Detail Cantuman
Advanced Search
Book - Softcover
Kebenaran Akan Terus Hidup
Pada bulan Mei 2007, saya bertemu dengan Mbak Pon dan Fajar dalam sebuah seminar tentang 'Wiji Thukul: Merekam Ketidakadilan Melalui Seni' yang diadakan di Kampus Unpad di Jatinangor.Kebetulan kami berdua sama-sama diundang menjadi narasumber.
Mbak Pon dan Fajar datang ke Bandung dengan menumpang kereta api Senja Utama kelas bisnis dari Solo. Wajah kelelahan dan sedikit mengantuk tampak di pelupuk mata mbak Pon. Sebuah syal menggantung di lehernya. 'Saya agak tidak enak badan, masih agak demam', ujarnya.
Saya duduk disebelahnya dan menyalami Fajar yang tampak terkantuk-kantuk duduk di atas tikar. 'Bagaimana kabar grup band kamu Fajar?' ujar saya.Fajar ternyata punya bakat bermusik dan bersama kawan-kawannya ia membentuk sebuah band, dia berposisi sebagai penabuh drum. Mbak Pon justru yang menjawab ' katanya mau ikutan festival band, tapi nggak tau bagaimana kelanjutannya.'
Setelah menanyakan kesehatan dan kabar tentang Wani yang akan lulus SMA dan masuk bangku kuliah tahun ini saya membongkar-bongkar tas saya. Sebuah bundeI print out tulisan Wiji Thukul dan tulisan beragam orang tentang Thukul dan keluarganya saya perlihatkan kepada mbak Pon. Lalu saya menjelaskan bahwa bundel ini adalah 'draft tulisan' yang akan kami terbitkan menjadi buku dan akan di launching tepat pada ulang tahun Thukul, 26 Agustus 2007.
Mbak Pon tampak terkejut melihat begitu banyak orang yang menulis tentang Wiji Thukul. “Ini belum semuanya mbak Pon, ada banyak tulisan lain yang masih belum saya dapatkan. Apakah mbak Pon masih punya tulisan Thukul dan para penulis tersebut di rumah ?'
'Tidak ada, saya tidak menyimpan tulisan-tulisan Thukul lagi sejak polisi menyitanya paska 27 Juli 1996,' ujarnya.Solo, mbak Pon mengirim SMS yang mengatakan bahwa Wani senang sekali mendapatkan dokumen-dokumen yang menyangkut ayahnya tersebut. Bundel yang diterima mbak Pon tersebut rencananya akan diterbitkan menjadi buku tepat pada hari ulang tahun Thukul ke 44, 26 Agustus 2007. Belakangan ketika sudah kembali ke
Kami ingin mempersembahkannya sebagai hadiah ulang tahun kepada Wiji Thukul dan keluarganya.
Selain sebagat hadiah ulang tahun, penerbitan buku tersebut juga kami gunakan untuk semakin meyakinkan mbak Pon, Wani dan Fajar, bahwa suami dan ayah mereka telah menjadi 'milik semua orang', bahwa mereka tidaklah sendirian dalam mengenang dan mencari keberadaan Wiji Thukul. Dalam buku tersebut terdapat bukti-bukti tak terbantahkan tentang orang-orang yang lintas generasi, wilayah, bangsa dan politik yang telah menuliskan kesan-kesannya atas personal dan karya-karya Thukul, serta keluarganya sebagai bentuk penghormatan, simpati dan kecintaan pada Thukul dan keluarganya. Kalau kita lebih sedikit berimajinasi, buku ini akan tampak seperti kumpulan orang-orang yang juga kemudian terkait dengan dunia Wiji Thukul baik di masa lalu maupun di masa kini. Kami juga akan menjadikan penerbitan buku itu menjadi momen untuk menghadapi proses 'pelupaan' yang terjadi beriringan dengan waktu, kesibukan dan perubahan-perubahan situasi yang terasa begitu cepat.
Kekuatiran terbesar saya adalah proses pelupaan tidak hanya sedang dilakukan oleh negara secara sengaja, tapi yang lebih menyedihkan justru kalau itu juga terjadi di kalangan orang-orang yang pernah terkait dengan Wiji Thukul, juga menghinggapi para aktivis HAM dan demokrasi, baik secara sadar maupun tanpa disadari. Karena itu penerbitan buku ini menjadi semacam 'pengingat' kolektif kepada kita semua akan kasus yang menimpa Wiji Thukul dan pelanggaran HAM lainnya.
Kumpulan-kumpulan tulisan yang terhimpun dalam buku ini dapat dibedakan menjadi dua;
Pertama kumpulan esai dan wawancara dengan Wiji Thukul di berbagai media, baik yang dia kelola sendiri seperti majalah maupun tersebar di internet dan majalah mahasiswa. Sayangnya tidak semua esai dan wawancara dengan Thukul dapat saya temukan. Koleksi wawancara Thukul di majalah mahasiswa koleksi saya, terlanjur disita oleh polisi (atau BIA atau Bakorstanas, yang semuanya secara bergiliran mendatangi dan menyita majalah, buku, dokumen di rumah saya paska 27 Juli 1996). Sementara di rumah Mbak Pan sendiri dia tidak menyimpan lagi dokumen-dokumken Wiji Thukul. Sebagian besar memang sudah disita ketika rumahnya didatangi polisi paska 27 juli 1996. Surat penyitaan itu masih ia simpan sampai sekarang.
Menerbitkan kumpulan esai dan wawancara dengan Thukul menjadi pilihan karena tidak banyak orang yang tahu, bahwa selain menulis puisi, Thukul juga penulis esai yang baik. Esai dan wawancara yang diterbitkan ini semoga mampu memberikan gambaran pada kita bagaimana pemikiran Wiji Thukul tentang politik, sastra dan kebudayaan, sehingga dia seperti 'melengkapi' kekaguman dan pemahaman kita akan puisi-puisinya.
Kedua, kumpulan tulisan beragam orang tentang wiji Thukul, karya dan keluarganya yang tersebar diberbagai tempat, baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy. Para penulis ini juga mempunyai beragam latar belakang, ada yang akademisi, aktivis, jurnalis dan sastrawan. Para penulis ini ada yang mengenal Thukul secara dekat dan langsung seperti Arief Budiman, Linda Cristanty atau Yayak Kencrit, hingga para penulis yang belum pernah bertemu dan hanya mengenal Thukul melalui karya dan tulisan orang lain tentangnya. Hal ini membuktikan bahwa karya Thukul adalah sesuatu yang universal, dapat diterima lintas generasi, sebab pesan-pesan dan kualitas estetiknya tak pernah lapuk dimakan jaman.
Struktur buku ini dibagi dalam beberapa bagian yang sebetulnya saling berkait satu sama lainnya. Bab Pengantar akan diisi oleh Sylvia Tiwon dan Fransisca Fitri.
Bagian pertama akan diisi beberapa esai dan wawancara Wiji Thukul yang diambil dari majalah Ajang yang dikelola Thukul, Suara Independen, apakabar dan majalah mahasiswa. Sebuah pernyataan sikap Thukul yang menolak undangan membaca puisi dalam rangka HUT ABRI (sekarang TNI) juga kami muat. Permintaan itu memang pantas ditolak oleh Thukul selain karena sikap politiknya juga karena pengalaman yang ia alami sendiri. Pada tahu 1995 salah satu mata Thukul menjadi buta setelah disiksa dan kepalanya dibenturkan ke jeep tentara yang menangkapnya dalam pemogkan 15 ribu buruh PT Sritex.
Bagian kedua berisi berbagai telaah dan analisa beragam orang lintas generas, lintas bangsa dan latar belakang atas karya-karya Wiji Thukul. Dari semua penulis tampak benang merah yang terkait satu sarna lain dalam membaca karya-karya Wiji Thukul yaitu tentang nafas kerakyatan dan perlawanan.
Bagian ketiga, secara khusus mengambil tema 'hilangnya Thukul'. Tema ini terkait dengan operasi penculikan kepada aktivis demokrasi yang dilakukan oleh militer menjelang sidang umum MPR di bulan Maret 1998. Dalam bagian ini berbagai kenangan orang tentang Thukul, dan beragam analisa, dugaan dan teori tentang dimana dan siapa yang menghilangkan Wiji Thukul bermunculan. Mbak Pan sendiri baru melaporkansecara resmi Wiji Thukul sebagai 'orang hilang' ke KONTRAS pada tanggal 24 Maret tahun 2000. Sampai hari ini Mbak Pan masih terus menuntut tanggung jawab negara untuk menemukan Wiji Thukul dan aktivis lainnya yang dinyatakan masih hilang. la kini aktif dan menjadi pengurus di Ikatan Keluarga Orang Hilang Jawa Tengah .
Bagian keempat, secara khusus membahas tentang dunia mbak Pan, Wani dan Fajar dalam hari-hari ketidakpastian tentang suami dan ayah mereka. Selama ini, tidak banyak perhatian kepada kehidupan mereka.Padahal dunia Thukul dengan keluarganya adalah bagian yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mbak Pan sendiri. Dia berjuang menghidupi keluarganya dan tetap mencari kepastian keberadaan Thukul dengan berbagai upaya. Namun sebagai manusia biasa, mbak Pan, Wani dan Fajar juga punya emosi, rasa sedih, kegamangan dan berbagai beban psikologis yang harus mereka hadapi. Situasi psikologis ini tergambar dalam tulisan Tinuk, Gita dan Fahri, sesuatu yang membantu kita lebih memahami suasana hati dan guratan-guratan emosi yang diakibatkan oleh penghilangan aktivis yang di lakukan oleh negara. tidak menyerah dengan situasi.
Bagian terakhir yang menjadi semacam epilog adalah tulisan dari Simon yang memberi gambaran tentang perkembangan kasus Thukul dan kasus orang hilang lainnya di Indonesia.
Penerbitan buku ini adalah sebuah kerjasama kolektif yang dapat terealisasi karena dukungan beragam pihak, individu, lembaga dan organisasi, baik secara personal, tenaga, dukungan moril, maupun logistik yang tersebar di berbagai wilayah.
Kepada para penulis, saya patut mengucapakan terimakasih sebab telah mengijinkan tulisannya atau mau menulis untuk buku ini, tanpa ada honorarium seperakpun.
Terimakasih kepada Mbak Sylvia Tiwon, di tengah kesibukannya yang padat sebagai dosen di Barkeley telah dengan rela saya bebani tugas untuk membuat tulisan pendahuluan untuk buku ini.
Dalam penyusunan buku ini, saya harus mengucapkan terimakasih juga kepada berbagai pihak yang telah membantu dengan berbagai dokumen dan tulisan yang termuat dalam buku ini. Kepada pak Jaap, mantan pimpinan KITLV di Indonesia dan juga sahabat Thukul, terimakasih sebab telah mengirimkan beragam kopi dokumen menyangkut Thukul di tengah kesibukannya di Belanda sana.Terimakasih kepada Dita Caturani di New York dan Simon di Kalasan yang telah menterjemahkan tulisan dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia di tengah kesibukannya. Terimakasih kepada Ari Yurino (di IKOHI) dan Harry (di Praxis), yang telah mengetikan beberapa naskah secara ngebut. Terimakasih kepada Stanley yang sekarang berdinas di Komnas HAM dan telah memberikan copy pengantar Arief Budiman. Pada Linda Cristanty, juga terimakasih telah mengontak Tinuk dan Gita untuk meminta ijin memuat tulisannya.
Kepada pihak YAPPIKA, terimakasih juga kami ucapkan karena telah membantu upaya penerbitan buku ini sehingga dapat dibaca oleh publik yang luas. Kepada rekan-rekan di Praxis, juga terimakasih karena telah mendukung dan memberikan fasilitas dan waktu kepada saya untuk merampungkan penerbitan ini.
Kepada berbagai pihak yang juga telah membantu upaya penerbitan ini dengan berbagai cara, tapi tak dapat saya sebutkan satu persatu, saya mengucapkan banyak-banyak terimakasih. Akhirnya kepada Mbak Pon, Wani dan Fajar, mohon terimalah buku ini sebagai hadiah ulang tahun untuk suami dan ayah kalian, manusia sederhana yang mencintai keluarga, kebebasan dan demokrasi tanpa pamrih apa-apa. Kepada orang seperti Thukul medali mas sejarah paling patut kita kalungkan.
Salemba Tengah, 3 Agustus 2007
Wilson
Editor
Ketersediaan
4298 | 4000 | C2O library & collabtive (Anthropology; Social Science) | Tersedia |
Informasi Detil
Judul Seri |
-
|
---|---|
No. Panggil |
899.221 THU Keb
|
Penerbit | Yappika : ., 2007 |
Deskripsi Fisik |
227
|
Bahasa | |
ISBN/ISSN |
9789791658713
|
Klasifikasi |
Indonesia
|
Tipe Isi |
-
|
Tipe Media |
-
|
---|---|
Tipe Pembawa |
-
|
Edisi |
-
|
Subyek |
-
|
Info Detil Spesifik |
-
|
Pernyataan Tanggungjawab |
-
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain