Image of Kandang dan Gelanggang

Book - Paperback

Kandang dan Gelanggang



Resensi buku:


Kandang dan Gelanggang, Sinema Asia Tenggara Kontemporer


Penyunting: Eric Sasono


Penerbit: Kalam dan HIVOS


Tebal: 139+vi halaman





Denys Lombard dalam bukunya yang terkenal, Nusa Jawa:Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris (1990) mengatakan bahwa kukuhnya konsep geohistoris dan geopolitik Asia Tenggara berakar dari kesejajaran sejarah lampau kawasan ini yang melampaui ratusan tahun bahkan lebih dari seribu tahun. Ia melihat bahwa perkembangan peradaban di Pulau Jawa seiring seirama dengan perkembangan di kawasan lain di Asia Tenggara, yakni Angkor, Pagan, dan Sukhotai. Di cekungan sungai Tonle Sap di Kamboja, lembah Kyaukse dan tepian sungai Irawaddi di Birma, daerah Menam Tengah di Thailand, dan lembah Bengawan Solo serta Brantas di Indonesia terbentuk kerajaan yang berbasis teokratis, dengan masyarakat yang kurang lebih hirarkis dan berbudaya padi yang terencana.





Kesamaan ini menghasilkan sebuah ciri kultural yang mirip di antara masyarakat kawasan ini, antara lain penggunaan tulisan yang cukup intensif, terbentuknya golongan pegawai, terutama di sektor pertanian, munculnya berbagai golongan istimewa di piramida sosial, dan terbentuknya kota-kota agraris.





Ciri-ciri ini kemudian mempengaruhi bentuk-bentuk ungkap seni di mana seni drama tradisional dengan naratifnya yang kuat seperti wayang dan sandiwara menjadi sebuah karakter definitif seni di Asia Timur dan Tenggara. Alasan-alasan ini pula yang membuat para sejarawan sinema dunia seperti Roy Armes dan Shohini Chaudhuri menganggap sinema Asia Tenggara sebagai kesatuan geopolitik yang relatif koheren.





Roy Armes (1987) dalam kajian tentang sinema negara dunia ketiga, melihat bahwa perkembangan sinema Asia Tenggara bukan hanya ditandai oleh kesamaan teori estetik, yakni negasi prinsip imitasi seni atas kenyataan, tetapi juga sejarah kolonialisme yang dimiliki negara-negara ini. Kalau Denys Lombard melihat bahwa akar terjauh dari kesaman masyarakat Asia Tenggara adalah kerajaan-kerajaan konsentris, Roy Armes melihat bahwa faktor determinan dalam perkembangan sinema Asia Tenggara adalah masa kolonialisme. Dengan perkecualian Thailand, seluruh masyarakat Asia Tenggara adalah masyarakat terjajah. Indonesia dijajah oleh Belanda, Vietnam, Kamboja, dan Laos dijajah oleh Prancis, Filipina oleh Spanyol dan Amerika Serikat, sementara Malaysia, Singapura dan Burma dijajah oleh Inggris.





Sebuah buku sangat penting dan seminal tentang kajian geopolitik sinema, termasuk di dalamnya sebuah bab tentang salah satu sinema di Asia Tenggara, Filipina, diterbitkan oleh British Film Institute di tahun 1995. Buku berjudul The Geopolitic Aesthetic:Cinema and Space in the World System ditulis oleh Fredric Jameson justru mengkritik pendekatan �kolonialis�. Ia melihat bahwa konstruksi kajian kawasan sinema, seperti kawasan Asia Tenggara dalam konteks besar Kajian Film Dunia selalu bersifat ekstra-estetik. Kajian sinema negara-negara ini selalu diletakkan dalam konteks kajian tentang sinema post-kolonial dan negara dunia ketiga di mana sinema kawasan ini selalu dianggap sebagai ruang untuk mencari alternatif baru. Padahal, kebudayaan negara dunia ketiga sekarang ini telah terintegrasi dengan industri hiburan internasional. Imaji dalam sinema-sinema ini menampilkan pluralisme sosial sebuah kota kapitalis lanjut.





Meski demikian, harus diakui bahwa di kawasan Asia Tenggara, sinema dibawa oleh para kolonialis. Seperti yang terjadi di Indonesia, pemutaran film pertama di Jakarta (Batavia, saat itu) pada tahun 1900 digunakan terutama untuk menghibur para pegawai kolonial Belanda yang bekerja di Hindia Belanda (Indonesia). Di Filipina, film hadir terlebih dahulu pada tahun 1897, 2 tahun setelah Lumi�re mempresentasikan filmnya di Paris, yang dibawa oleh seorang fotografer, Senor Pertierra. Semenjak itu, kehadiran film di Filipina terutama disponsori oleh para pembuat film Hollywood. Vietnam sebagai jajahan Prancis dengan cepat menyerap perkembangan baru sinema di Prancis. Pada tahun 1898, surat kabar-surat kabar Vietnam telah menayangkan berbagai iklan film di halamannya. Tahun 1920, perusahaan film Prancis Path� bahkan telah membuka kantor cabang di Hanoi (Pham Ngoc Truong, 2001).





Sama seperti Vietnam, Kamboja menerima film juga di masa penjajahan Prancis, sekira tahu 1909. Sementara, pemutaran film pertama di Thailand dilakukan oleh S.G. Marchovsky pada tahun 1897 yang memutar film-film dari Prancis yang kemudian dengan cepat diadopsi oleh keluarga kerajaan. Malaysia dan Singapura mengadopsi film sejak tahun 1930-an sebagai sesama warga yang dijajah Inggris, seperti juga Burma yang mempertunjukkan film sejak tahun 1920-an.





Perkembangan selama kurang-lebih seratus tahun semenjak film diperkenalkan di kawasan Asia Tenggara telah menghasilkan para pembuat film yang dikenal dunia (Barat) lewat festival-festival. Selama beberapa tahun terakhir, sejak perubahan politik dan ekonomi cukup penting di kawasan ini pada tahun 1997, festival film internasional telah membawa nama-nama seperti Garin Nugroho, Nia Dinata, Riri Riza, Amir Muhamad, Tan Chui Mui, Royston, Pen-ek Ratanaruang dan Aphichatpong Weerasethakul ke dalam peta sinema dunia. Perkembangan sinema Asia Tenggara semakin dirasa signifikan. Banyak festival film internasional di Eropa dan Amerika Serikat mulai menjadikan sesi Asia Tenggara sebagai sesi penting. Produksi film-film di Asia Tenggara juga mulai mendapatkan sorotan.








Meski demikian, studi dan tulisan tentang perkembangan sinema Asia Tenggara masih terhitung langka. Buku-buku atau tulisan-tulisan yang dibuat oleh para penulis Barat terbatas hanya melihat kawasan ini sebagai kawasan dengan tingkat produktivitas dan estetika film terbatas. Pembahasan baik di level akademis maupun populer terbatas pada sinema-sinema yang menonjol, misalnya sinema nasional Thailand, para sutradara auteurs, seperti Garin Nugroho dan Aphicatphong Weerasatakhul, serta sekarang ini, film-film independen Malaysia yang merajai festival-festival di Eropa. Terbatasnya akses ke film-film Asia Tenggara dan terpusatnya kultur akademis di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Prancis membuat kajian sinema Asia Tenggara menjadi hal yang terlupakan. Jurnal-jurnal film bergengsi macam Cahiers du Cinema, Sight and Sound, dan jumpcut memiliki ruang terbatas untuk memberi perhatian pada kajian sinema Asia Tenggara.








Sementara kajian dari Asia Tenggara sendiri terbatas, baik dalam jumlah maupun perkembangannya. Dalam konteks inilah, sebuah buku yang diterbitkan Kalam dan HIVOS hadir pada akhir tahun 2007. Buku berjudul Kandang dan Gelanggang:Sinema Asia Tenggara Kontemporer, merupakan sebuah buku yang berusaha secara populer membahas perkembangan sinema Asia Tenggara kontemporer. Berbeda dengan buku yang pernah dieditori oleh David Hanan di tahun 2001, berjudul Film Southeast Asia:A View from the Region, buku ini tidak ingin membahas perkembangan sejarah sinema Asia Tenggara sejak mula keberadaannya. Justru, buku yang dibuat dengan bahasa Indonesia ini ingin melihat perkembangan sinema Asia Tenggara terkini, ketika formasi dan konsep tentang kawasan Asia Tenggara sendiri mendapat banyak tantangan dari kekuatan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi.





Buku ini terdiri dari 8 tulisan dan satu tulisan pengantar yang dieditori oleh Eric Sasono. Meski membahas Asia Tenggara, buku ini hanya membahas sinema Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan sedikit sinema Filipina dalam dua tulisan. Jadi penulis-penulis dalam antologi ini tidak selalu mewakili sebuah kajian negara (sinema nasionalnya). Sinema Indonesia misalnya, ditulis oleh tiga orang dengan pendekatan yang cukup berbeda. John Badalu yang membuka antologi buku ini, menulis tentang bibit-bibit muda dalam perkembangan sinema Asia Tenggara kontemporer.





Dengan ringan dan langsung, John Badalu melihat para pembuat film muda di Singapura lewat Royston Tan, Filipina via Khavn de la Cruz, Auraues Solito, Brilliante Mendoza dan Raya Martin. Untuk sinema Malaysia, John Badalu membahas sinema para pembuat film Malaysia keturunan Tionghoa. Sementara dari Thailand dan Indonesia, ia melihat hadirnya para pembuat film muda yang berjaya di festival-festival Eropa, seperti Aphicatphong Weerasathakul, Pen-ek Ratanaruang dari Thailand dan Rhavi Bharwani serta Edwin untuk Indonesia. Karena latar belakangnya, John Badalu memang menggunakan tolok ukur festival-festival film internasional sebagai indikator keberhasilan pembuat film-pembuat film muda ini. Indikator serupa digunakan oleh Ben Slater yang membahas dua film yang dibuat oleh seorang sutradara muda, Tan Pin Pin. Kedua film itu adalah Singapore Gaga dan Invisible City. Tan Pin Pin merupakan generasi paling muda di sinema Singapura yang berhasil menembus festival-festival internasional seperti Rotterdam dan Pusan, selain populer di negeri sendiri. Ben Slater secara nostalgis melihat relevansi kedua film Tan Pin Pin dalam konteks dan arsitektur urban Singapura.





Tulisan Hassan Abdul Muthalib bisa jadi merupakan salah satu tulisan paling komprehensif tentang perkembangan sinema baru Malaysia. Sinema Malaysia bisa dibilang merupakan sinema yang sekarang ini paling seksi di Eropa. Pembuat-pembuat film Malaysia seperti James Lee, Deepak Kumaran Menon, Ho Yuhang, Tan Chui Mui, Amir Muhammad, dan Yasmin Ahmad berjaya di festival-festival Eropa dan pasar film seni (art-house) internasional dengan film-filmnya yang realis, dibuat dengan budget rendah, dan pendekatan independen yang kental. Sinema Malaysia pinggiran ini, seperti yang ditulis Hassan Abdul Muthalib dengan baik sekali, merupakan ekspresi dari pemberontakan dan protes kaum muda dan kaum berpendidikan terhadap pemerintahan otoriter dan konservatif Malaysia. Tinjauan yang hampir sama juga dapat dijumpai dalam tulisan Anchalee Chaiworaporn dari Thailand.





Dengan gaya tulisannya yang ringkas dan cerdas, Anchalee melihat konfigurasi sinema kontemporer Thailand, baik sinema seni yang berjaya di festival maupun sinema populer yang kini dirajai oleh film-film genre horror, komedi, drama, dan laga. Anchalee mencoba melihat latar belakang para pembuat film muda yang kini mendominasi struktur industri film Thailand. Pembuat-pembuat film muda ini kebanyakan berasal dari industri kreatif televisi dan iklan yang membuat film dengan modal sendiri maupun investasi dari perusahaan-perusahaan film dan iklan di Thailand.





Fokus tentang sinema kontemporer dan para pembuat film muda juga diambil oleh para penulis Indonesia. Lisabona Rahman mencoba melihat perkembangan film dan penonton film di Indonesia lewat film tentang film yang diproduksi setelah 1998, ketika Kuldesak berhasil meruntuhkan hegemoni pembuatan film konvensional.





Telaah yang bisa dibilang tidak baru, ditulis oleh Eric Sasono dan Budi Irawanto. Budi Irawanto tak bisa melepaskan latar belakang akademisnya untuk menulis tentang estetika mayor dalam film-film Indonesia. Ia berusaha melihat hubungan antara keindonesiaan dengan estetika populer yang terlihat dari pendekatan genre dalam produksi film-film kontemporer Indonesia.





Mengulangi permusuhan yang sama dengan film-film genre populer, Eric Sasono mencoba meletakkan perdebatan tentang politik dan estetika dalam film Indonesia melalui protes Masyarakat Film Indonesia. Sebenarnya perdebatan ini sudah sedemikian menjemukan dalam kajian sinema dunia. Tetapi momen bangkitnya protes para pembuat film Indonesia karena sikap pemerintah dan kemenangan Ekskul pada Festival Film Indonesia tahun 2006 membawa perdebatan ini ke dalam ranah yang sebenarnya menarik. Meski demikian, seperti yang telah diajukan oleh Jinhee Choi (2006), perdebatan tentang estetika dalam sinema nasional gelombang baru, tak bisa dilihat sebagai semata-mata sebagai dikotomi estetika dan politik karena estetika hadir sebagai konstruksi sosial. Jinhee melihat bahwa sinema nasional yang disebut dengan gelombang baru (new wave), seperti yang terjadi dalam kasus Indonesia, menandai dirinya sebagai film-film yang diproduksi di dalam negara-bangsa itu, karena terjadinya perubahan dalam industri film dan kultur film. Meski tidak memiliki konsistensi/koherensi stilistik, gelombang baru memiliki karakteristik yang bisa dilihat dengan jelas, seperti kesamaan tema film, munculnya genre baru, dan perubahan mode/cara produksi. Maka proses melihat estetik hanya dalam teks film bisa jadi menyesatkan.





Aspek ideologi, ekonomi, dan kultur merupakan hal-hal yang harus diperhitungkan dalam kajian sinema yang demikian�dan tidak harus dianggap saling berlawanan. Dan jawaban memuaskan dari dahaga tulisan yang demikian kritis mengungkap tentang hal itu didapat dari tulisan menarik Anchalee Chaiworaporn tentang munculnya sineas perempuan di Korea Selatan dan Asia Tenggara. Tulisan yang merupakan hasil riset bertahun-tahun ini membuktikan bahwa tulisan populer bisa jadi sangat kaya dengan fakta dan analisis, tanpa harus terlihat akademis dan rumit dibaca.





Meski terdengar berbicara tentang kemunculan film-film yang dibuat oleh perempuan dan bertema perempuan, Anchalee justru menganalisis asal-muasal kemunculan generasi pembuat film muda perempuan di Asia Tenggara yang posisinya dalam industri film semakin menentukan. Dengan membandingkannya dengan Korea Selatan, Anchalee berhasil mengetengahkan sebuah analisis kritis dan sejauh ini, genuin, tentang sifat industri film di Asia Tenggara dan bagaimana perempuan-perempuan ini berperan dalam industri film yang masih didominasi oleh laki-laki, dengan perkecualian Indonesia. Indonesia, misalnya, merupakan sebuah negara di mana industri film kontemporernya didorong dan menjadi kembali produktif berkat sutradara-sutradara dan produser perempuan. Mira Lesmana, Nan T. Achnas, Nia Dinata, Shanty Harmayn, dan lain-lain, menggunakan berbagai cara untuk berproduksi, mulai dari memproduksi film-film seni yang berlaga di festival-festival, maupun film-film populer yang menarik kembali para penonton untuk menonton film lokal.





Sementara sutradara-sutradara dan produser film perempuan Thailand dan Filipina berasal dari industri iklan dan televisi. Sementara, perempuan di Malaysia bekerja dengan rekan pria mereka di pembuatan film independen, meski satu-dua perempuan bekerja di industri film arus utama.








Secara garis besar, antologi tulisan tentang sinema Asia Tenggara ini merupakan sebuah sumbangan berharga bagi proses penulisan sejarah sinema Asia Tenggara. Meski tidak terlalu lengkap dengan tidak menghadirkan sinema Filipina yang merupakan salah satu sinema paling tua dan paling penting di Asia Tenggara, sinema Vietnam, Laos, dan Kamboja yang memiliki pola perkembangannya sendiri, buku ini telah berusaha memberikan referensi bagi para peminat film Asia Tenggara di Indonesia. Meski beberapa ditulis dengan pendekatan akademis yang sedikit rumit, tapi secara umum, buku ini mudah dicerna dan bisa menjadi pendorong bagi studi lanjutan tentang sinema Asia Tenggara. Aktualitas tulisan-tulisan ini yang berfokus pada generasi baru perfilman Asia Tenggara merupakan hal yang belum bisa ditandingi oleh buku mana pun, kecuali sebuah atlas sinema yang diterbitkan oleh jurnal Prancis terkenal, Cahiers du Cin�ma.





Sebagai referensi bagi pembaca Indonesia, hanya satu dari delapan tulisan yang sulit dimengerti terjemahannya. Sisanya merupakan tulisan-tulisan yang cukup berisi dan diterjemahkan dengan baik. Persoalan yang melanda sebuah antologi biasanya terulangnya pembahasan oleh beberapa penulis, tetapi karena buku ini ditulis oleh 7 orang yang berbeda dengan subyek yang berbeda pula, maka pengulangan seperti itu tidak terjadi. Buku ini juga ditulis oleh para penulis dengan latar belakang yang cukup variatif, mulai dari akademisi, kritikus independen, hingga kurator/programmer festival, yang memungkinkannya menampilkan berbagai perspektif yang kaya. ***





Review by Veronica Kusuma


http://pravdakino.multiply.com/reviews/item/1


Ketersediaan

35283000C2O library & collabtive (Films & Video)Tersedia

Informasi Detil

Judul Seri
-
No. Panggil
791.4309598 SAS Kan
Penerbit Kalam : .,
Deskripsi Fisik
139
Bahasa
ISBN/ISSN
-
Klasifikasi
Indonesia
Tipe Isi
-
Tipe Media
-
Tipe Pembawa
-
Edisi
-
Subyek
-
Info Detil Spesifik
-
Pernyataan Tanggungjawab

Versi lain/terkait

Tidak tersedia versi lain




Informasi


DETAIL CANTUMAN


Kembali ke sebelumnyaXML DetailCite this