Site icon C2O library & collabtive

Menyusuri Bantaran Kalimas, Membaca Dinamika Kota

Dari kumuh, Ayu Ting Ting, sampai gay. Surabaya memang dikenal sebagai Kota Pahlawan. Kegiatan menyusuri atau kadang disebut “blusukan” lebih sering dikaitkan dengan upaya menyusuri memoar kota yang dulu pernah menjadi pangkalan serangan terhadap sekutu yang menginjakkan kakinya lagi di Indonesia pasca kemerdekaan.

(23/02) lalu saya mengikuti acara jalan kaki menyusuri bantaran Kalimas – sungai primer Surabaya – yang diadakan oleh Manic Street Walker (MSW), komunitas pejalan kaki. Sudah lama juga ya, tapi baru saya posting sekarang. Bukan masalah lah… Karena hasil penjelajahan bukan materi hard news yang harus segera dilaporkan, hehe.

Kami berkumpul di Taman Bungkul pk. 6. 15. Bersama Mbak Tinta – anggota MSW, kami mulai briefing  singkat berbekal peta wisata Surabaya. Memang kurang cukup untuk dikatakan relevan, sih sumber yang kami gunakan. Tapi walaupun bukan peta tematik, setidaknya peta keluaran Surabaya Tourism Center ini mampu memberi gambaran berapa panjang trekyang akan kami lalui dan apa saja yang akan kami temui di perjalanan.

Panjang trek kurang lebih 20 km dan kami tempuh selama enam jam. Yang membuat saya betah berjalan selama itu adalah “proses pembacaan terhadap kota” yang saya lakukan sendiri. Dalam rombongan, turut serta mas Ipung, seorang penggiat blog Surabaya Punya Cerita yang berisi sejarah dan nostalgia Surabaya. Mas ini bercerita banyak tentang sejarah gedung-gedung atau jalanan yang kami lewati bersama. Menyenangkan dan menambah wawasan. Rupanya saya juga belum banyak tahu tentang kota saya.

Tapi di posting kali ini,  saya menceritakan frame pembacaan saya sendiri. Bukan bentuk-bentuk fisik sepanjang bantaran kali yang saya amati, karena rata-rata hampir sama. Sepanjang kali tidak ada air yang berwarna bening, paling sering ada perkampungan kumuh di tepinya, beberapa sampah manusia juga keleleran di sana.

Oke, dengan berjalan kaki sejauh dan selama itu, saya menemukan sisi-sisi lain di Surabaya yang jarang tersentuh. Saya menemukan bahwa rupanya geliat-geliat kehidupan lain Surabaya subur di bantaran kali ini. Awal perjalanan, kami masuk ke perkampungan—yang rumah-rumahnya kecil dan berdempetan— di belakang Taman Bungkul. Ternyata gang kecil ini membawa kami ke rute pertama. Berjalan, berjalan, dan berjalan, hanya ada rumah-rumah kecil, ibu-ibu duduk di pinggiran kali di atas kursi yang rata-rata mereka buat sendiri.

Sampai di seberang Novotel, kami menemui situs Jembatan Bungkuk yang dulunya digunakan sebagai pipa minyak. Berjalan lagi, kami merapat ke sisi jalan raya Ngagel. Saya sering lewat sini dengan kendaraan, tapi kali ini terasa lebih menyenangkan, ternyata di balik pohon-pohon ada pemandangan yang luput dari jalan raya.

Kemudian masuk lagi, menemui perkampungan dengan gang sempit, rumah kecil dan berhimpitan lagi. Saya jadi berpikir bahwa, apakah semua daerah di bantaran kali ini merupakan daerah kumuh ? Baiklah saya anggap ini fenomena dinamika sosial yang pertama. Tapi, saya tidak mau menghakimi begitu saja, karena dari beberapa rumah yang pintunya terbuka, saya dapat melihat TV, di beberapa rumah juga terparkir motor  dan bahkan ada mobil. Entah, apakah kata kumuh dapat dianalogikan dengan kotor, tapi belum tentu daerah slum yang penduduknya miskin. Baik, saya akan menggunakan istilah“perkampungan sempit”.

Fenomena dinamika kota kedua yang saya temui, bahwa beberapa bangunan besar di Surabaya  dibangun di seberang kali dan perkampungan sempit tadi. Contohnya Carrefour dan Penthouse yang plakatnya terlihat jelas karena lebih tinggi dari bangunan perkampungan sempit ini. Contoh lain adalah dua gedung besar belum jadi yang mangkrak di jalan menuju Ngagel dan Marvell. Juga dibangun di seberang kali. Gedung-gedung perkantoran seperti gerai Indosat dan kawan-kawan, juga dibangun di seberang kali dan perkampungan sempit. Tingginya Hotel Sahid juga terlihat dari perkampungan sempit ini.

Berjalan lagi dan menemukan dinamika “modernisasi-klasik”. Beberapa rumah memang tidak terbuat dari triplek, memiliki lantai keramik—bukan tegel. Tapi ada yang membuat bibir saya gatal untuk tersenyum, yaitu bangunan rumah yang memiliki desain klasik seperti bangunan-bangunan bergaya Eropa yang sering saya temui di kawasan perumahan elit Surabaya Barat. Rumah ini memiliki lantai keramik warna gading, bercat gading sembur, dan memiliki lantai. Di depan rumah juga ada bangku besi dan bambu serta kanopi, mungkin untuk tempat bersantai seperti teras. Tapi, mereka tidak memiliki teras, itu yang perlu dicatat. Rumah mereka langsung berbatasan dengan paving bantaran kali.

Aneh bagi saya melihat bangunan seperti itu. Gaya Eropa biasa dipadankan dengan bangunan besar dengan teras luas. Ah entahlah, mungkin saya yang termakan oleh konstruksi modern bentukan media yang akhir-akhir ini banyak muncul dalam bentuk seni klasik.

Dinamika lain yaitu bahwa artis yang sedang naik daun rupanya bisa menjadi motif pada batik. Dan warga di perkampungan sempit ini memiliki kain batik Ayu Ting-Ting.

Fenomena berikutnya yang saya temui, masih berkutat pada dinamika kehidupan warga di perkampungan sempit bahwa betapa anak-anak tidak punya lahan bermain. Alhasil mereka bermain di sekitar tumpukan besi dan rongsokan plastik.

Dinamika berikutnya, ada beberapa orang yang membangun rumah tidak permanen mereka dari kardus-kardus. Baru kali ini saya melihatnya langsung tanpa batasan kotak TV. Saya melihat ibu tidur di atas paving memeluk anaknya. Saya melihat remaja perempuan berganti pakaian di tempat terbuka. Kalau kamu tanya, “ada yang mandi di kali nggak?” Jawabannya, “ada”.

Fenomena ketujuh yang saya temui bahwa ternyata kalimas yang kotor ini juga memberi kehidupan bagi beberapa orang. Melalui “tambang”, transportasi penyeberangan dari bantaran kali samping perkampungan sempit ke jalan raya. Disebut “tambang” karena transportasi ini berupa getek yang dijalankan dengan menarik tali tambang di sepanjang kali, tanpa mesin.

Sampai di daerah Kayoon, kami lanjut ke gang yang dikenal dengan nama “Pattaya”. Dikenal begitu karena pada malam-malam hari, teman-teman gay banyak berkumpul bersama di sini. Kalimas berada samping kiri “Pattaya Surabaya”, sedangkan di samping kanannya adalah tembok tinggi bangunan-bangunan apik di Jl. Sumatra, termasuk Colors Pub. Dinamika kaum yang terkena marginalisasi dapat dibaca di sini. Mereka mencoreti tembok dengan keluhan-keluhan mereka tentang hidup, promosi eksistensi dengan memajang nomer ponsel, dsb.

Dinamika sosial yang dapat saya temui lagi ada ketika saya masuk ke daerah Peneleh. Dulu saya pernah memberi materi jurnalistik dan fotografi pada anak-anak kecil di daerah ini. Ada hal menarik bahwa, walaupun dipisahkan oleh kali, warga di bantaran kali sebelah kanan dan kiri saling mengenal. Mereka berkomunikasi dengan berteriak satu sama lain.

Kami juga melewati pelabuhan kuno Kalimas. Dulu pelabuhan ini adalah kota bandar yang paling ramai di Asia, bahkan lebih ramai dari Hongkong. Namun sekarang mercusuar pelabuhan kuno ini saja sudah tidak terawat. Di sini saya mendapati bahwa kejayaan masa lampau adalah cerita, bukan peliharaan. Ia hanya berkembang sebatas cerita, tapi tidak dipelihara dengan apik. Sepanjang pelabuhan banyak gudang-gudang dan beberapa rumah warga, yang lagii-lagi adalah perkampungan sempit.

Semakin dekat dengan tujuan kami, pelabuhan kalimas, bau laut sudah terasa. Saya melihat dinamika bahwa matapencaharian penduduk sekitar mengikuti kondisi geografis. Karena itu, perkampungan di sini banyak yang menjadi pangkalan tali-tali besar dan tong-tong besar.

Fenomena terakhir yang saya jumpai sebelum sampai di pelabuhan dagang kalimas adalah bahwa ada masyarakat melanggar UU karena mendirikan bangunan tanpa izin pemilik lahan.

Cukup ya… Begitulah pembacaan saya atas dinamika sosial di Surabaya. Bantaran Kalimas membuat saya banyak tahu fenomena yang selama ini hanya saya dapat di TV, internet, film yang mungkin sudah dikonstruksi. Sebetulnya, masih banyak cerita, apalagi soal sejarah dan kejayaan Surabaya lampau. Saya tidak bercerita soal sejarah Surabaya sepanjang kalimas, karena memang kurang menguasai.Tapi setidaknya lelah yang didapat dari berjalan kaki enam jam terbayar dengan melihat realitas dinamika sosial kota yang sudah saya tinggali selama 19 tahun ini. Ya, walaupun masih banyak realitas yang luput dari pengamatan saya….

(Post originally published in Lingkar Kosmos)

Exit mobile version