Site icon C2O library & collabtive

Merdeka: Potret ketegangan teritori

This is  an article by Louis Zweers, art and photohistorian, translated into Indonesian for C2O (click here for the Indonesian version).  The original English version is taken from: Zweers, Louis. “‘Merdeka’: images of hostile territory” in IIAS the Newsletter 53, Spring 2009.  This Asian-studies newsletter is available at C2O for your reading pleasure, or you can read it online at: http://www.iias.nl/article/merdeka-images-hostile-territory


Biro foto pers independen, Indonesian Press Photo Service (IPPHOS), yang didirikan di tahun 1946 oleh Frans dan Alex Mendur, dan kakak beradik Umbas, adalah biro foto pertama—bahkan dulu, terbesar—di Indonesia.  Foto-foto di IPPHOS umumnya diambil selama masa perjuangan kemerdekaan dalam periode 1945-1949.  Saat ini, foto-foto IPPHOS adalah satu-satunya foto-foto biro yang terselamatkan dari periode tersebut.  Koleksi dari biro foto pemerintah ANTARA dan BERITA Film Indonesia sendiri lenyap dihancurkan setelah peristiwa 1965.  Sejarawan seni dan foto Louis Zweers mendapatkan privilese akses ke koleksi yang terselamatkan dari periode penuh pergolakan itu, dan kini berada di Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta.

Artikel oleh Louis Zweers.   Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Perpustakaan C2O.

DI AWAL TAHUN 1946, Presiden Sukarno terbang, mengungsi dari Jakarta karena alasan keamanan. Bersama keluarganya beliau menempat di bekas istana Gubernur di Yogyakarta, ibukota baru Republik.  Di saat yang sama pula, banyak pegawai maupun anggota parlemen pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.  Bahkan markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun didirikan di bekas Grand Hotel, yang kemudian disebut sebagai Hotel Merdeka.  Kota yang padat dan tegang dalam situasi perang ini—garis depan perang di Jawa—juga merupakan tempat berkumpulnya sejumlah fotografer Indonesia dari Indonesian Press Photo Service (IPPHOS).

Koleksi IPPHOS menunjukkan bahwa fotografer biro tersebut tidak hanya mematri gambar kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia, tapi juga antusiasmenya terhadap pemimpin-pemimpin Indonesia.  Presiden Sukarno tampak sebagai satu sosok kecil dalam pertemuan massa, dengan sorak-sorai penonton di sekelilingnya.  Foto-foto demonstrasi dan pidato dalam periode revolusi menunjukkan dukungan masyarakat terhadap baik pemimpin nasional dan perjuangan menuju kemerdekaan.  Rakyat Indonesia sedang memperjuangkan kebebasan mereka, dan ini tercerminkan dalam banyak foto pasukan-pasukan muda gerilya Indonesia, dengan caption seperti: ‘Militia Indonesia siap bertarung dengan musuh Belanda’, atau, ‘Pejuang Indonesia siap sedia mempertahankan diri dari serangan militer Belanda.’

Yogyakarta, 5 Oktober 1946. Parade tentara Indonesia di alun-alun pada peringatan tahun pertama angkatan bersenjata. Kegagahan tampak menonjol. Dalam foto, tentara seperti sangat profesional, tapi layanan informasi militer Belanda mengestimasi hanya 1 dari 4 prajurit Indonesia memiliki senapan api. Koleksi IPPHOS, ANRI.

Orang-orang Indonesia mempersenjatai diri dengan peralatan Belanda, senjata-senjata yang disita dari tentara Jepang, dan perangkat sederhana dari pabrik provisi militer Republik Indonesia.  Dengan senjata dan upah minim pejuang-pejuang Indonesia menghadapi pasukan Belanda dengan tank dan pesawat tempur.  Berbagai teknik gerilya diciptakan dan dikembangkan dengan cepat untuk menghindari konflik terbuka.  Sebagai contoh, ketika mereka mundur dari arena perang, mereka menggunakan taktik ‘tanah terbakar (scorched earth)’ dan membom jembatan dan merusak gedung-gedung pemerintah, pabrik dan perumahan Eropa.  Pejuang-pejuang Indonesia, dengan dukungan rakyat, bergerak melawan kekuasaan kolonial dan foto-foto dari koleksi IPPHOS menunjukkan pemuda-pemudi Indonesia dengan senjata sederhana, bahkan primitif.  Prajurit perempuan berbaris maju dengan bambu runcing di sepanjang anak tangga istana presiden di Yogyakarta.  Wakil Presiden Mohammad Hatta dan bapak pendiri tentara Indonesia yang masih muda, Jenderal Sudirman, memberi salam pasukan.

Yogyakarta, 1946. Prajurit Indonesia dengan senapan mesin. Koleksi IPPHOS, ANRI.

Ada banyak representasi keterlibatan dan kegagahan pemuda dan pemudi Indonesia, dan caption asli foto-foto ini acap kali menyerukan kesiapan mereka melawan Belanda.  Menariknya, foto-foto ini banyak menunjukkan aktivitas persiapan perang para gerilyawan/wati muda Jawa, tapi hampir tidak ada foto yang memotret aktivitas-aktivitas perang gerilya itu sendiri.  Tidak ditemukan potret pertarungan atau perkelahian keras.  Begitu pula, sedikit sekali foto yang memotret korban kekerasan militer Belanda.  Ini patut dicatat mengingat tingginya jumlah korban rakyat Indonesia saat itu.  Dalam satu dari sedikit foto yang tersedia, rakyat Indonesia terlihat mengejek prajurit-prajurit Belanda ‘Andjing Nica’ dari batalyun infanteri KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda)—yang terkenal dengan perlakuan kejinya terhadap pasukan gerilya.  Perlu dicatatat juga bahwa ribuan orang Indo-Eropa dan Tionghoa yang menjadi korban kekerasan Indonesia tidak dipotret.  Koleksi foto IPPHOS kebanyakan propagandistik, dengan gambar-gambar yang menekankan generasi muda Indonesia dan perjuangan teguh mereka untuk kemerdekaan.

Malang, Jawa Timur, 1946. Murid sekolah lanjutan menerima training senjata. Koleksi IPPHOS, ANRI.

Sangatlah sulit bagi fotografer dan wartawan Belanda untuk mendapatkan akses ke dalam area yang dikontrol oleh rakyat Indonesia saat itu.  Laporan-laporan area tersebut yang terkadang muncul dalam majalah mingguan atau koran harian biasanya berasal dari biro pers asing.  Beberapa cerita bergambar eksklusif dari Yogyakarta muncul dalam majalah berilustrasi Belanda, Katholieke Illustratie dan Panorama.  Menurut label fotonya, foto-foto ini berasal dari biro foto Amerika dan kedua majalah tersebut telah mendapatkan hak eksklusif untuk laporan-laporan itu.  Namun sebenarnya, foto-foto itu diambil oleh seorang fotografer perang (war photographer) Belanda, Hugo Wilmar.  Wilmar mendapatkan kartu pers dari biro foto pers Amerika dan mengaku dirinya sebagai fotografer pers Amerika.  Dia berhasil menyusupkan diri dalam satu grup internasional, Komite Layanan Baik (the Committee of Good Services), yang ditunjuk oleh dewan keamanan PBB.  Sepertinya, pegawai maupun pejabat Indonesia tidak ada yang curiga atas status warga negara Belanda Wilmar.  Dia dapat bekerja tanpa halangan di Yogyakarta.  Tidak saja dia dapat memotret aktifitas-aktifitas di kubu Indonesia, termasuk latihan tentara dan pidato Sukarno di hadapan tentara, Wilmar bahkan mendapatkan akses ke presiden Indonesia di rumahnya.  Dua majalah Belanda yang memuat foto-foto luar biasa tersebut tidak menyebutkan bahwa foto itu berasal dari fotografer mereka, karena kepala redaksinya tidak ingin membahayakan nasib Wilmar.  Cerita-cerita dengan puluhan foto ini berdampak besar di Belanda. Foto-foto itu menunjukkan betapa minim dan kekurangannya rakyat Indonesia.  Mereka membawa bambu runcing, senapan kayu untuk latihan, dan senjata-senjata lainnya yang berhasil mereka sita dari Jepang dan Belanda.  Mereka mengenakan seragam seadanya, kebanyakan digabung-gabung dari seragam Jepang.  Beberapa prajurit berambut sangat panjang, karena mereka bersumpah baru memotong rambutnya setelah Belanda telah jelas lenyap  dari Indonesia.  Caption dari foto-foto dalam reportase Belanda menekankan buruknya peralatan dan organisasi tentara Indonesia, sementara teks yang ditulis oleh redaksi memberi sentuhan propagandistik ke foto-foto Wilmar.  Kenyataannya, koran harian dan majalah-majalah Belanda mempublikasikan situasi di Indonesia berdasarkan informasi yang disediakan oleh layanan informasi tentara (yang dinamai ulang di musim semi 1947 sebagai ‘Dienst voor Legercontacten’).  Foto-foto ini mencerminkan kenaifan dan ketidak-kritisan pers Belanda yang laporan-laporannya tidak diragukan memberi kesan ‘silang sengkarut’ Indonesia.

Louis Zweers
Erasmus University, Rotterdam
zweers@fhk.eur.nl

Artikel ini diterjemahkan dari Zweers, Louis. “‘Merdeka’: Images of hostile territory” dalam IIAS the Newsletter 53, Spring 2010.  Newsletter pusat penelitian studi Asia di Belanda ini berisi banyak informasi dan visual sejarah sosial budaya Asia, termasuk Indonesia.  Tersedia di ruang baca perpustakaan C2O.

Keterangan foto pertama: Yogyakarta, 5 Oktober 1946. Markas besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) didirikan di bekas Grand Hotel. Sukarno di atas kuda, seperti pejuang kebebasan abad ke-19, Raden Dipanegara, melakukan inspeksi tentara. Di belakang, Jendral Sudirman, pemimpin tentara Indonesia, tampak mengendarai kuda juga dengan mengenakan seragam putih. Pertemuan ini terjadi di acara peringatan satu tahun kekuatan militer di alun-alun tengah ibukota Republik Indonesia. Koleksi IPPHOS, ANRI.

Exit mobile version