Site icon C2O library & collabtive

Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia

DGIPusaranDesainGrafisDunia

Lanturan Pembuka

Barangkali saya dan rekan-rekan di Butawarna Design termasuk sebagian kecil desainer grafis paling diberkati secara referensi dan literasi di Jawa. Studio kami beruntung dapat menyewa secuplik ruang di C2O, sebuah perpustakaan swadaya hebring yang berlokasi di pusat kota Surabaya. Rentang koleksi dan kegiatan literasi yang digelar C2O meliputi bidang sejarah, sastra, antropologi, kajian budaya, sains, film, musik, hingga desain.

Mungkin itu yang membuat Ellena dari DGI “tertipu” menyertakan saya sebagai salah satu penanggap tur buku DGIDPDGD di Surabaya. Ironisnya, saya hampir tidak pernah membaca buku dalam 4-5 tahun terakhir. Perhatian saya lebih mudah terlempar-lempar oleh tautan-tautan laman internet, tanpa benar-benar membaca isinya. Parah ya.

Toh, tanpa malu saya lahap saja kesempatan emas ini. Bonek. Saya selalu mengagumi dari jauh aktivitas Pak Hanny Kardinata dan teman-teman DGI. Ketika akhirnya buku DGIDPDGD sampai di tangan, berakhir pula tahun-tahun selibat membaca buku saya. Memunculkan kembali ingatan saya di tahun ‘90-an, ketika membuka lembar-lembar buku baru serasa piknik yang memanjakan imajinasi.

Saya berharap semoga gairah membaca yang tipis-tipis muncul kembali ini juga dialami setiap pembaca buku DGIDPDGD. Seandainya buku ini sudah terbit ketika saya kuliah satu setengah dekade lalu, tentunya saya sudah menjadi desainer yang jauh lebih baik di usia sekarang. Lanturan ini, sekaligus merupakan pemakluman bagi akan tumpulnya pembacaan saya untuk buku ini. Yang akan saya coba uraikan sesuai urutan tiga tema pertanyaan yang diajukan oleh tim editorial DGI.


#1:

Pengantar Pujian

Dengan segala bias sebagai fanboy tim DGI, saya rasa buku ini keterlaluan pantasnya diguyur pujian dan hormat untuk minimal dua hal. Pertama, untuk kerja keras dan ketelitiannya mengumpulkan, menyunting, dan menjahit arsip maupun narasi sejarah desain grafis Indonesia serta dunia dalam sebuah publikasi yang semlohay. Kedua, untuk keberaniannya memulai penulisan desain grafis, dengan semua tekanan intelektual dan moral terhadap penyusunan sejarah yang terkenal angker bin sakral auranya, apalagi mengingat betapa compang-camping dan tercerai-berainya arsip yang harus dijahit.

Selain pengantar pujian di atas, ada beberapa konteks yang menjadikan kehadiran buku DGIDPDGD ini penting bin langka. Inilah.

Konteks 1.1: Jalan Sunyi Pengarsipan?

Kita mafhum bahwa kerja pengarsipan dan penulisan sejarah pada umumnya—dan mungkin khususnya di bidang desain grafis—laksana menyusuri jalan yang sepi. Apalagi di tanah air. Berkutat dengan naskah dan arsip usang, memaknai narasi masa lalu, menelusuri sumber yang sesat dilacak nasibnya, dan memastikan keabsahan informasi terlihat membosankan jauh dari sorot lampu panggung desain grafis yang gemerlap dan dinamis.

Secara naluriah, darah muda yang menggelegak cenderung lebih memilih menjadi Sagmeister selanjutnya daripada menjadi Steven Heller muda. Pemisahan yang tegas bahwa membuat yang baru adalah urusan orang muda dan menyusun arsip sejarah adalah urusan orang tua bisa jadi merupakan sesat pikir yang fatal. Ada juga anggapan menyederhanakan bahwa tugas utama desainer hanyalah mencipta. Mencatat sejarah mah urusan sejarawan. Pertanyaannya: Apakah harus melulu begitu?

Ambil contoh proyek instalasi grafis/seni rupa “Things I’ve learned in my life so far” karya Stefan Sagmeister yang trendi dan hype di kalangan desainer muda. Jangan lupa, karya eksperimental dan menggelitik ini dibangun dari pencatatan dan pengarsipan sejarah kecil seorang individu.

Konteks 1.2: Ilusi produktivitas dan kegamangan identitas

Saat ini harus kita terima, bahwa kebanyakan orang mampu memproduksi visual. Saat saya mengetik kalimat ini, statistik internetlivestats.com menunjukkan bahwa setiap detiknya ada 716 gambar terunggah ke Instagram. Tingginya kuantitas produksi visual yang tidak berbanding lurus dengan kualitas menjadi keluhan standar para pekerja visual. Orang pun bertanya, apa bedanya kualitas visual seorang desainer grafis “tulen” dan desainer grafis dadakan?

Ironisnya, banyak desainer grafis pun kian gamang dan terseret arus deras gelombang produksi visual saat ini. Visual sering dihasilkan atas argumen familiaritas terhadap referensi tren yang kian cepat pasang surutnya. Akar masalah komunikasi, strategi visual, dan konteks penerimaan audiens sering luput dari pertimbangan perancang visual.

Saya juga terjangkit kegamangan visual yang serupa. Dan membaca isi buku DGIDPDGD perlahan-lahan mengurangi kegamangan saya. Di buku ini diceritakan dengan gamblang asal usul dan konteks terciptanya bahasa visual yang muncul mewakili semangat setiap era dan pergerakan. Mulai muncul pendar-pendar pemahaman akan elemen visual yang sering saya kenali bentuknya, tapi tak tahu konteksnya.

Publikasi ini karenanya sangat perlu dibaca desainer masa kini dalam menghadapi dua isu sekaligus tantangan terbesar dalam proses desain: konteks dan identitas. Merancang visual yang mampu menangkap konteks permasalahan, sekaligus memiliki ciri yang unik (entah itu mewakili identitas individu maupun bangsa), memang seperti upaya Sisifus mendorong batu ke puncak bukit—tidak pernah selesai. Namun bukan berarti tantangan ini tidak layak dicoba. Setidaknya ada dua mantan desainer grafis senior Indonesia yang sudah “banting setir” dan merespon tantangan ini. Karya-karya Agus Suwage dan FX Harsono yang getol mengulik kegalauan keduanya perihal asal usul dan identitas, memberi pengaruh kuat di era kemunculan gelombang seni rupa kontemporer Indonesia.

Konteks 1.3: Amnesia Sejarah

Yang perlu disadari adalah: ada hubungan yang erat antara amburadulnya kualitas kerja profesional dan pendidikan desain, dengan morat-maritnya pemahaman sejarah, konteks, dan identitas kita. Meski manipulasi sejarah berlangsung di setiap zaman dan di berbagai negara, pembantaian 1965 merupakan faktor terkuat dan termutakhir yang membentuk amnesia sejarah akut, serta watak dan luka ingatan akan identitas Indonesia.

Sebagai hasil dari kekerasan dan cuci otak yang direkayasa dalam berbagai bentuk, kekuatan teror anti-komunisme masih tetap berakar meski (konon) Orde Bau sudah tumbang. Dieksekusi secara rinci, sistematis, dan tentunya, dengan kekerasan militer di belakangnya; mewariskan tidak hanya bolong-bolong dan terbungkamnya banyak bagian sejarah Indonesia, tapi juga amburadulnya logika-retorikanya. Isu ini bukan cuma urusan orang-orang politik atau sejarah, tapi merasuk ke kehidupan sehari-hari.

Catatan redaksi C2O: 18-19 April 2016 dilangsungkan Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Simak tautan terkait:

Praktik desain grafis Indonesia pun berakar kuat dalam banyak narasi sejarah yang dihilangkan tersebut. Sudjojono sebagai contohnya. Salah satu tokoh pendiri juga Lekra ini merupakan bapak seni lukis modern Indonesia yang pernah dididik di Institut Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau disebut juga Pusat Kebudayaan. Institut inilah dipimpin oleh desainer grafis legendaris Jepang, Takashi Kono. Dan banyak hal lainnya yang menunjukkan dinamika dan ketakterpisahan antara sejarah, politik, seni, dan desain grafis.

Karenanya, bagaimana desain grafis berkembang di Lekra sangat penting dikaji, karena sebagai lembaga kebudayaan dan seni, mereka mampu membawa entititasnya ke posisi yang penting perannya di tingkat atas maupun masyarakat akar rumput. Namun lagi-lagi, karena kedekatan Lekra dengan PKI, arsip, diskusi, dan kajian mengenai karya, pemikiran, dan sejarah mereka sangat terbatas dan banyak dihilangkan.

Kalo mau optimis (harus dong ya), ini adalah kesempatan bagi para generasi penerus untuk menemukan dan menyusun kembali potongan-potongan sejarah yang hilang. Tidak seperti sejarah negara lain yang (mungkin) relatif mapan, sejarawan muda desain grafis masih punya banyak lahan untuk digarap. Antariksa, peneliti dari KUNCI (pusat kajian budaya, Yogyakarta) melalui selipan artikelnya di buku DGIDPDGD sudah memulai langkah awal ini. Dia juga telah menulis kiprah dan pergerakan Lekra dalam sebuah buku mungil berjudul Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-Lekra, 1950-1965. Simak juga catatan presentasi Antariksa di DGI Indonesia mengenai desain grafis dan pengaruh Jepang 1942-1945.

Konteks 1.4: Cetak tak cepat mati

Di atas itu semua sangat penting dan menyenangkan melihat arsip dan tulisan DGIDPDGD mewujud dalam bentuk buku. Dirancang grafis dengan pertimbangan komprehensif oleh Vincent Wong (dengan dibantu Charles Lee), publikasi seperti ini akan selalu disambut antusias di arena penerbitan desain grafis yang relatif sepi pemainnya. Faktanya memang banyak publikasi berkala cetak yang tutup karena dihempas revolusi publikasi digital. Namun, cetak memiliki keunggulannya sendiri. Jika kita mencari artefak tertua yang dapat ditemukan di rumah kakek-nenek kita, bisa jadi salah satunya berupa buku. Buku dapat diwariskan, jika mau (dan jika tidak diloak) ke generasi anak-cucu. Bandingkan dengan alat baca medium digital yang jauh lebih pendek daur hidupnya.


#2:

Ini pertanyaan susah karena saya belum melakukan peran tersebut. Paling sedikit sebagai generasi muda kita bisa menginisiasi aktivitas yang melibatkan khalayak umum dalam proses bersama-sama mempelajari pengetahuan sejarah desain grafis dengan cara yang lebih santai.

Salah satu aktivitas saya yang nyerempet relevansinya dengan upaya tersebut mungkin terwujud dalam beberapa acara satelit di konferensi Design It Yourself Surabaya (DIYSUB). Kebetulan saya bertugas sebagai direktur programnya. Di DIYSUB 2014, kami mengadakan tur jalan kaki di area kota lama Surabaya dengan mengundang tipografer Jimmy Offisia sebagai narasumber. Selama tur ini, kami ajak Jimmy mengomentari dan memberi informasi terkait tipografi yang ditemukan di berbagai signage dan papan nama lawas di Surabaya.

Di DIYSUB 2015, kami juga mengadakan pameran poster bertema “Unjuk Rasa” yang disandingkan dengan pameran arsip dan presentasi Desain Grafis Indonesia di Era Penjajahan Jepang, bekerjasama dengan Antariksa dari KUNCI. Buku DGIDPDGD juga memotivasi dan memberi saya beberapa ide di kepala untuk mengumpulkan pengetahuan desain grafis lokal Surabaya yang berserakan dan menunggu untuk dituliskan.

Menulis adalah resolusi saya yang selalu sukses gagalnya setiap tahun. Semoga tren ini berakhir setelah tulisan ini. Karena menulis harusnya adalah peran kecil namun berdampak dahsyat yang dapat dilakukan oleh semua generasi penerus desain grafis. Kelemahan desainer dalam menulis—biasanya sepaket dengan kurangnya membaca—bisa jadi menyumbang besar pada miskinnya kredibilitas kita di aspek ilmu pengetahuan dan bisnis.

Saya sering iri melihat berlimpahnya literatur desain grafis di medium publikasi blog seperti designobserver.com maupun publikasi cetak ala Eye Magazine atau Design Society Journal. Untungnya DGI sudah memulai upaya ini di Indonesia dengan menampilkan dan membuka ruang bagi tulisan-tulisan desain grafis yang bernas. Indonesia jelas butuh lebih banyak desainer grafis yang menulis.


#3:

Dengan semangat zaman yang relatif semakin inklusif (minimal dari aspek akses informasi, komunikasi, dan teknologi), desain kini bukan lagi cuma urusan desainer. Begitu pula sejarah dan pengarsipan. Desainer harus sigap dan teliti menuliskan sejarahnya sendiri. Semangat inklusif juga berarti supaya sejarah yang ditulis tidak didominasi sekelompok kepentingan.

Kita sudah melihat banyak terjadinya penghapusan keterlibatan tokoh komunis, etnis Tionghoa, dan banyak kelompok lainnya dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Kerja kolektif dalam hal ini menjadi luar biasa penting dan tidak terelakkan. Diperlukan partisipasi seluas mungkin dari seluruh khalayak desain grafis. Lebih rame, lebih meriah, lebih merata.

Selain saling meringankan dengan berbagi beban, kerja kolektif juga diperlukan untuk memperluas cakupan wilayah pengarsipan sejarah. Apalagi untuk satu negara yang memiliki lebih dari 300 kelompok suku, 17.000 pulau, sejarah “Indonesia”. Imaji mengenai sejarah selalu lekat dengan narasi dan kisah besar, padahal sejarah besar dan arus utama dirangkai dari berbagai narasi kecil sejarah lokal. Dalam konteks ini, buku DGIDPDGD telah melakukan tugasnya sebagai penyeimbang sejarah global desain grafis dengan sejarah lokal Indonesia.

Pengetahuan mengenai kapan munculnya visual pertama buatan manusia muncul di gua prasejarah misalnya, memang penting bagi saya. Namun, informasi mengenai desainer grafis pelopor di kota saya tinggal tidak kalah penting dan beresonansi dengan konteks keseharian saya sebagai desainer grafis yang berpraktik di Surabaya. Jika kita tidak mau sejarah desain grafis Indonesia cuma diwakili oleh Jakarta (dan pulau Jawa), maka khalayak desain grafis di berbagai propinsi di Indonesia harus memiliki kesadaran untuk mencatat dirinya sendiri.

Bahwa narasi besar pada dasarnya adalah sintesa dari kumpulan narasi-narasi kecil. Dan dengan kemudahan akses teknologi dan informasi dan berbagai media seperti DGI, kita semua dapat berpartisipasi mengumpulkan dan berbagi narasi-narasi kecil yang ada. Fakta demi fakta, kata demi kata, byte demi byte. Meski tidak semua narasi akan mendapatkan panggung yang strategis.

Kerja kolektif memiliki ancaman dari kerapuhan sifatnya yang non-formal dan cair, sehingga membutuhkan platform dengan ekosistem dan aturan main yang inklusif, suportif, dan melindungi kontributornya. DGI sudah mulai merintis upaya ini di Indonesia.


Kritik dan Penutup

Buku ini bukannya tanpa kekurangan. Penulisan di setiap babnya (terlepas isinya sangat menarik dan informatif), memiliki potensi untuk diolah menjadi lebih terkait. Secara gaya penulisan, bisa lebih hangat dan mengalir, seperti nuansa yang saya rasakan ketika membaca tulisan pada bab pembukanya. Buku ini juga masih malu-malu meletakkan peristiwa 1965 di linimasanya. Juga malu-malu menyebutkan desainer grafis beretnis Tionghoa sebagai desainer grafis Indonesia pertama yang kerjanya terpublikasikan. Tapi, saya sendiri dapat memahami kenapa pilihan malu-malu itu yang kemudian diambil. Saya bisa jadi akan melakukan hal yang sama.

Akhir paragraf, di buku ini kita tidak hanya melihat bagaimana falsafah dan gaya desain grafis global dan lokal terbentuk, tapi juga bagaimana desain grafis turut membentuk pergerakan dan semangat zaman. Melalui buku ini kita bisa bercermin betapa dengan semua pencapaian dan percepatan teknologi, manusia sering mengulangi kesalahan yang sama atau mungkin sekedar tidak belajar banyak.

Buku ini juga mengilustrasikan dengan gamblang bagaimana kemajuan sebuah pergerakan tidak semata karena adanya kesepahaman dan persetujuan yang mufakat, melainkan juga melalui silang pendapat, pertentangan, dan perlawanan terhadap gerakan pendahulunya. Semoga ini menjadi pengingat kita untuk lebih bijak menyikapi perbedaan, melihatnya sebagai sumber kekayaan, dan menyikapinya sebagai mesin pendorong yang ampuh bagi munculnya inovasi dan pemikiran baru yang kontekstual dengan kondisi kita.

Selain menjadikan kita lebih bijak, asyiknya membaca buku ini juga memungkinkan kita pamer pelafalan inisial DGI DPDGD secara fasih. Cukup efektif untuk memukau desainer lawan bicara kita yang belum membaca bukunya. Terimakasih Pak Hanny Kardinata dan tim DGI!


Catatan: Ulasan ini pertama kali diterbitkan di DGI Indonesia. Buku ini dapat dipinjam dari perpustakaan, ataupun dibeli dari toko C2O.
Sumber foto & gambar: DGI Indonesia, seputarevent.com, IVAA

Tautan tambahan:

Exit mobile version