Site icon C2O library & collabtive

Museum Sejarah Komunitas (1/3)

Selasa 18-Kamis 20 Desember 2012 yang lalu, Andriew, Ari, Bayu, Tinta, dan saya, berkesempatan untuk menghadiri lokakarya Museum Sejarah Komunitas, yang diselenggarakan oleh KUNCI Cultural Studies Center. Didukung oleh Arts Network Asia, acara ini mengundang lebih dari 20 peserta dari berbagai kota, yang terlibat pada tataran praktis maupun akademis. Untuk memudahkan pembacaan, reportase ini akan dipecah menjadi tiga bagian bersambung. Berikut adalah reportase hari pertama, dengan pembicara Hersri Setiawan, Ita Fatia Nadia, dan Bambang Purwanto.

Lokakarya Museum Sejarah Komunitas. Foto: Anitha Silvia

Di hari pertama, Antariksa membuka lokakarya dengan menjelaskan bahwa struktur lokakarya dirancang agar interaksi lebih banyak dalam bentuk obrolan dan berbagi pengetahuan dan pengalaman. Tingkat bahasan bisa berlapis-lapis, dari filosofis, akademis, hingg praktis, mengenai bagaimana mengumpulkan sejarah komunitas, bagaiamana mengorganisasi pengetahuan, dan bagaimana membuka akses publik. Lokakarya ini menekankan pada proses berbagi, yang diharapkan dapat mendorong proses penciptaan pengetahuan baru. Proses ini tidak harus menghasilkan sesuatu yang baku, tapi dapat menghasilkan sesuatu pada tahap komunitas masing-masing.

Nuraini Juliastuti, yang akrab dipanggil Nuning, melanjutkan menjelaskan bagaimana lokakarya ini tidak dirancang terpisah dari program utama mereka, dan bagaimana projek ini dianggap sebagai tahapan lebih lanjut dari projek-projek sejarah komunitas yang sudah digeluti KUNCI sejak tahun 2004. Secara konsisten mereka telah mengembangkan sejarah komunitas ini, dengan sejarah kampung Juminahan (2006), SPACE/SCAPE Alun-alun (2009, bekerjasama dengan Teater Garasi), projek sejarah komunitas India di Yogyakarta (2011), Bon Suwung di Ledok Timoho (2012), dan di akhir 2012 ini, Museum Sejarah Komunitas.

Pada dasarnya KUNCI ingin bereksperimen dengan konsep kolaborasi sebagai metode kerja organisasi. Kata “museum” digunakan sebagai upaya subversi makna museum yang dominan, sekaligus karena ingin melakukan penyegaran terhadap gagasan museum sebagai suatu tempat yang mobile, dapat dimobilisasikan untuk mengembangkan makna sejarah. Terutama sejak 98, muncul gagasan-gagasan baru mengenai penulisan sejarah. Begitu pula muncul berbagai ruang alternatif yang, dengan cara-cara yang berbeda-beda, mulai membangun pengembangan sejarah dan perngarsipan mereka sendiri.

Pengarsipan menjadi cara dan bagian dari partisipasi. Ini yang ingin diserap menjadi bahan projek ini. Keberadaan fisik (museum) dari gagasan pengarsipan dinilai masih sangat penting, dan merupakan problem paling nyata. Problem-problem sosial seringkali berputar pada dokumentasi. Permasalahan yang seringkali dihadapi adalah akses informasi. Melalui projek ini, diharapkan ada revitalisasi makna akses informasi. Selain memperbaharui arsip, diharapkan ini juga dapat memperbaharui distribusi dan makna.

Sekolah Mbrosot

Oleh Hersri Setiawan dan Ita Fatia Nadia

Hersri, Ita dan Dina

Pembicara berikutnya adalah Hersri Setiawan, penulis Memoar Pulau Buru (2004) yang pernah menjabat sebagai ketua LEKRA Jawa Tengah. Beliau dijebloskan ke penjara di tahun 1969, dan berpindah-pindah dari Salemba, Tangerang, hingga Pulau Buru selama 10 tahun. Terutama semenjak di Salemba, Hersri berkenalan dengan banyak tapol dari seluruh Indonesia. Hampir semuanya bisa menceritakan pengalaman mereka, tapi tidak ada yang menuliskannya. Padahal, menurut Hersri, karena teman-teman datang dari berbagai penjuru Indonesia, jika dikumpulkan, ingatan itu akan benar-benar menjadi sejarah Indonesia. Berangkat dari situ lah, Hersri bertekad ingin merekam ingatan teman-temannya. Dia tidak ingin hanya merekam atau mengumpulkan ingatan, tapi juga ingin membangun ingatan kolektif yang dibisukan. Dia menggunakan adagium jurnalisme, ditambahkan dengan sedikit modifikasi: 5W1H + 1WHN alias what next?

Wawancara tidak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga pada pelarian di luar negeri. Kaset-kaset yang ada sekarang dibagi menjadi tiga: satu disimpan di Institut Sejarah Sosial (IISG) di Amsterdam, satu di Monash, dan satu di sekolah Mbrosot. IISG konsultasi intensif dengan Hersri untuk menentukan meta data seperti kata kunci dan cuplikan untuk masig-masing rekaman.

Digitalisasi di sekolah Mbrosot sendiri tidak secanggih di IISG, tapi saat ini sedang dikerjakan di bawah supervisi Monash. Ada beberapa yang masih belum lengkap ditranskrip, tapi semuanya sudah diubah dalam bentuk digital. Sayangnya dokumentasi-dokumentasi ini belum dilirik oleh mahasiswa-mahasiswa sejarah lokal. Sebagian dari hasilnya sudah dimasukkan dalam bukunya, Memoar Pulau Buru.  

Berikutnya, Ita bercerita bagaimana peran perempuan sangat kurang dibahas, apalagi dalam kaitannya dengan 65. Saskia Wieringa telah menuliskan sejarah gerakan perempuan, tapi belum ada yang membahas kisah-kisah perempuan biasa. Ita sendiri telah terlibat dengan sejarah perempuan sejak tahun 1970an. Padahal dia melihat bagaimana kekerasan seksual digunakan sebagai alat untuk melumpuhkan bangsa. Dalam melakukan sejarah lisan ini, dia melakukan pengecekan ulang mengenai ingatan dengan data-data di perpustakaan. (Ita merekomendasikan buku Oral History: Understanding Qualitative Research sebagai panduan.) Ita cukup ketat dalam menentukan seleksi narasi perempuan. “Karena pola kekerasan dan tempat penahanan untuk kader besar, menengah dan kecil itu berbeda,” jelasnya. Begitu pula pola-pola di berbagai daerah pun berbeda-beda. Jadi, perlu diperhatikan, (1) kedudukan kader, (2) lokasi, (3) pola kekerasannya bagaimana, dan (4) siapa pelakunya.

Selain rekaman-rekaman audio dan tulisan, mereka juga mengumpulkan berbagai artefak dari pulau Buru, seperti baju dengan nomer tahanan, rantang-rantang, rokok linting, kartu pos, foto, jarum akupunktur, kertas rokok dengan tulisan-tulisan, dan sebagainya. Harapannya nanti juga akan ada museum kecil mengenai 65 di sekolah Mbrosot.

Ketika ditanyakan bagaimana ide mencatat ingatan ini muncul, apakah di LEKRA dulu ada tradisi untuk mencatat dan mendokumentasikan, Hersri menjawab, memang ada tradisi TURBA (atau Turun ke Bawah) yang mewajibkan setiap orang yang turun ke bawah untuk menuliskan atau merekam pengalamannya, tapi tidak semua orang melakukannya. Menurut Hersri dan Ita, masih ada banyak arsip yang tercecer mengenai 65 dan tidak tahu di mana atau sulit diakses.

Bambang Purwanto

Bambang Purwanto adalah guru besar jurusan sejarah FIB UGM, yang telah sering bekerjasama dengan KUNCI untuk mendorong akademisi untuk merespon secara lebih aktif isu-isu sejarah saat ini. Menurut Bambang sendiri, sebenarnya ada embrio-embrio pihak-pihak akademisi yang memperhatikan sejarah lisan, misalnya saja Kuntowidjojo atau Onghokham. Mereka berdua adalah contoh sejarawan kampus yang berusaha menghadirkan isu yang lebih dekat. Tapi memang, pengetahuan yang dikembangkan di kampus memiliki kecenderungan dibuat seperti pabrik, dalam artian, membuat cetakan dengan template yang sama. Padahal, historiografi itu tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang tunggal, bukanlah hal yang satu, tapi selalu mengalami dinamikanya sendiri yang terus menerus berjalan.

Sejarah formal yang ada di universitas itu memiliki rezimnya sendiri, dan mau tak mau, kita tak bisa langsung menyalahkan kawan-kawan yang bekerja di universitas. Sejarah komunitas sendiri baru tumbuh sekitar tahun 40-50an, sebagai bagian dari proses demokratisasi. Orang mulai membangun kesadaran mengenai masyarakat sipil. Kalau kita melihat sejarah dari abwah pasti akan membedakan dirinya dengan sejarah atas, jadi dia akan berbicara tentang orang-orang biasa, orang orang yang sebelumnya dianggap tidak berhak. Jadi ini merupakan bagian dari dinamika kebudayaan itu sendiri. Sejarah komunitas tidak hanya menekankan unsur-unsur untuk menyelamatkan atau melestarikan, tapi juga unsur untuk mengetahui akar, agar dari situ kita bisa tahu cara melangkah ke depan. Menulis masa lalu menjadi cara untuk menata masa depan, dan menjadi suatu bagian dari kesenangan.

UGM sendiri sudah memperbolehkan pengembangan peragaman media untuk tugas akhir kuliah, di mana hasil akhir tidak harus selalu berupa tulisan skripsi, tapi bisa dalam bentuk film, komik, atau teater. Sayangnya, belum ada mata kuliah atau pengajar yang mumpuni, jadi proses ini masih banyak terhambat. Namun, Bambang cukup optimis, karena dari pengamatannya, sepuluh tahun yang lalu mungkin hanya satu dua orang mahasiswanya tertarik menulis sejarah-sejarah yang tidak konvensional, tapi dia melihat makin banyak mahasiswa yang tertarik melakukannya sekarang. Saya rasa, perlu diadakan kerjasama yang lebih aktif antar lembaga formal dan non-formal untuk mendorong penggalian sejarah dalam bentuk yang lebih beragam.

Problem utama yang dihadapi adalah kita perlu menyadari bahwa: (1) sejarah adalah suatu proses kebudayaan. Karena itu, sejarah tidak statis, tidak tetap, tidak bersifat tunggal. (2) ada tantangan menghindari diri dari purifikasi. Sangat mudah bagi kita untuk jatuh dalam perangkap pencarian “keaslian” untuk membedakan diri. Nah, dari sini, apa saja dampak dan implikasinya? Dan bagaimana menata, mengkurasi, dan mengkoleksi kejamakan pengetahuan ini?

Kumpulan kicauan hari pertama lokakarya oleh @editorkunci dapat dibaca di: http://chirpstory.com/li/40364

Exit mobile version