Komunitas Penerbit Jogja | September 2007 | 341pp
Senang sekali saat menerima buku ini dari dua teman termaniesz1 dan pendukung tersetia C2O, Pundi (eks-dukun Antro UNAIR, Komunitas Genjer-genjer) dan Tinta (Anitha Selvia). Tambah puas lagi begitu saya menyelesaikannya. Begitu banyak hal yang membuat saya geleng-geleng kepala, salut, cengengesan, miris dan sebagainya membaca tingkah dan dinamika penerbit-penerbit kecil.
Buku ini dibagi menjadi tiga episode (yang kurang lebih) kronologis, disertai pembuka dan catatan akhir oleh pengarang, dengan sebuah kata pengantar “Reorientasi Industri Buku Jogja” oleh St. Sunardi. Adhe membuka Declare! dengan karakter komik koboi Lucky Luke untuk menggambarkan penerbit-penerbit Jogja yang mempunya latar belakang aktivis mahasiswa dan pekerja kreatif, di mana dalam tindakan mereka suka “kekoboy-koboyan” dalam arti “suka seenaknya sendiri, tidak mempedulikan aturan, dan melakukan sekian banyak pelanggaran” tatanan dunia perbukuan seperti pengabaian hak cipta, pendaftaran ISBN, kualitas terjemahan yang buruk, kesemrawutan pembukuan & manajemen tradisional dll.
Sudah merupakan klise: dibandingkan komoditi lain pada umumnya, banyak pihak masih susah menerima buku sebagai barang komoditas pasar tanpa embel-embel status (mitos?) buku sebagai agen budaya/intelektual untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa” atau apapun lah cita-cita luhur nan gombal lainnya2. Klise satu lagi: Selang beberapa waktu, idealisme akan luntur dan bertekuk lutut pada kekuasaan pasar. Apalagi ketika yang disebut “idealisme” sering kali tidak jelas dan disesuaikan dengan kepentingannya sendiri.
Di episode pertama, Adhe menempatkan kelahiran dan maraknya penerbitan-penerbitan kecil di Jogja yang menyediakan infrastruktur pendukung penerbitan yang cukup lengkap, didukung oleh kuatnya aura intelektualitas dan semangat kebudayaan di kota ini3. Tentu saja, cara kerja “kekoboy-koboy” an tidak terbatas pada penerbit-penerbit Jogja. Hanya saja, massifikasi penerbitan berskala kecil yang seperti berada dalam satu komando terlihat paling menonjol di Jogja, belum lagi orkestrase media yang cenderung menyamaratakan mereka, dan persaingan ekonomi-politik industri buku.
Tudingan-tudingan dan permasalahan-permasalahan yang timbul seiring dengan berkembangnya industri ini dibahas dengan gamblang di episode kedua: anti-regulasi, malah copyright hingga satu judul bisa diterbitkan berbagai penerbit, distributor dengan rabat mematikan tapi laporan atau royalti yang nggak jelas, proses pindah-pindah distributor, buku-buku yang membusuk di gudang toko buku (yang proses returnya ribet), gampang susahnya pengurusan legalisasi, ganti-ganti distributor, cepatnya arus pergantian display di toko buku dll dsb.
Episode terakhir, “Penerbit di Jogja Hari Ini” membahas bagaimana beberapa penerbit kolaps, berevolusi, dan kemunculan penerbit-penerbit baru beserta “mantan staf penerbitan yang kini menjadi barisan pimpinan penerbit, distributor, biro jasa pra-cetak, event organizer, dan lain-lain.” Adhe mengamati bagaimana penerbit-penerbit Jogja mensikapi kendala-kendala yang dibahas di episode sebelumnya dan menempatkan posisinya sebagai “pembuka jalan” atau penggairah pluralitas industri perbukuan.
Jika boleh memberi sedikit komentar, mungkin beberapa perkembangan baru yang perlu dicatatat semenjak buku ini terbit adalah:
1) Sistem Print on Demand
(Sepertinya) ini fenomena baru di dunia penerbitan Indonesia, meskipun di Amerika dan negara-negara maju lainnya sudah sering digunakan, terutama untuk menerbitkan buku-buku spesialisasi terbitan university press. Di Surabaya layanan ini setau saya hanya tersedia di PT Revka Petra Media yang berlokasi di kompleks TB Petra Togamas di Jl. Pucang Anom Timur 5, denger-denger baru dibuka di awal tahun 2009.
Penulis tinggal menyerahkan naskah dalam bentuk PDF, termasuk desain sampul depan dan belakang, memilih kertas (gramasi, jenis kertas: HVS, natural white, fancy paper, dsb) dan tetek bengek lainnya, dan naskah pun selesai dicetak dalam waktu 2 jam sampai 1 hari, tergantung kepadatan jadwal mereka. Kualitas cetaknya tidak kalah dengan cetak offset, bahkan boleh dibilang lebih bagus dari kebanyakan percetakan (tintanya ngga mblobor, mau warna juga bisa).
Dari Revka, saya dengar di Jakarta sudah ada beberapa percetakan/penerbitan menggunakan sistem ini, sementara di Jogja mereka bekerja sama dengan Kanisius. Eka Kurniawan menulis tentang buku kumpulan puisi Gunawan Maryanto yang diterbitkan Omah Sore dengan sistem POD.
Tentunya harga produksi per unit buku ini cukup mahal jika dibandingkan produksi massa untuk 3000 eksemplar atau lebih. Sebaliknya, jika produksi di bawah 1000 eksemplar, maka opsi ini bisa mengurangi beban produksi. Kendalanya adalah…
2) Regulasi toko buku ritel terbesar di Indonesia yang mengharuskan pemasukan buku melalui distributor
Penerbit kini tidak bisa memasukkan stok langsung ke jaringan TB Gramedia, harus melalui distributor. Kata seorang teman saya (yang perlu dicek ulang, karena saya ubek-ubek website Gramedia kok ngga nemu-nemu fitur ini), ini dikarenakan Gramedia kini memakai sistem webID yang memberi akses ke laporan penjualan dan pembelian tapi mengenakan iuran tahunan untuk biaya maintenance servernya. Di satu sisi, transparansi ini (mungkin) akan sangat membantu efisiensi pembukuan. Di sisi lainnya, langkah ini mau tidak mau memaksa penggunaan jasa distributor yang secara langsung meningkatkan biaya produksi juga. Belum lagi…
3) Toko buku di daerah luar kota / terpencil berguguran
“Dari sekitar 5.000 toko buku yang pernah terdaftar dalam Gabungan Toko Buku Indonesia, saat ini tercatat tinggal sekitar 2.000 toko buku. Keberadaan toko buku yang tersisa itu terpusat di ibu kota provinsi, sedangkan yang berada di kabupaten atau kota serta daerah terpencil sudah tidak ada lagi.”4 Solusi alternatif yang dibahas di artikel ini adalah penargetan 1.000 toko buku mobil, terutama untuk melayani kebutuhan siswa dan sekolah terhadap buku pelajaran.
Selain poin-poin di atas, mungkin yang agak kurang dari buku ini adalah ketelitian editor – ada beberapa footnote yang ketinggalan dicantumkan, seperti footnote untuk Rumah Sinema di hal. 43 (ada beberapa lagi tapi saya lupa). Beberapa poin mungkin agak terulang-ulang, tapi terlepas dari itu, buku ini sarat dengan informasi-informasi yang menarik dan bermanfaat untuk siapa pun yang merasa perlu tahu tentang jagat buku dan penerbitan kecil Indonesia, Jogja pada khususnya.
1 Percayalah, bukan hanya ibu-ibunya yang bilang mereka maniesz. Sudah beberapa minggu ini saya nggrecokin mereka dengan keinginan saya membuat penelitian mengenai minat dan komunitas baca/kreatif/subkultur di Surabaya. Ee dikabulkan. Sekali lagi terima kasih banyak, peluk dan cium hangat selalu.
2 Lihat Miller, Laura J., The Reluctant Capitalists: Bookselling and the Culture of Consumption, University of Chicago Press, 2006. Di buku ini Miller membahas perkembangan industri toko-toko buku “independen” Amerika yang berhadapan dengan ritel-ritel raksasa seperti B&N, Borders, juga persaingan dari internet (Amazon.com)
3 Bagaimana jika “iklim intelektualitas” Jogja dibandingkan dengan Surabaya yang sering kali dikomentari sinis “miskin budaya” dan warga kotanya “demene shopping tok”? Ini yang bikin saya penasaran…
4 “50 Persen Toko Buku “Mati”” Kompas, 23 Februari 2009.