Site icon C2O library & collabtive

Mati, Bertahun yang Lalu

Buku “Mati, Bertahun yang Lalu” akan dibedah dalam bahasa Inggris di C2O pada hari Senin, 3 Januari 2011, pk. 15.00. Bersama penulis Soe Tjen Marching, dimoderatori oleh Dr. Angus Nicholls, pengajar sastra komparasi, University of London. Mari mendiskusikan novel sambil belajar mempraktikkan bahasa Inggrismu! Info: http://c2o-library.net/2010/12/book-discussion-mati-bertahun-yang-lalu/

Kematian adalah satu-satunya hal yang pasti dalam kehidupan.  Tapi kenapa, kematian begitu ditakutkan?  Begitu takutnya kita menghadapi kematian, hingga kita terus berpegang kepada ilusi kehidupan; terus mengharapkan dan mengais-ngais janji-janji euforia kebahagiaannya.  Kehidupan menjadi satu tragedi yang konyol.  Nietzsche berkata, “Hiduplah sebagaimana kamu selalu berhasrat untuk dapat hidup kembali – itulah tugasmu!  Karena mungkin di suatu masa, kamu sungguh-sungguh akan hidup kembali!”  Lalu, bagaimana kalau kita benar-benar hidup kembali?

Dalam novella Mati, Bertahun yang Lalu, Soe Tjen Marching mempertanyakan dan memparodikan hal-hal yang kita lakukan demi mempertahankan kehidupan dan “kebahagiaan”.  Diceritakan, seorang pekerja perempuan di suatu klinik bedah plastik, telah meninggal, dua kali bahkan, tanpa sepengetahuan siapapun.  Perempuan ini sudah mati, tapi tetap—dan harus—berpura-pura hidup.  Melalui sudut pandang “mayat hidup” inilah, kita dihadapkan pada pada pertanyaan-pertanyaan hakiki mengenai kehidupan dan kematian, ada dan tiada.

Untuk apa kita hidup?  Apakah demi “kebahagiaan”?  Kenapa kita terus menerus bersikukuh melakukan rutinitas-rutinitas meskipun kita tahu betapa semunya semua itu?  Narator di sini adalah seseorang yang tidak—atau setidaknya tidak dapat—mempercayai  optimisme kehidupan. Dia jemu dengan rutinitas dan kepalsuannya.  Tapi di balik sinismenya, narator sendiri sebenarnya penasaran dengan apa yang membuat orang-orang ini optimis dan dapat menggengam hidup dengan sukses.  Hanya saja, pengamatan-pengamatannya tidak memberikan jawaban meyakinkan.  Yang dia lihat adalah tragedi yang konyol sekaligus menyayat, yang akan membuat kita terpingkal-pingkal sambil geleng-geleng kepala.

Eneas, kakaknya yang penuh optimisme dengan “kata-kata sesejuk air pegunungan”, berubah menjadi basi, oportunis, Eneg.  Ayahnya yang berulang kali dirajam terapi morfin dan kemoterapi hanya demi memperpanjang hidup, toh tetap meninggal.  Dengan lucu dan mengejek, narator menceritakan bagaimana ritual kematian ayahnya dipermasalahkan oleh sanak saudara:

Dia dibaringkan di dalam peti yang dihiasi bunga kuning raksasa dan dinaiki oleh bidadari kertas yang selalu tersenyum dengan bibir merah dan rambut blondie-nya.  Papa benci sekali dengan rongsokan seperti ini.  Tapi, Cik Lan sang ahli, mengharuskan kita memasangnya.  Mama memilih bunga dan bidadari yang termurah.  Mungkin karenanya, bidadari itu mirip dengan Panda.  Di meja sembahyang, ada salib Yesus, hio dari sepupu Mama, dan tulisan bahasa Arab.  Kadang-kadang ketiganya terlihat di meja bersamaan, kadang bergantian.  Karena selalu saja ada yang menurunkan dan menempelkan lagi semua pajangan itu bila tidak ada yang memperhatikan.

Ironisnya, mayat ini “dijadikan rebutan. Padahal sewaktu hidup, jarang yang menggubris dia.”

Novel ini membawa pembaca ke dalam relung-relung kota, di mana kita dapat menjumpai berbagai fenomena dan ironi sosial yang dapat dengan mudah dijumpai di Surabaya, ataupun kota-kota besar di Indonesia. Kita akan tertawa-tawa melihat tarif kencing – berak – mandi di WC umum dan penjaganya yang berantem dengan anak-anak iseng.  Orang-orang yang mencabuti jenggot atau memencet jerawat sambil ngelamun di bemo.  Encik encim penjual bacang, pukis dsb. di jalanan, dan waria pengamen yang dada sumpelannya dipencet-pencet. Atau Jalan Polisi Istimewa yang “rupanya diberi nama demikian karena jalan ini surganya para polisi mendapat amplopan.”  Lincah dan menohok.

Narator juga mengamati dan mengomentari obsesi manusia sekitarnya terhadap “keaslian” budaya dan agama, yang berbenturan dengan realita di mana keduanya berkembang dengan bercampur aduk dengan sekelilingnya.  Kerusuhan (1998) di sini tidak dipandang sebagai permasalahan hitam putih yang terpisah dari konteksnya.  Ketika ketidakadilan, kekacauan politik sosial ekonomi dan ketakutan merabak, dengan mudah agama ataupun ras dijadikan sumbu api penyulut kerusuhan.  Digambarkan, bagaimana “kemurnian” tradisi, agama ataupun ras sebenarnya sama sekali tidak digubris di depan peluang praktis menyambung hidup atau memperkaya diri.  Bagaimana dendam yang ada bisa diplintir menjadi permasalahan etnis/golongan.  Bagaimana tragedi bisa menjadi berkah “blessing in disguise”, lahan industri pengeruk uang dengan jubah filantropi.

Di tengah-tengah muaknya narator pada sekelilingnya, seorang perempuan menarik perhatiannya di bemo yang ia naiki sepulang kerja.  Ada semacam kerinduan akan sahabat yang diproyeksikannya dalam perempuan itu: figur kakaknya yang telah meninggal sewaktu bayi, yang bernama sama dengan perempuan itu, Sara Devi.  Figur yang telah mati ini dibayangkannya, dirindukannya sebagai pelindungnya, mengasihinya sepenuhnya, mendengarkan cerita-ceritanya.  Ia mengamati perempuan itu dengan sedikit obsesif, voyeuristik bahkan.  (Menariknya, dari pemburu, narator kemudian menjadi yang diburu.)

Tapi dia hanya bisa terdiam melihat bayangan-bayangan dan kerinduannya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan.  Sara bukanlah kakaknya yang tak pernah ada.  Sara tidak pernah menggubrisnya.  Dia bukan dalang yang menggenggam pilihan hidupnya. Bahkan kemudian, “mata nyalang”-nya memudar, keyakinan dan harapan-harapannya menghilang.  Berusaha menjadi “perempuan ideal” yang menikah dan setia, Sara mendapati suaminya berselingkuh dan menceraikannya.  Ketika Sara sedikit menaruh harapan pada Adi, “aktifis berkaki satu”, kita lagi-lagi melihat konyolnya harapan (akan idealisme ataupun kebahagiaan) tersebut.

Selain melalui Sara, novel ini juga banyak memberi gambaran dan kritik tajam atas nasib dan tuntutan terhadap perempuan.  Dari ekspektasi pernikahan dengan laki-laki, kesetiaan, menerima, dan ideal-ideal “ibuisme” (lengkap dengan ikonnya, Ibu Tien dan kelatahan “Ibu Tien mati”, biarpun warisan ibuismenya masih terus berlanjut).  Ketika sumpek dengan masalah domestik, Sara diingatkan dengan nasib naas TKW.  Mungkin ini adalah pertanyaan yang berlebihan mengingat kita toh tidak tahu apakah bos narator adalah seorang laki-laki atau perempuan, tapi apakah hanya kebetulan saja figur-figur yang berhasil menggenggam dan menikmati hidup adalah laki-laki?

Soe Tjen juga mengangkat tabu kisah cinta antar perempuan.  Adik Sara, Rahma, yang bercita-cita untuk melanjutkan kuliah di Australia, mati terbunuh dicekik.  Pacar Rahma, Vero, dituduh dan dipaksa mengaku sebagai pembunuhnya (“Eros Butcher”), sementara masyarakat bersorak atas sensasi baru.  Dengan amarah terpendam, narator mengisahkan bagaimana kegandrungan masyarakat atas sensasi mengubah kisah kasih sepasang perempuan menjadi sadisme untuk memperkuat prasangka dan persepsi masing-masing.  (Narator sendiri pun di sini sepertinya mempunyai ketertarikan khusus terhadap Sara.)

Ditulis dengan lugas dan satir, novel ini dengan lincah memberi banyak pertanyaan dan sentilan menohok dalam persepsi, perilaku, dan lingkungan kita sehari-hari.  Bukankah hidup telah begitu keji dan seenaknya memperlakukan manusia?  Lalu, sekali lagi narator menanyakan, “Apa gunanya hidup?”  Apakah tidak lebih baik memang Sara kakaknya meninggal sewaktu bayi?  Siapakah kita?  Ditulis saat Soe Tjen sendiri sedang mengalami terapi kanker, Soe Tjen tidak memberi kita jawaban pasti.  Dia memberi kita kebebasan untuk memilih sendiri.

Mati, Bertahun yang Lalu dapat dibeli dari C2O dengan harga Rp. 40.000, diskon 10% untuk anggota.


Buried deep inside the furthest recesses of our minds under piles of daily concerns, the commonplace “Death is the only certainty in life” rarely transforms itself into acute consciousness.  Yet looming large under the tip of the iceberg, this fear of dying —a very common fear, but one that’s rarely talked about—surreptiously lingers in the background.

The deep-seated fear of death/dying, along with its obsessive, sanitized attempts to push any trace of this fear out of sight, lies at the heart of Mati, Bertahun yang Lalu.  Opening her novel with a quote by Nietzsche, “Live that thou mayest desire to live again — that is thy duty — for in any case thou wilt live again!”, Soe Tjen challenges this call using her narrator, a low-key assistant in a cosmetic surgery clinic who, unbeknownst to anyone, has died—twice.  She is “a walking dead, lost amongst the living.”  She has to remember to breathe, to blink every 5-6 seconds, to flex her muscle, to look at a person in the eye when s/he talks to her, and other “numerous pesky troubles we have to go through just to look unmistakably alive”.  Through the eyes of this walking dead, the novel details how life, fruitlessly clinging to the phantasmagoric promises of youth and happiness, becomes a big cosmic tragi-comedy.

What’s the point of living, and its vain attempts at life-extensions?  She recalls how her hospital-stricken father wasted away, the banal horrors of disease and deaths giving way to a numbing account of flaccid, decaying organs aligned with childhood rhymes and celebrities’ affairs.  In a skeptical bite, she notes how in his death, her father’s corpse was subjected to squabbles over the “proper” Chinese, Islam, Catholic, and Javanese death rituals.  “Mayat papa dijadikan rebutan. Padahal sewaktu hidup, jarang yang menggubris dia.”  Even the death is subjected to competing identities and reproductions of religious/cultural symbols, perhaps even more so.  These examples describe the ubiquitous emphasis on form, ritual, and propriety over and above content.  What is deemed as “proper” is more revered than what is morally or humanly appropriate, and the latter is readily sacrificed for the former.

The cynical, apathetic narrator does not—or at least, cannot—believe in the optimism of life and its hypocritical shams.  Really, what makes these people believe in the glorified Life?  Her ever-jovial, “laughing Buddha” brother, Eneas, breezes through life with brimming optimism like “fresh mountain springwater”, that to her seems more like tired (“Eneg”) advertising lines for mineral water.  Unimpressed, she describes how he reaped significant benefits from the 1998 crisis and its exposure, a “blessing in disguise”, while promoting faux philanthrophic and social justice ventures.  In this infrastructure of charade and pragmatism, the forgery of happiness becomes a big, lying farce she can hardly sympathize with.

Amidst the numbing realities of everyday existence, she finds an object that piques her interest: Sara Devi, a stranger she encounters in a bemo public transport she rides after work.  Sharing the same name as her elder sister who died in her infancy, she imagines and longs for Sara as someone who would understand her, love her, protect her, and listen to her stories.  She describes—and therefore perceives—Sara as a bright, independent woman with a confident control of her fate, a master of her own right.  In her obsession for Sara and her lover, she believes she’s found a fixation, a routine that would liberate her from the quotidian mundanities.

But it was short-lived—Sara is not the sister she’s never had.  She sees her previous descriptions—perceptions?—disintegrate as Sara and her lover-turned-husband become entangled in their married life, the previous idealism (of youth?) giving way to the usual connubial boredom and estrangement.  Despite her waning romantic interest in her husband, she tries to maintain the “feminine ideal” of being faithful, only to find him—in the usual depiction of man’s insensitive unfaithfulness—leaving her for a partner fifteen years his junior.  And here, in a stinging irony, Sara’s cousin tactlessly tries to cheer Sara up with a story of the horrendous abuse and death of female migrant workers (TKW) in Saudi Arabia.  “Bukankah kematian si gadis itu lebih mengerikan?  Dan bukankah hidupmu, Sara, masih patut disyukuri?”  Is this the answer to our so-called life and “happiness”?  That we are supposed to accept and be happy about our lives by constantly measuring it against others’ and be thankful for their suffering?

Without resorting to the usual “raunchy” sexual descriptions commonly associated with sastra wangi (fragrant literature),  Soe Tjen—a staunch critic of patriarchal systems and normative gender roles—has managed to question and criticize the pervasive, stereotypical constructions of the “ideal” woman in Indonesia:  married, faithful, passive, submissive, motherly with no power nor right to question the authority.  A closer reading of the main character would also reveal subtle sexual ambiguities: she experiences more than just platonic interests in both sexes (imagining herself in the body of Sara’s lover, for example), yet at the same time, she’s also more or less described as a rather detached, asexual observer.  In Rahma, the lesbian sister of Sara, Soe Tjen scathingly highlights how society’s hunger for sadistic spectacles turns same-sex love between two females into a media frenzy and a fantasized terror against homosexuals.  The women’s search for love and happiness takes a sharp toll on their bodies; similarly, all the attempts at happiness in the end still prove false, fickle, and fatal.

Begitu ngerinya kematian.  Ia hidup dimana-mana.  Ia terkadang lebih hidup daripada hidup itu sendiri.  Dan karenanya ia dapat menguasai hidup, menghantuinya (How terrifying death is; it lives everywhere.  It’s more alive than life, and so it enslaves, haunting it),”  the narrator asserts.  Written in short, conversational sentences, like Palahniuk’s earlier novels, there’s something fascinatingly direct and urgent in the narrator’s comic description and dry sarcasm.  But if Palahniuk tends to rely on rather formulaic lines of outrageous characters, Soe Tjen shrewdly underlines the bizarre in the ordinary.  By highlighting local particulars and peopling her novel with townsfolk you can easily find roaming the streets of Surabaya, she deliberately challenges our inability—or refusal—to look more deeply into our world: the artificially manufactured surroundings and lives, the tyranny of an enforced happiness, and the mawkish social and religious rituals by which communities continuously and collectively try to reaffirm themselves.  Why continue living in such a bleak world?  Mati, Bertahun yang Lalu offers no answers and avoids any conclusive ending, but it poses earnest questions with consummate skill.

Exit mobile version