Artikel ini merupakan bagian dari seri eksplorasi mengenai makna dan pengalaman membaca. Artikel kali ini diterjemahkan dari tulisan Jennifer Howard, “Secret Lives of Readers,” The Chronicle of Higher Education, 17 Desember 2012: http://chronicle.com/article/Secret-Reading-Lives-Revealed/136261/ Karena artikel asli ini cukup panjang, untuk memudahkan pembacaan, artikel ini dipecah menjadi tiga bagian. Semoga menikmati!
Buku mengungkap diri mereka sendiri. Apakah mereka hadir dalam bentuk cetak ataupun pixel, buku dapat dibaca dan diperiksa dan diungkap rahasianya. Pembaca, sebaliknya, jauh lebih sukar dipahami. Mereka meninggalkan jejak—catatan di pinggir halaman, noda pada jilidan—tapi petunjuk-petunjuk penanganan buku itu bercerita dengan sangat terbatas. Pengalaman membaca hilang dengan pembaca.
Bagaimana kita mendapatkan kembali pengetahuan dan pengalaman membaca dari masa lalu? Akhir-akhir ini akademisi telah meningkatkan perburuan mereka untuk mendapatkan bukti bagaimana orang-orang, seiring dengan berjalannya waktu, berinteraksi dengan buku, koran, dan materi cetak lainnya.
“Anda mencari noda air mata di atas halaman,” ungkap Leah Price, profesor Sastra Inggris di Universitas Harvard, dan penulis How to Do Things With Books in Victorian Britain (Princeton University Press, 2012). “Anda mencari bukti nyata apa yang buku itu lakukan pada pembaca”—dan apa yang pembaca lakukan pada buku.
Penelitian Price terletak pada kumpulan investigasi mutakhir yang sedang berkembang mengenai sejarah membaca. Bidang ini mengambil dari berbagai bidang lainnya, termasuk sejarah buku dan bibliografi, kritisisme sastra dan sejarah sosial, serta kajian komunikasi. Bidang ini melihat ke belakang ke era pra-Gutenberg, kembali ke tablet tanah liat dan gulungan naskah peradaban kuno, dan ke depan ke perdebatan saat ini mengenai bagaimana teknologi mengubah cara kita membaca. Meskipun banyak pencaharian seringkali berpusat pada kebudayaan Anglo-Amerika dari tiga atau empat abad yang lalu, bidang ini telah mengembangkan lingkupnya, dengan peneliti menemukan berbagai sejarah membaca yang tersembunyi dari berbagai kebudayaan yang acapkali dikatakan mayoritas berbudaya lisan[1].
Ini adalah usaha yang cukup sulit. Seorang bibliographer bekerja dengan bukti fisik—naskah, buku cetak, salinan dari Times London. Seorang peneliti yang berupaya untuk mengkaji pembaca dari masa lalu seringkali harus membaca yang tak terungkap di antara baris-baris tulisan. Tulisan-tulisan di pinggir buku dapat menjadi sumber utama informasi mengenai pemilik dan pembaca buku, tapi keberadaannya jarang. “Seringkali, kebanyakan pembaca dari zaman dulu, dan hingga sekarang, tidak menulis di buku mereka,” jelas Price.
Tapi bahkan penampilan buku yang kurang tergunakan dapat dibaca sebagai bukti. “Perpustakaan John F. Kennedy Library di Boston memiliki satu eksemplar buku Ulysses yang halamannya—selain beberapa halaman di awal dan di akhir—tampak sama sekali belum tergunakan,” katanya. “Ini menjelaskan sesuatu pada kita mengenai pemiliknya—yang kebetulan adalah Ernest Hemingway.”
“Sejarah membaca,” kata Price, “sebenarnya juga harus meliputi sejarah tidak membaca.”
Siapapun yang pernah memajang kumpulan buku sebagai piala di atas meja tahu bahwa orang-orang melakukan banyak hal dengan buku selain membacanya. Sebuah buku dapat digunakan sebagai tanda tingkat intelektual atau aspirasi seseorang. Buku juga dapat digunakan untuk membangun batasan sosial antara suami istri di meja makan, atau dengan orang asing di kereta. Buku dapat dipilah-pilah dan didaur ulang menjadi seni. Karya Price menciptakan ulang berbagai penggunaan buku di luar teks.
Kajian sebelumnya mengenai teori pembaca-penerima (reader-reception theory) dan sejarah buku membantu membawa pada penelitian saat ini mengenai pembaca dan membaca. Di tahun 1984, Janice Radway, menerbitkan terobosan kajiannya, Reading the Romance, yang menyelidiki bagaimana membaca novel membantu sekelompok perempuan di Midwest bertahan menghadapi tuntutan dan batasan kehidupan mereka. Radway, seorang profesor komunikasi di Universitas Northwestern, melanjutkan menulis A Feeling for Books, mengenai Klab Buku-Bulan-Ini dan sensibilitas literer kelas menengah, serta menulis bersama seri sejarah, yang terdiri dari berbagai bagian, mengenai buku di Amerika. Semenjak Reading the Romance, etnografi membaca mulai berkembang di kalangan cendekia. Radway menunjuk pada Forgotten Readers, kajian Elizabeth McHenry mengenai masyarakat literer Afrika-Amerika, Writing with Scissors oleh Ellen Gruber Garvey mengenai scrapbooking, dan City Reading oleh David Henkings mengenai tanda-tanda di lingkungan urban, sebagai contoh yang kuat. “Orang-orang menjadi sangat kreatif dalam berupaya memahami bagaiman sekelompok pembaca berinteraksi dengan teks sebagaimana terwujud dalam berbagai bentuk,” ucapnya.
Sejarawan buku memiliki pengaruh penting dalam perkembangan sejarah membaca. Sebagai contoh, di tahun 1996, Robert Darnton, sejarawan Prancis abad ke-18, menerbitkan The Forbidden Best-Sellers of Pre-Revolutionary France, di mana dia berpednapat bahwa which he argued that pembacaan diam-diam buku-buku terlarang membantu menyalakan mesiu Revolusi Prancis. Darnton, sekrang direktur perpustakaan Universitas Harvard, telah menerbitkan sekumpulan buku penting mengenai sejarah penerbitan dan penggunaan buku.
Di tahun 2001, Jonathan Rose, profesor sejarah Universitas Drew, membalikkan asumsi mengenai apa yang dibaca ataupun tidak dibaca oleh kaum non-elit Briton dalam The Intellectual Life of the British Working Classes. Rose, yang mendirikan bersama the Society for the History of Authorship, Reading, and Publishing, sekarang ini sedang mengerjakan kajian mengenai bacaan Winston Churchill, bagaimana ini membentuknya, dan bagaimana membaca Churchill kemudian mempengaruhi politisi-politisi yang lebih muda, termasuk John F. Kennedy.
Akademisi juga telah mengembangkan sejarah membaca di luar konteks Anglo-Amerika. Di tahun 2003, Isabel Hofmeyr, profesor sastra Afrika di Universitas Witwatersrand, di Afrika Selatan, menerbitkan The Portable Bunyan, yang mengkaji Pilgrim’s Progress sebagai “buku transnasional” dengan pembaca dari seluruh dunia, termasuk di daerah sub-Sahara Afrika. Tahun ini, Archie L. Dick, profesor ilmu informasi dari Universitas Pretoria, menerbitkan The Hidden History of South Africa’s Book and Reading Cultures (University of Toronto Press).
[1] Catatan penerjemah: Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mungkin adalah salah satunya. Meski seringkali dikatakan sebagai negara berbudaya lisan, bukti sejarah dari abad 16-17 menunjukkan bahwa penduduk di Jawa dan Bali memiliki kemampuan baca tulis yang bahkan jauh lebih luas tersebar di kalangan penduduknya dibandingkan dengan di Eropa atau di Tiongkok. Lihat bab terakhir di buku Anthony Reid (1988).