka pintu bagi masa depan'.
M. Nursam - Personal Name
928 NUR Mem
9789797093532
Indonesia
Book - Paperback
Indonesian
Kompas
2008
Jakarta
382 Halaman
LOADING LIST...
LOADING LIST...