Detail Cantuman
Advanced SearchBook - Paperback
Bunga Angin Portugis di Nusantara
Resensi Buku
Judul : Bunga Angin Portugis di Nusantara, Jejak-jejak Kebudayaa Portugis di Indonesia
Pengarang : Paramita R. Abdurrachman
Editor : Thung Ju Lan, Eko Widodo, Musiana Adenan
Tebal : xvi + 280 Halaman
Penerbit : LIPI Press bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : I, 2008
Setelah Portugis berhasil menguasai Malaka, pada 1512 Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara, khususnya flores, Solor dan Maluku. Bahkan di sebuah daerah di Jakarta, ada kelompok masyarakat yang percaya bahwa mereka adalah keturunan bangsa Portugis dan menama.
'Orang Portugis' ini tinggal Kampong Tugu yang terletak di bagian Timur Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda. Penduduk asli Kampong Tugu berasal dari masyarakat Mardika, budak yang dibawa oleh Portugis dari Afrika atau Asia kemudian dimerdekakan. Mereka mendapat tempat di Tugu sebagai balas jasa karena telah membantu VOC merebut benteng Jayakarta.
Setelah sekian lama menetap, terjadilah percampuran darah dan budaya yang antara lain melahirkan keroncong. Kebudayaan hibrid Portugis-Afrika-Asia ini diterima oleh penduduk 'Betawi' yang tinggal di sekitar Tugu. Akhirnya keroncong menjadi salah satu musik khas Betawi dan meluas hingga diterima sebagai musik Indonesia. Tak hanya keroncong, kesenian Tanjidor dan Ondel-ondel juga merupakan pengaruh kebudayaan Portugis.
Penggalan sejarah itu menjadi salah satu bagian menarik dari Buku 'Bunga Angin Portugis di Nusantara, Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia.' Istilah 'bunga angin' mempunyai arti yang sama dengan istilah flor (flor de agua, mar em flor) dalam bahasa nautikal Portugis di abad ke-16. Bunga angin berarti aroma ombak atau angin sepoi-sepoi yang mendahului badai.
Buku ini memuat kumpulan karya tulis Paramita Rahaju Abdurachman, peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tersebar di berbagai jurnal. Wanita kelahiran 29 Februari 1920 ini merupakan satu dari sedikit peneliti Indonesia yang memberikan perhatian pada warisan sejarah khususnya Portugis yang telah memberikan warna unik pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Selain 'Orang Portugis' di Kampong Tugu, jejak-jejak kebudayaan Portugis terasa sangat kental di Flores, Solor dan Maluku. Bahkan nama Pulau Flores, sesungguhnya merupakan kependekan dari Cabo de Flores, sebuah nama yang dipergunakan pelaut-pelaut Portugis di masa lalu ketika mencapai Tanjung Bunga.
Pengaruh Portugis di wilayah Maluku dan sekitarnya menjadi sorotan utama dalam buku ini. Sumber data dan peninggalan-peninggalan sejarah berciri Portugis sangat kuat mengakar di wilayah ini. Bahkan buku ini menguraikan korespondensi antara Kerajaan Maluku dengan Kerajaan Portugal dan Spanyol Abad XVI dan XVII melalui surat-surat dan dokumen resmi. Beasiswa dari Yayasan Calouste Gulbenkin, memang memberi kesempatan pada Paramita mengunjungi Portugal untuk mencari sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan Maluku.
Karena sumber-sumber sejarah tersebut, buku ini menjadi sangat penting untuk mengurai sejarah dan pengaruh Portugis selama ekspansinya di Nusantara. Jejak-jejak sejarah itu akan terbaca dengan lebih baik jika buku ini ditulis berdasarkan urutan waktu kedatangan Portugis ke Indonesia, tempat yang pernah disinggahi beserta berapa pengaruhnya. Hal ini bisa menjadi tantangan bagi peneliti sejarah yang lain, mengingat Paramita sudah meninggal pada 23 Maret 1988.
Karya tulis yang disajikan dalam bahasa Indonesia dan kadang bahasa Inggris membuat pembaca awam mengeluarkan energi lebih untuk ikut merasakan aroma �bunga angin.� Tapi bagaimanapun juga buku ini bisa memperkaya dan memberikan sumbangan besar bagai pendokumentasian sejarah Bangsa Indonesia.
Sebagaimana kata Joao Barros, sejarawan Portugis bahwa �Bangunan Portugis yang pernah didirikan bisa saja habis ditelah waktu, tetapi kebudayaan, agama, dan bahasa Portugis yang disebarkan sejak abad ke-16 di tiga benua akan terus hidup dari generasi ke generasi�. (Setiyo Bardono)
Ketersediaan
| 4445 | C2O library & collabtive ((Auto) biography & Memoir; Young & Children) | Tersedia |
Informasi Detil
| Judul Seri |
-
|
|---|---|
| No. Panggil |
959.8 ABD Bun
|
| Penerbit | Yayasan Obor : ., 2008 |
| Deskripsi Fisik |
280
|
| Bahasa | |
| ISBN/ISSN |
9789797992354
|
| Klasifikasi |
Indonesia
|
| Tipe Isi |
-
|
| Tipe Media |
-
|
|---|---|
| Tipe Pembawa |
-
|
| Edisi |
-
|
| Subyek |
-
|
| Info Detil Spesifik |
-
|
| Pernyataan Tanggungjawab |
Tortuguese Presence in Jakarta
23
Keroncong Moresko Tanjidor dan O...
40
Portuguese Setdements
51
Kegunaan SumberSumber Portugis d...
96
PeninggalanPeninggalan yang Berc...
114
Som
|
Versi lain/terkait
Tidak tersedia versi lain






