Manic Street Walkers #9 edisi Mengirim Kartupos
Sabtu, 14 April 2012
Musim panas telah datang, saya dan Lisa yang mengajak 3 kawannya (Obaja, Stephani, Yona) datang tepat waktu di c2o library jam 7 pagi. Kawan-kawan lain sudah mengabarkan keterlambatan mereka, sambil nunggu saya buat sarapan : sandwich ganja. Erlin, Oline, Mirna, dan Kharis menyusul datang, kami lepas landas dari c2o library dengan restu Kathleen dan Charlie. Mirna yang sudah menyimpan peta surabaya di iPod-nya, memberikan pencerahan mengenai rute yang akan kami tempuh, diputuskan melewati Jalan Diponegoro, pilihan yang asjik! Kami bersembilan dengan yakin melangkah meninggalkan Jalan Dr Cipto, masuk ke Jalan Kartini dan bertemu dengan Jalan Diponegoro.
Pemandangan yang paling sering para cecunguks bahas ketika melewati Jalan Diponegoro adalah Gedung Setan–gedung favoritnya Antonio Carlos. Dengan jelas kami melihat Gedung Setan yang menjulang sendirian, saya pun mengajak kawan-kawan masuk ke gedung tersebut. Info dari Antonio Carlos ada 2 gedung yang diberi label “gedung setan”, salah satunya gedung yang akan kami masuki di jalan Banyu Urip Wetan IA no 107, satunya lagi adalah gedung milik freemason di Jalan Tunjungan. Kami menuju Gedung Setan melalui pasar kecil yang masih ramai pengunjung, dan tiba di depan Gedung Setan yang merupakan bangunan kolonial 2 lantai seperti villa, ada tulisan “bukan jalan umum”, karena kami adalah “turis” maka tetap masuk, gak kenal kata “bukan jalan umum”. Ternyata di dalam gedung adalah sebuah kampung, banyak sekat yang menjadi pembatas antar-rumah, yah ini adalah kumpulan rumah yang bernaung di satu atap. kami menuju kumpulan ibu tua, meminta ijin untuk berkeliling. saya berkenalan dengan salah satunya, namanya Liau, marganya The, dia sudah menempati gedung ini sejak tahun 60an, saya juga berkenalan dengan 2 anjingnya : Poppy dan Ipit. Mereka sedang santai-santai duduk di bagian belakang gedung yang dibuat kamar mandi umum dan ruang perawatan kucing (salah satu penghuni mempunyai usaha berjualan kucing), disana juga ada nisan kuburan cina, tapi Liau bilang itu adalah meja sembahyang.
Gedung Setan adalah sebuah rumah peristirahatan seorang Belanda yang kemudian beli oleh seorang Tionghoa dan kemudian dijadikan rumah pengungsian pasca-peristiwa Gestapu. Jadi tidak heran sampai sekarang Gedung Setan ditempati oleh 40 keluarga mayoritas keturunan Tionghoa. julukan Gedung Setan rasanya tidak cocok untuk gedung ini, rasa nyaman muncul setelah beberapa menit kami berada di dalam, ditambah keramahan warga setempat, yah katanya sebutan Gedung Setan untuk melindungi sarang burung walet yang pernah dibudidayakan di dalam gedung tersebut. Kami disarankan untuk ke lantai atas–ruang semacam aula yang dijadikan sebagai gereja, kami menuju tengah gedung dan menemukan tangga kayu yang cukup lebar dan reyot, ok kami siap untuk kejutan selanjutnya! Ada beberapa penghuni yang sedang santai mengobrol di aula yang dijadikan gereja cabang oleh Gereja Pantekosta Pusat Surabaya. Kami mengobrol sebentar dengan Erli salah satu penghuni yang menempati lantai atas, dia dengan ramah menceritakan kegiatan gereja di aula. Wah, saya masih terheran, fenomena yang asing, 40 keluarga berkumpul bersama di bawah satu atap, dan mereka terlihat nyaman. Julukan Gedung Setan sudah tidak relevan lagi, ini Gedung Tuhan.
Kami pamit dan kembali berjalan kaki menuju Pasar Kembang, panas Surabaya kami rasakan kembali. Jalan menuju Pasar Kembang menyajikan deretan toko kelontong, restoran, toko obat yang berumur puluhan tahun. Begitu masuk Pasar Kembang yang hanya menjual kembang untuk ziarah ditambah sembilan kebutuhan pokok, kami berharap menemukan bioskop, ternyata spanduk “film diputer seperti biasa” sudah tidak bertengger, saya bertanya ke salah satu pedagang mengenai keberadaan bioskop, dia menyuruh saya ke lantai atas. Kami menemukan tumpukan stan dan meja, tidak ada bioskop, malah ruang terbuka dengan white screen dan proyektor, wah ruang nonton bersama! Saya langsung bertanya ke seorang pria muda yang sedang duduk santai sambil merokok, pasti dia warkamsi. Namanya Joko, dia menginfokan bahwa bioskop sudah tutup sejak lama, sekarang dijadikan ruang nonton bersama yang sekaligus menjadi pusat jajan pasar yang beroperasional jam 3 pagi sampai jam 6 pagi, waw. Saya dan Erlin tersenyum, kami menemukan ruang publik lainnya! Kapan-kapan harus mampir kesini, beli jajan pasar pagi-pagi buta sambil nonton bola. Kami melanjutkan perjalanan, kembali menemukan teriknya matahari, musim panas benar-benar sudah datang.
Kami memasuki Jalan Kedungdoro dengan banyak toko onderdil kendaraan bermotor, kami sempat berhenti di kumpulan pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar, salah satu pedagang memperkenalkan kami dengan seorang pria yang sedang bersantai sambil merokok, namanya Seputro, lahir dan hidup di Surabaya, dan berusia 104 tahun, rada gak percaya sih sama umurnya, tapi memang dia sangat tua tapi masih bisa merokok dan duduk santai, pedagang lainnya meyakinkan kami bahwa memang usianya 100 tahun lebih! Kami masuk Jalan Blauran, saya mengajak mampir ke Pasar Blauran, kami membeli jajan pasar yang sangat menggoda : pukis dan cucur, harganya terbilang tidak murah, per biji 1500 rupiah, tapi enak, saya beli pukis gula merah, manisnya gak enek, dan lembut. Oline membeli gembus dan sukun goreng, rasanya juga sip (saya ikut icip-icip).
Kami memasuki Jalan Bubutan, awalnya Manic Street Walkers edisi kali ini akan menjelajahi Kampung Bubutan sebelum mencapai destinasi terakhir–Kantorpos Kebonrojo, tapi kami sudah cukup banyak kejutan hari ini, maka Kampung Bubutan kami simpan untuk Manic Street Walkers selanjutnya.
Kami sudah tiba di Tugu Pahlawan, berjalan di trotoar yang lebar dan nyaman namun sepi, wuahh gak asjik. Kami disuguhi bangunan-bangunan kolonial yang menyenangkan mata, terutama kantor gubernur Jawa Timur, dengan menara jam yang masih aktif, love it. Maaf untuk Tugu Pahlawan, kami (lebih tepatnya saya) tidak tertarik. Di ujung trotoar, terlihat kantorpos Kebonrojo, yay kami sampai di tujuan akhir.
Saya sukak dengan langit-langit gedung kantorpos Kebonrojo, klasik. Gedung kantorpos yang berada di Jalan Kebonrojo adalah bangunan kolonial yang sempat dijadikan tempat tinggal regent Surabaya, lalu HBS. Kami langsung membeli perangko dan duduk santai menulis kartupos, setelah selesai menulis kartupos kami berikan ke petugas kantorpos. Kami sangat nyaman beristirahat di dalam kantorpos yang siang itu cukup lenggang, yah mungkin karena ini hari Sabtu, FYI hari Minggu kantorpos Kebonrojo tutup. Kharis melontarkan lelucon “ini tahun 2012 dan kita masih berjalan kaki dan mengirim kartupos”.
teks oleh anithasilvia
foto oleh erlin goentoro